Indonesia Didorong Ikut Berperan Kurangi Dampak Krisis Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia didorong mengambil peran dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) ke-26 yang bakal digelar di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober–12 November 2021. Presiden Jokowi dijadwalkan hadir dalam forum tingkat tinggi yang akan diiikuti 197 negara untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari krisis iklim.
Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi COVID-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung. Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana yang dipicu cuaca buruk. Dan di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius sembari membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca juga: Mohammad bin Salman Kucurkan Rp147 Triliun untuk Perangi Perubahan Iklim
Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.
Chenny Wongkar, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi. Rencana pembangunan harus hijau, adil, dan seimbang. Tidak hanya memburu pertumbuhan, tapi juga bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.
"Pembangunan semacam ini harus mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim," kata Chenny dalam konferensi pers Komunitas Peduli Krisis Iklim yang disiarkan di YouTube Kemitraan Indonesia Partnership, Rabu (27/10/2021).
Untuk menunjukkan capaian atas pembangunan semacam itu, terdapat sejumlah indikator yang dapat ditengok. Di antaranya masyarakat memiliki udara bersih dan bebas dari pencemaran, pembangunan tidak mengeksploitasi sumber daya esensial dan merusak lingkungan, serta kebutuhan dasar seperti energi, pangan, kesehatan, dan sanitasi dapat terjamin pemenuhannya.
Baca juga: Ramalan Bill Gates: Perubahan Iklim Ciptakan Peluang Menguntungkan
Deon Arinaldo, Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengutip pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (LTS-LCCR 2050/Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development), sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e. Ketika itu Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil.
Dampak praktik tersebut buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. "Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan kata Deon.
Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Salma Zakiyah menjelaskan manfaat jika Indonesia mencapai net zero emission pada 2060 mendatang. Pertama, untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa. Kedua, mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, adalah mengurangi degradasi dan mempercepat pemulihan ekosistem alam.
Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi COVID-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung. Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana yang dipicu cuaca buruk. Dan di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius sembari membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca juga: Mohammad bin Salman Kucurkan Rp147 Triliun untuk Perangi Perubahan Iklim
Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.
Chenny Wongkar, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi. Rencana pembangunan harus hijau, adil, dan seimbang. Tidak hanya memburu pertumbuhan, tapi juga bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.
"Pembangunan semacam ini harus mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim," kata Chenny dalam konferensi pers Komunitas Peduli Krisis Iklim yang disiarkan di YouTube Kemitraan Indonesia Partnership, Rabu (27/10/2021).
Untuk menunjukkan capaian atas pembangunan semacam itu, terdapat sejumlah indikator yang dapat ditengok. Di antaranya masyarakat memiliki udara bersih dan bebas dari pencemaran, pembangunan tidak mengeksploitasi sumber daya esensial dan merusak lingkungan, serta kebutuhan dasar seperti energi, pangan, kesehatan, dan sanitasi dapat terjamin pemenuhannya.
Baca juga: Ramalan Bill Gates: Perubahan Iklim Ciptakan Peluang Menguntungkan
Deon Arinaldo, Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengutip pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (LTS-LCCR 2050/Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development), sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e. Ketika itu Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil.
Dampak praktik tersebut buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. "Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan kata Deon.
Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Salma Zakiyah menjelaskan manfaat jika Indonesia mencapai net zero emission pada 2060 mendatang. Pertama, untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa. Kedua, mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, adalah mengurangi degradasi dan mempercepat pemulihan ekosistem alam.