Mengapa Presidential Threshold Harus Dihapus?

Selasa, 09 November 2021 - 10:55 WIB
loading...
Mengapa Presidential...
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD Republik Indonesia. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
Ketua DPD Republik Indonesia

ADA tiga pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dengan jujur terkait ambang batas atau presidential threshold dalam pencalonan pasangan capres dan cawapres pada Pilpres.

Pertama, pertanyaaan tentang apakah pengaturan presidential threshold yang terdapat dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu sudah sesuai dengan konstitusi? Mengingat UU wajib derifatif dari konstitusi.

Kedua, apakah pengaturan presidential threshold yang ada di UU No 7/2017 sudah sesuai dengan keinganan masyarakat? Mengingat lahirnya UU juga bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Ketiga, apakah presidential threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?

Yang pertama, apakah presidential threshold sesuai dengan Konstitusi. Jawabnya adalah tidak.

Dan ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi dari semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama. Karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan pasangan capres dan cawapres.

Tentang itu kita bisa baca UUD 1945, hasil amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Di situ disebutkan perlu ada ambang batas keterpilihan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.

Sebaliknya, tentang ambang batas pencalonan tidak ada sama sekali. Justru disebutkan di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Yang normanya dari frasa kalimat itu adalah; setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan. Tetapi kemudian lahir UU No 7/2017, yang merupakan pengganti dari UU sebelumnya.

Dalam UU tersebut di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi yang lama. Atau periode 5 tahun sebelumnya. Sungguh Pasal yang aneh, dan menyalahi Konstitusi.

Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu. Meskipun jelas bahwa pasal dalam UU Pemilu tersebut tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari open legal policy. Atau hak pembuat UU. Sehingga sampai hari ini pasal tersebut masih berlaku.

***

Lantas atas pertanyaan kedua. Apakah UU No 7/2017 sudah sesuai dengan keinganan masyarakat. Terutama menyangkut presidential threshold. Faktanya, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin.

Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik.

Belum lagi jika kita lihat dari sisi partai politik sendiri. Setiap partai politik pasti bertujuan mengusung kadernya untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Karena memang itulah hakikat lahirnya partai politik untuk mengusung kadernya sebagai pemimpin nasional.

Faktanya, dengan adanya presidential threshold partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20%, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar, terkait keputusan tentang calon yang akan diusung. Pilihannya hanya satu: Merapat atau bergabung.

Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partaipartai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau dua pasang calon, yang sudah didisain siapa yang akan menang, dengan menciptakan lawan calon yang 5 lemah. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti terjadi di beberapa Pilkada. Apakah ini yang diinginkan rakyat? Silakan dijawab dengan jujur.

***
Lalu atas pertanyaan ketiga, apakah presidential threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah. Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.

Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.

Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Termasuk terhadap Perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

***

Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, presidential threshold ini penuh dengan mudarat. Karena ambang batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, di mana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan antitesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-a-vis Pancasila dengan agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan agama apapun, termasuk Islam.

Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran.

Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara. Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi.

Tetapi lebih kepada tradisi barbar. Inilah dampak buruk dari penerapan ambang batas pencalonan presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.

***
Saya memahami bahwa berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang wajar. Namun menjadi sesuatu yang jahat, ketika kongsi itu dilakukan dengan mendesain agar hanya ada dua pasang kandidat capres-cawapres, yang berlawanan dan akibatnya memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.

Oleh karena itu, saya keliling menyampaikan hal ini kepada semua elemen masyarakat. Baik di perguruan tinggi maupun di entitas-entitas civil society lainnya. Saya memantik kesadaran publik. Bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Karena negara ini lahir dari sejerah peradaban yang unggul di era kerajaan dan kesultanan Nusantara.

Jangan biarkan negara ini tercabik-cabik hanya karena ambisi kekuasaan untuk menumpuk kekayaan, dan menguasai sebesar-besarnya kekayaan alam negeri ini. Sementara rakyat yang masih bergelimang dengan kemiskinan hanya kita butuhkan suaranya dalam Pemilu dan Pilpres.

Marilah kita berpikir sebagai layaknya negarawan sejati, dengan memahami dan merasakan suasana kebatinan para pendiri bangsa ini dalam melahirkan negara yang kita cintai ini. Kami di DPD RI berpendapat, bahwa wacana amandemen konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir, harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tata negara sekaligus arah perjalanan bangsa ini.

Kita juga harus berani melakukan koreksi atas sistem ekonomi negara ini. DPD RI akan sekuat tenaga memperjuangkan hal itu. Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila seluruh elemen masyarakat Indonesia menjadikan agenda amandemen konstitusi sebagai momentum yang sama. Yaitu momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0941 seconds (0.1#10.140)