MK Kabulkan Uji Materiil UU Covid-19 yang Diajukan Amien Rais Cs
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil undang-undang (UU) terkait penanganan Covid-19 . Dengan demikian, penyelewengan pengelolaan keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19 tetap bisa digugat.
Dalam putusannya, MK mengabulkan uji materiil UU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan Menjadi UU Covid-19.
UU tersebut digugat oleh Amien Rais, Sirajuddin Syamsuddin, serta aktivis dan LSM. Dalam gugatannya, pemohon menyebut UU Covid-19, khususnya Pasal 27 berpotensi melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi, bahkan tidak dapat digugat pada peradilan tata usaha.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," demikian dikutip dari salinan putusan MK, Kamis (28/10/2021).
Sidang yang diketuai Anwar Usman itu menyatakan frasa 'bukan merupakan kerugian negara' pada Pasal 27 ayat 1 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan'.
Isi lengkap Pasal 27 Ayat 1 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut berbunyi:
“Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Majelis hakim juga menyatakan frasa 'bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara' dalam Pasal 27 ayat 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Perppu Corona ini bisa digugat merujuk pada ketentuan Pasal 49 UU PTUN. Menurut majelis hakim, dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini, merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan. Namun setelah dicermati dengan saksama telah, ternyata UU Nomor Tahun 2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19. Tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, terhadap keadaan di luar pandemi Covid-19 dan begitu juga terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah hal demikian seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.
Terlebih lagi, dengan berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan (vide Pasal 75 dan Penjelasan Umum UU 30/2014). "Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum," kata hakim dalam pertimbangannya.
"Sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan," tulis putusan tersebut.
Dalam putusannya, MK mengabulkan uji materiil UU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan Menjadi UU Covid-19.
UU tersebut digugat oleh Amien Rais, Sirajuddin Syamsuddin, serta aktivis dan LSM. Dalam gugatannya, pemohon menyebut UU Covid-19, khususnya Pasal 27 berpotensi melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi, bahkan tidak dapat digugat pada peradilan tata usaha.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," demikian dikutip dari salinan putusan MK, Kamis (28/10/2021).
Sidang yang diketuai Anwar Usman itu menyatakan frasa 'bukan merupakan kerugian negara' pada Pasal 27 ayat 1 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan'.
Isi lengkap Pasal 27 Ayat 1 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut berbunyi:
“Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Majelis hakim juga menyatakan frasa 'bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara' dalam Pasal 27 ayat 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Perppu Corona ini bisa digugat merujuk pada ketentuan Pasal 49 UU PTUN. Menurut majelis hakim, dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini, merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan. Namun setelah dicermati dengan saksama telah, ternyata UU Nomor Tahun 2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19. Tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, terhadap keadaan di luar pandemi Covid-19 dan begitu juga terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah hal demikian seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.
Terlebih lagi, dengan berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan (vide Pasal 75 dan Penjelasan Umum UU 30/2014). "Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum," kata hakim dalam pertimbangannya.
"Sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan," tulis putusan tersebut.
(thm)