Indonesia Didorong Ikut Berperan Kurangi Dampak Krisis Iklim

Rabu, 27 Oktober 2021 - 17:46 WIB
loading...
A A A
"Ada sekitar 9,6 juta hektare hutan alam dan 2,8 juta hektare ekosistem gambut tersisa, yang ini di luar kebijakan perlindungan pemberian izin baru yang perlu dilindungi, kalau tidak ingin terdeforestasi," kata Salma.

Hutan alam dan ekosistem gambut memang memberikan jasa ekosistem yang luar biasa besar. Maka dari itu, sangat penting untuk Indonesia melindungi setidaknya 9,6 juta hektare hutan alam dan 2,8 juta hektare ekosistem gambut yang tersisa tersebut.

"Kemudian, terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal, masyarakat adat dan lokal ini memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga, memproteksi dan merestorasi hutan atau wilayah tempat mereka tinggal. Jadi, perannya sangat vital juga dalam mencapai komitmen iklim Indonesia," kata Salma.

Sayangnya, kata Salma, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat masih terhambat karena belum disahkannya RUU Masyarakat Adat, yang memenimbulkan konflik akibat adanya perampasan lahan-lahan masyarakat adat.

"Indonesia memang sudah menetapkan target untuk merehabilitasi hutan, kemudian merestorasi gambut dan merehabilitasi mangrove, tapi hal-hal yang perlu digaris-bawahi dari target-target tersebut adalah untuk mendorong kolaborasi multipihak, baik dari pemerintah Indonesia, masyarakat sipil maupun dari sektor-sektor swasta untuk benar-benar mencapai target-target tersebut," kata Salma.

Target NZE alias nol emisi pun perlu didorong dari sektor sampah. Pengelolaan sampah seharusnya dilakukan secara menyeluruh sejak dari produksi hingga konsumsi. Menurut Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia. Seyogianya, pengelolaan sampah harus difokuskan sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan yang diproduksi harus bisa didaur ulang, atau tidak menggunakan bahan berbahaya.

Di sisi hilir atau konsumen, sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tak memilah sampah. Konsumen juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. "Jika hanya fokus pada hilir, tak akan menyelesaikan masalah," kata Yobel.

Pemerintah juga perlu menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator ). Sebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan abu yang serius. Langkah yang perlu ditempuh adalah memacu pengomposan sampah domestik. Dengan menerapkan metode tersebut, maka volume sampah bisa berkurang. Lahan uruk saniter (sanitary landfill) dan lahan uruk terkontrol (controlled landfill) juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi pelepasan gas metana dari sampah. Saat ini, ada 514 TPA (tempat pembuangan akhir) sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada 2030.

Brurce Mecca, analis Climate Policy Initiative (CPI), mengatakan banyak anggaran yang beralih ke sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Alhasil, anggaran iklim tidak menjadi prioritas. "Tantangannya, jangan sampai pergeseran ini terjadi untuk jangka panjang. Anggaran jangka panjang tetap difokuskan untuk ekonomi hijau," katanya.

Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menarik bagi investasi hijau. Misalnya dengan memberi insentif bagi investasi hijau dan disinsentif bagi investasi sektor kotor. Insentif ini bisa dilakukan bagi pemerintah daerah. Misal dengan mendorong Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus untuk penganggaran energi hijau. Dengan kebijakan ini, investasi hijau dari swasta dan luar negeri diharapkan dapat terbetot.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0948 seconds (0.1#10.140)