Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi

Sabtu, 30 Oktober 2021 - 06:26 WIB
loading...
Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi
Puisi Berdoa dan Doa Berpuisi
A A A
Bandung Mawardi
Penulis buku Terbaca: Sejenak Bertema Anak (2021)

Dua tahun penuh doa. Kita mengalami wabah dan keranjingan berdoa. Menit demi menit, doa-doa terucap dalam beragam bahasa. Semula, wabah menciptakan takut kolosal meski sempat disepelekan atau dileluconkan. Ketakutan makin membesar. Dunia menjadi “kuburan”. Tanah-tanah menerima korban-korban dari “amukan” mengerikan. Orang-orang ingin selamat berdoa tak putus. Kematian-kematian makin menguatkan doa. Sendiri dan bersama, doa-doa ingin menabahkan dalam melakoni hari-hari sering bertema maut.

baca juga: Sambut Hari Sumpah Pemuda, 100 Buku Bersejarah Sejak Era Kolonial Diterbitkan Kembali

Pendoa dan pengajar doa itu bernama Joko Pinurbo. Ia berbahasa Indonesia, tak sungkan menaruh bahasa Jawa. Undangan berdoa bukan di tempat ibadah tapi di halaman-halaman buku berjudul Kabar Sukacinta. Buku terbaca di rumah, mengantar pembaca menekuni doa-doa: enteng, berat, serius, dan lugu. Doa-doa berbeda dari kebiasaan berdoa bersama di tempat ibadah. Doa dalam bait-bait membuat menangis, tak melupa mesem atau tertawa. Pembaca mungkin merasakan tabah atau kalah, takjub atau redup, girang atau hilang.

Bait tak mengerutkan kening: Doaku adalah/ nyanyian jangkrik,/ kerik kerak kerik,/ yang membuat malam dan maut terpana. Doa berkaitan maut. Joko Pinurbo dalam puisi berjudul “Mancing” itu belum ingin menempatkan pembaca sebagai pemilik mahaduka. Orang masih mungkin selamat. Suasana malam berjangkrik memberi suara mengiringi doa bakal menenangkan batin. Kewajaran untuk meminta keselamatan tak mutlak cuma dengan bahasa milik manusia. Manusia sebagai pendoa kadang memerlukan suara-suara lain.

Hari-hari dialami Joko Pinurbo ternamakan puisi. Ia memilih menggubah puisi-puisi berdoa, tak lupa mengajak tertawa mengartikan nasib saat wabah. Di puisi berjudul “Bayang-Bayang”, keluguan terbaca dan pembaca merasa sebagai pendoa terceritakan. Joko Pinurbo menulis: Saat berdoa, ia suka/ bercakap-cakap dengan/ bayang-bayangnya sendiri/ yang menemaninya/ di kamar yang disinari sepi. Kita “melihat” si tokoh sedang ingin mengerti kedirian untuk terbahasakan kepada Tuhan. Diri dalam “kurungan”, sadar dengan batas-batas dan sepi. Doa masih mungkin terselenggara. Di bait lanjutan, kita maklum: Dan ketika ia tidur,/ bayang-bayangnya/ tetap setia berjaga/ dan menikmati/ lantunan dengkurnya. Ia tak menghilang. Doa masih terselenggara.

baca juga: Gandeng Nyalanesia, Disdikbud Sultra Cetak 500 Judul Buku Karya Siswa-Guru

Sejak muda, Joko Pinurbo menggemari doa-doa. Ia memang rajin berdoa tapi memerlukan menikmati pengisahan doa, menemukan dan mengingat doa-doa membuat terpana. Joko Pinurbo membaca buku-buku susunan Anthony de Mello untuk mengetahui doa-doa, tak selalu mewajibkan hening atau kengototan. Kesadaran bersastra dan berdoa masa remaja itu terbawa sampai saat menjelang usia 60 tahun. Usia tua memanggil ingatan-ingatan lama, berpusat di doa.

Sejak masa 1980-an, orang-orang di Indonesia membaca buku-buku persembahan Anthony de Mello berjudul Doa Sang Katak, Burung Berkicau, Sejenak Bijak, dan lain-lain. Bacaan “enteng” bagi orang-orang ingin mengetahui Tuhan, diri, binatang, pohon, air, dan segala hal. Buku-buku meminta ketulusan berimajinasi dan menafsir terhindar serbuan tanda seru.

Kita simak pengajaran doa dari Anthony de Mello melalui cerita dan puisi: Pada suatu malam, ketika sedang berdoa,/ Bruder Bruno terganggu koak seekor katak lembu./ Semua usahanya untuk mengabaikan suara itu/ tidak berhasil, maka ia berterika dari jendela: “Diam! Aku sedang berdoa.”/ Karena Bruder Bruno seorang yang suci,/ perintahnya langsung dipatuhi./ Semua makhluk hidup menahan suaranya/ untuk menciptakan suasana hening/ yang sesuai untuk berdoa. Tindakan menimbulkan rasa bersalah. Ia telanjur memerintah dan marah demi doa. Ia beranggapan mungkin Tuhan suka suara katak bersama suara pendoa.

baca juga: Buku Sihir Tertua Ditemukan Dalam Tablet Kuno Berusia 3.500 Tahun

Ia menginginkan katak-katak bersuara. Suasana dan doa berjalinan. Kita lanjutkan membaca: Ketika Bruder Bruno mendengarkan lagi/ suara-suara itu dengan sepenuh hati,/ koakan katak tidak lagi mengganggunya,/ karena Bruder menyadari/ bahwa kalau ia tidak lagi menentangnya,/ suara-suara itu justru memperkaya/ keheningan malam. Kita mengerti ada perbedaan dengan suguhan puisi Joko Pinurbo menampilkan jangkrik. Doa tak mutlak berlatar hening. Di puisi berjudul “Kaleng Dalam Kepala”, Joko Pinurbo masih mementingkan doa: Suara tetesnya/ menjadi suara doa/ yang merdu, berpadu/ dengan suara/ jangkrik,/ tonggeret,/ kodok/ dari kampung yang jauh. Doa itu suara-suara, bukan cuma suara manusia.

Berdoa kadang bermasalah. Orang kebingungan dengan ikhlas, salah, sombong, dan ragu. Di buku berjudul Burung Berkicau, Anthony de Mello mengingatkan kesombongan berdalih doa, bersumber dari cerita lama dimengerti umat religius: Ketika aku masik kecil, aku anak yang/ saleh, tekun dalam berdoa/ dan melakukan kebaktian. Pengakuan masa lalu. Pada suatu malam, pendoa itu bermasalah: Tiap orang yang ada di kamar/ bersama kami mulai mengantuk/ dan akhirnya semua tertidur pulas. Maka/ aku berkata kepada ayahku: “Dari/ semua orang yang tidur ini tidak ada/ seorang pun yang membuka matanya/ atau mengangkat kepalanya untuk berdoa. Seperti mati mereka semua/ itu.” Si tokoh rajin berdoa mulai menjadikan orang lain bersalah. Tuduhan berdalih doa. Ia rajin berdoa tapi sombong.

baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!

Ralat diberikan bapak dengan kalem: Anakku tercinta, aku lebih/ senang engkau juga tertidur/ dan tidak berdoa daripada/ mengumpat. Kita sejenak tersentak oleh perkataan bapak. Hidup sehari-semalam tak melulu mengucapkan doa. Manusia berhak tidur. Doa bukan bermisi sombong dan menganggap orang lain lemah iman. Kita diminta tak berlebihan dalam berdoa. Ajakan itu mirip dengan “Pengakuan Dosa” gubahan Joko Pinurbo. Puisi lucu tapi menginsafkan pembaca mau beriman dan bertakwa. Joko Pinurbo mengajak mesem: Tuhan, saya ingin meralat doa-doa/ yang pernah saya panjatkan. Doa saya/ banyak yang gombal: lamis, basa-basi,/ dan caper. Namun, jika doa-doa saya/ diedit dan dikoreksi, jangan-jangan/ yang tersisa hanya Amin. Kita tergelak, bukan tersentak.

Joko Pinurbo rajin menulis puisi “berdoa” tapi mengingatkan pembaca agar jangan “keterlaluan”. Berdoa bukan pameran kefasihan berbahasa. Doa tak harus berpamrih “menang”. Doa mungkin mengandung “salah” dalam kebahasaan. Doa bermasalah sejak kemauan dan pengalaman bersuasana. Doa terselenggara rutin memerlukan jeda dan ralat bila ingin kepatutan.

Kita berlanjut mengingat “sepi” telah dicantumkan Joko Pinurbo dalam keseriusan pendoa ingin sepi, bukan keramaian suara-suara. Puisi berjudul “Bayang-Bayang” bisa kita bandingkan dengan puisi lawas gubahan Joko Pinurbo berjudul “Pintu”. Puisi ditulis pada 1985. Joko Pinurbo menulis: tutuplah pintu itu, Tuhan/ agar angin tak masuk mengganggu tidurmu/ sebab aku tahu kau suka menyendiri/ dan selalu tabah menghadapi sepi/ aku tambah lama tambah sunyi/ karena itu tak mau sendiri. Babak sebelum Joko Pinurbo moncer dengan serial puisi mengenai celana, ikthiar mengungkap religisoitas telah terbaca sejak masa 1980-an. Dulu, puisi-puisi belum mengarah lucu atau “menakali” hal-hal teranggap wajar.

baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi

Sambungan dari kelucuan berpuisi akhir masa 1990-an, terus terbaca dalam puisi-puisi terbaru. Joko Pinurbo tak menghendaki sebagai penggubah puisi melulu doa. Ia pun mengerti ada tokoh-tokoh terdahulu telah memberi puisi mengenai doa sudah teringat umat sastra di Indonesia: Amir Hamzah , Chairil Anwar, Rendra , Sapardi Djoko Damono , Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain. Ia agak dekat dengan “kelucuan” berdoa bila kita membaca puisi-puisi gubahan Darmanto Jatman, Remy Sylado, atau F Rahardi.

Kita membaca masalah diri ingin tampil cantik dan anggun sudah dimunculkan sejak penerbitan buku Celana (1999). Kita membaca puisi berjudul “Kosmetik”, angan cantik tapi menguak religisoitas. Puisi mengingatka pula kemonceran buku berjudul Telepon Genggam (2003). Pembaca menikmati puisi mungkin ingin tertawa pelan: Ia belum siap menjadi tua./ Ia takut kehilangan pesona./ Ia takut tidak menarik lagi/ di hadapan dirinya sendiri./ Di depan ponselnya/ ia berdoa: “Salam maria/ penuh rahmat./ Lindungilah kami/ dari godaan iklan kosmetik.” Sosok ingin tak terjerat imajinasi kecantikan bersumber iklan-iklan. Ia masih ingin cantik tapi terhindar dari dusta-dusta.

baca juga: Rekomendasi Buku untuk Belajar Alam Semesta, dari Sudut Sains hingga Agama

Kita menjenguk puisi berjudul “Kecantikan Belum Selesai” digubah pada 2003. Joko Pinurbo turut mengekalkan cantik dalam puisi-puisi. Dulu, suasana dan pengisahan berbeda: Sudah selesai. Sudah kucoba warna./ Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana./ Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir/ pada rambut, mata, dan bibir agar melihatku/ adalah melihat kecantikan yang belum selesai. Pada 2021, kecantikan belum selesai. Orang-orang mengalami wabah tapi raihan dan imajinasi kecantikan justru berada dalam tatapan mata di gawai. Kecantikan makin heboh bagi orang-orang memberi mata untuk industri hiburan Korea Selatan. Cantik justru tema terbesar saat hiburan itu “wajib” selama wabah ketimbang kalah.

Pada akhir 2001, kita berharapan wabah berakhir. Kita tak pernah berakhir membaca puisi-puisi. Di kenikmatan membaca puisi, kita berdoa. Kemauan berdoa tak melupa membuat kita tertawa. Hari-hari terlalu susah tapi Joko Pinurbo memberi “salam” dan “selamat” kepada pembaca agar tak terlalu nestapa. Puisi-puisi itu bersama kita, mengalami hari-hari sudah jenuh wabah. Kita pun rajin mengucap dan memberi “amin”. Begitu.

Judul : Kabar Sukacinta

Penulis : Joko Pinurbo

Penerbit : Kanisius

Cetak : 2021

Tebal : 80 halaman

ISBN : 978 979 21 7094 8
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1913 seconds (0.1#10.140)