Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi

Sabtu, 30 Oktober 2021 - 06:26 WIB
loading...
A A A
baca juga: Buku Sihir Tertua Ditemukan Dalam Tablet Kuno Berusia 3.500 Tahun

Ia menginginkan katak-katak bersuara. Suasana dan doa berjalinan. Kita lanjutkan membaca: Ketika Bruder Bruno mendengarkan lagi/ suara-suara itu dengan sepenuh hati,/ koakan katak tidak lagi mengganggunya,/ karena Bruder menyadari/ bahwa kalau ia tidak lagi menentangnya,/ suara-suara itu justru memperkaya/ keheningan malam. Kita mengerti ada perbedaan dengan suguhan puisi Joko Pinurbo menampilkan jangkrik. Doa tak mutlak berlatar hening. Di puisi berjudul “Kaleng Dalam Kepala”, Joko Pinurbo masih mementingkan doa: Suara tetesnya/ menjadi suara doa/ yang merdu, berpadu/ dengan suara/ jangkrik,/ tonggeret,/ kodok/ dari kampung yang jauh. Doa itu suara-suara, bukan cuma suara manusia.

Berdoa kadang bermasalah. Orang kebingungan dengan ikhlas, salah, sombong, dan ragu. Di buku berjudul Burung Berkicau, Anthony de Mello mengingatkan kesombongan berdalih doa, bersumber dari cerita lama dimengerti umat religius: Ketika aku masik kecil, aku anak yang/ saleh, tekun dalam berdoa/ dan melakukan kebaktian. Pengakuan masa lalu. Pada suatu malam, pendoa itu bermasalah: Tiap orang yang ada di kamar/ bersama kami mulai mengantuk/ dan akhirnya semua tertidur pulas. Maka/ aku berkata kepada ayahku: “Dari/ semua orang yang tidur ini tidak ada/ seorang pun yang membuka matanya/ atau mengangkat kepalanya untuk berdoa. Seperti mati mereka semua/ itu.” Si tokoh rajin berdoa mulai menjadikan orang lain bersalah. Tuduhan berdalih doa. Ia rajin berdoa tapi sombong.

baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!

Ralat diberikan bapak dengan kalem: Anakku tercinta, aku lebih/ senang engkau juga tertidur/ dan tidak berdoa daripada/ mengumpat. Kita sejenak tersentak oleh perkataan bapak. Hidup sehari-semalam tak melulu mengucapkan doa. Manusia berhak tidur. Doa bukan bermisi sombong dan menganggap orang lain lemah iman. Kita diminta tak berlebihan dalam berdoa. Ajakan itu mirip dengan “Pengakuan Dosa” gubahan Joko Pinurbo. Puisi lucu tapi menginsafkan pembaca mau beriman dan bertakwa. Joko Pinurbo mengajak mesem: Tuhan, saya ingin meralat doa-doa/ yang pernah saya panjatkan. Doa saya/ banyak yang gombal: lamis, basa-basi,/ dan caper. Namun, jika doa-doa saya/ diedit dan dikoreksi, jangan-jangan/ yang tersisa hanya Amin. Kita tergelak, bukan tersentak.

Joko Pinurbo rajin menulis puisi “berdoa” tapi mengingatkan pembaca agar jangan “keterlaluan”. Berdoa bukan pameran kefasihan berbahasa. Doa tak harus berpamrih “menang”. Doa mungkin mengandung “salah” dalam kebahasaan. Doa bermasalah sejak kemauan dan pengalaman bersuasana. Doa terselenggara rutin memerlukan jeda dan ralat bila ingin kepatutan.

Kita berlanjut mengingat “sepi” telah dicantumkan Joko Pinurbo dalam keseriusan pendoa ingin sepi, bukan keramaian suara-suara. Puisi berjudul “Bayang-Bayang” bisa kita bandingkan dengan puisi lawas gubahan Joko Pinurbo berjudul “Pintu”. Puisi ditulis pada 1985. Joko Pinurbo menulis: tutuplah pintu itu, Tuhan/ agar angin tak masuk mengganggu tidurmu/ sebab aku tahu kau suka menyendiri/ dan selalu tabah menghadapi sepi/ aku tambah lama tambah sunyi/ karena itu tak mau sendiri. Babak sebelum Joko Pinurbo moncer dengan serial puisi mengenai celana, ikthiar mengungkap religisoitas telah terbaca sejak masa 1980-an. Dulu, puisi-puisi belum mengarah lucu atau “menakali” hal-hal teranggap wajar.

baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi

Sambungan dari kelucuan berpuisi akhir masa 1990-an, terus terbaca dalam puisi-puisi terbaru. Joko Pinurbo tak menghendaki sebagai penggubah puisi melulu doa. Ia pun mengerti ada tokoh-tokoh terdahulu telah memberi puisi mengenai doa sudah teringat umat sastra di Indonesia: Amir Hamzah , Chairil Anwar, Rendra , Sapardi Djoko Damono , Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain. Ia agak dekat dengan “kelucuan” berdoa bila kita membaca puisi-puisi gubahan Darmanto Jatman, Remy Sylado, atau F Rahardi.

Kita membaca masalah diri ingin tampil cantik dan anggun sudah dimunculkan sejak penerbitan buku Celana (1999). Kita membaca puisi berjudul “Kosmetik”, angan cantik tapi menguak religisoitas. Puisi mengingatka pula kemonceran buku berjudul Telepon Genggam (2003). Pembaca menikmati puisi mungkin ingin tertawa pelan: Ia belum siap menjadi tua./ Ia takut kehilangan pesona./ Ia takut tidak menarik lagi/ di hadapan dirinya sendiri./ Di depan ponselnya/ ia berdoa: “Salam maria/ penuh rahmat./ Lindungilah kami/ dari godaan iklan kosmetik.” Sosok ingin tak terjerat imajinasi kecantikan bersumber iklan-iklan. Ia masih ingin cantik tapi terhindar dari dusta-dusta.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1080 seconds (0.1#10.140)