Habib Husein Ja'far: Jadikan Imajinasi Sebagai Pemersatu Bangsa

Kamis, 28 Oktober 2021 - 13:14 WIB
loading...
Habib Husein Jafar: Jadikan Imajinasi Sebagai Pemersatu Bangsa
Habib Husein Jafar Al Hadar. Dok pribadi
A A A
Bagi Habib Husein Ja’far Al Hadar, Sumpah Pemuda merupakan roh kebangsaan yang menjadi sumber kekuatan. Pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, 21 Juni 1988 ini mendorong agar momen bersejarah itu benar-benar ditransfer kepada generasi muda dengan baik dan benar. Bagaimana tantangan dan peran kaum milenial di era bonus demografi ini dalam memaknai Hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap tanggal 28 Oktober. Berikut wawancara wartawan KORAN SINDO Muhamad Yamin dengan Habib Ja’far.

Bagaimana Pendapat Anda Memaknai Hari Sumpah Pemuda?

Bagi saya begini. Kekuatan suatu bangsa itu yang paling dasar dah utama adalah imajinasi. Bahwa mereka adalah satu dan saudara. Begitu kata Benedict Richard O'Gorman Anderson atau yang sering dipanggil Ben Anderson. Intinya kita tidak saling menyakiti, tidak saling menghianati dan tidak saling membunuh. Nah, karena punya imajinasi yang sama maka kita ini adalah saudara. Itu yang menjadi kekuatan kita.

Imajinasi yang dibangun oleh para pemuda pada tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda itu sangat luar biasa. Imajinasi itu tidak bisa diikat oleh apapun kecuali sumpah. Maka sumpah itu bagi saya adalah pengikat imajinasi bersama bahwa kita adalah satu yaitu Indonesia. Bagi saya, sumpah pemuda itu adalah hari lahirnya bangsa Indonesia. Ibarat pernikahan adalah akad nikahnya. Adapun 1945 itu resepsinya. Bagi generasi saat ini khususnya generasi milenial, sumpah itu harus terus diperbaharui dalam sanubari ke berbagai bentuk karena adanya tantangan-tantangan yang bisa menusuk imajinasi kita sebagai bangsa Indonesia.

Misalnya isu tentang konsep negara khilafah, SARA, radikalisme dan lain sebagainya. Isu itu akan mengganggu imajinasi kita bahwa orang Indonesia kalau berbeda agama tidak saudara atau orang Indonesia kalau berbeda suku lebih besar kesukuannya ketimbang keindonesiaannya. Nah, imajinasi itu yang perlu dijaga.

Menurut saya hal itu yang harus dan perlu terus dikontekstualisasikan dan direlevansikan. Bukan hanya sebagai seremonial, festival atau peringatan upacara semata. Kita adalah satu di tengah tantangan-tantangan saat ini terutama yang datang dari media sosial. Media sosial itulah yang akan mengganggu dengan berbagai konten-konten yang merusak imajinasi.

Dulu, imajinasi kata Benn Anderson itu diikat oleh media radio kalau di Indonesia, sementara di Amerika melalui majalah. Itu dulu menggunakan media radio. Nah, sekarang medianya sudah bergeser ke digital. Karena itu kemudian perlu ada kesadaran dan gerakan menjaga imajinasi melalui pola-pola digital karena media itu menyatukan sekaligus merusak.

Maka perlu kemudian generasi muda hadir secara masif di media sosial menyebarkan gagasan-gagasan tentang imajinasi yang satu dan yang sama bahwa kita adalah Indonesia. Itulah salah satunya yang saya lakukan melalui kesadaran nilai-nilai keislaman untuk membangun kesadaran bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bahwa Islam pengikat perbedaan dan lain sebagainya.

Di era sekarang, bagaimana peran generasi muda dalam memaknai Hari Sumpah Pemuda?

Menurut saya golnya satu yakni tentang kesatuan imajinasi tadi. Perannya yang dilakukan adalah dengan membangun berbagai hal yang sumbernya dari dalam diri kita masing-masing. Apa yang bisa kita sumbangkan karena keorisinalitasan menjadi sangat penting dan mudah untuk dilakukan. Kalau tidak original maka kita akan susah melakukannya dan tidak akan menarik. Karena kreativitas itu salah satu sumber utamanya adalah orisinalitas dari dalam diri kita. Kita punya apa kemudian kita persembahkan untuk kesatuan imajinasi bersama sebagai satu bangsa.

Bagi saya kemudian tinggal setiap orang melihat potensi dirinya apa. Saya memiliki potensi dibidang agama kemudian saya membangun konten-konten agama yang berorientasi pada kesatuan imajinasi sebagai bangsa. Misalnya toleransi tentang kebangsaan dan lain sebagainya. Nah, setiap orang bisa melakukan itu. Ada yang melakukannya dengan film, komik atau psikologi dengan memberikan konten-konten psikologi yang berorientasi kesana. Intinya semangatnya sama yaitu membangun imajinasi yang satu bahwa kita adalah Indonesia.

Dan aspek tontonan dan kretifitasnya juga harus dipertimbangkan jangan hanya memikirkan aspek tuntunannya. Sehingga tuntunan itu tidak bernilai tontonan. Nah, kelemahannya, hal-hal kebangsaan yang dibuat oleh negara atau lembaga itu bersifat tidak kreatif. Dia hanya bernilai tuntunan tapi tidak tontonan sehingga tidak banyak orang terinspirasi dari sana. Jadi hanya menjadi iklan-iklan lembaga saja. Karena itu menurut saya penting setiap orang itu mengeluarkan dari dalam dirinya secara original sehingga kemudian tuntunan bernilai tontonan.

Nah, ceramah yang saya sampaikan disajikan dengan gaya yang orisinil dan kreativitas yang memadai sehingga bukan hanya bernilai tuntunan tapi tontonan. Sehingga bukan lagi misalnya, mari bangsa Indonesia kita bersatu dengan tangan sambil mengepal. Dengan film juga bisa atau dengan apapun lah. Sehingga nilai-nilai itu bisa ditransfer kepada generasi muda. Karena saat ini kita sedang menghadapi satu tantangan dan satu kelebihan.

Kelebihannya bahwa kita adalah sedang menghadapi bonus demografi dimana pemuda ini mayoritas. Tapi tantangannya kita juga berada di masa peralihan dari cetak dan analog ke digital sehingga harus dipikir matang-matang bagaimana bisa merambah anak muda di tengah perubahan era menuju digital sehingga harus menyajikan konten digital yang tepat. Salah-salah anak mudanya nggak ada grab karena medium digitalnya tidak bisa dipegang dengan baik atau tidak bisa menyajikan konten digital yang baik.

Nah, itu yang sering dan masih gagal disajikan oleh beberapa lembaga dan pemerintahan. Artinya mereka masih melalui TV, bikin iklan berjejer ke kanan dan kiri. Kemudian mengepalkan tangan padahal eranya sudah geser. Intinya perubahan itu tidak disadari padahal media digital atau media sosial khususnya sangat rentan karena riset-riset menunjukkan gerakan- gerakan radikalisme dan terorisme menjadikan media sosial sebagai garda terdepan untuk mengoyak-ngoyak imajinasi kita tentang kesatuan bangsa.

Kalau Anda melihat posisi pemerintah berada dimana?

Saya melihatnya pemerintah sekali-kali terjebak pada seremonial seperti upacara atau festival. Bagi saya itu bagus seremonial tapi kurang efektif. Kemudian pendekatannya masih cenderung konvensional. Tidak kreatif sehingga pesannya tidak sampai ke generasi muda. Karena merasa pesannya bukan yang gue bangat. Ini juga tantangan buat saya dan juga yang lainnya. Ketika tidak bisa mengemas dengan baik maka pesannya tidak akan sampai. Padahal tantangan generasi muda saat ini sedang dominan.

Begini ya, generasi muda itu kan tidak merasakan pancasila sebagaimana generasi tua. Misalnya mereka tidak merasakan beratnya tantangan kebangsaan. Artinya mereka masih minus pengalaman. Mereka tidak mengetahui bahayanya radikalisme, mereka tidak mengetahui berapa dasyatnya pancasila dan sebagainya.

Nah, kalau itu gagal ditransfer bahwa Pancasila begitu Agung dan penting dalam menjaga keutuhan NKRI maka akan menjadi bencana besar bukan bonus, tapi bencana demografi. Karena itu menurut saya, ini tantangannya media sosial sebab bonus demografinya disana. Ia kalau hanya sia-sia memanfaatkan bonus demografi seperti Afrika Selatan, tapi kalau jadi bencana akan lebih bahaya. Bukan cuma gagal tapi minus dan pemuda jadi propaganda dan anti nilai-nilai kebangsaan. Itu kan sangat membahayakan.

Artinya pemerintah seharusnya peka dan melek bagaimana keinginan atau kemauan anak milenial sekarang seiring perubahan ini?

Ya, artinya secara komunikasi harus sadar. Caranya bisa dengan melibatkan mereka dalam proses komunikasi. Menghadirkan keterwakilan mereka. Sebenarnya pemerintah punya amunisi untuk itu. Kan ada stafsus milenial yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik.

Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat di Hari Sumpah Pemuda ini?

Bagi saya, roh Sumpah Pemuda itu adalah kebangsaa. Karena itu, sumpah ini menjadi kekuatan kita. Dulu kita punya Sumpah Palapa, kemudian keturunan Arab juga punya sumpah tahun 1934 karena memang dahsyatnya sumpah bagi kita. Karena itu, momen ini harus betul-betul bisa ditransfer kepada generasi muda agar bisa menghayati. Bukan lagi menjalani peristiwa bersejarah sehingga bagaimana menghidupkan itu secara roh kepada generasi muda.

Bagaimana kemudian perayaan ini bisa membuat bulu kuduk mereka merinding. Bukan sekedar ada sejarah itu, oh iya ada peristiwa itu. Oh iya ada upacara dan pakai pakaian ini, tapi tidak. Bagi saya tantangannya bagaimana secara kreatif menghadirkan penghayatan Sumpah Pemuda yang bisa membuat bulu kuduk mereka merinding karena itu sebagai simbol masuk kesanubari generasi muda.
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2675 seconds (0.1#10.140)