Sakti, Nyawa Orang Nomor 1 di TNI AD Ini Selamat Meski Diberondong Tembakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bertaruh nyawa di medan operasi merupakan risiko yang harus dihadapi setiap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Khususnya di awal-awal berdirinya Republik ini, di mana pemberontakan bersenjata kerap terjadi di berbagai daerah.
Salah satunya pemberontakan bersenjata Darul Islam /Tentara Islam Indonesia (DI/TI)I pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Garut, Jawa Barat. Gerakan yang memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia ini dengan cepat berkembang di sejumlah daerah. Di antaranya, DI/TII Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah. Kemudian DI/TII Kalimantan Selatan pimpinan Ibnu Hajar. Muncul juga DI/TII Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar pada 1952 dan DI/TII Aceh pimpinan Tengku Muhammad Daud Berueueh pada 1953.
Pemerintah yang melihat gerakan tersebut bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta mengancam kedaulatan negara, langsung mengambil sikap tegas dengan menggelar operasi militer berskala besar menumpas pemberontakan bersenjata tersebut.
Salah seorang yang terlibat dalam operasi penumpasan tersebut adalah mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Rudini. Dalam buku biografi berjudul “Rudini: Potret Pengabdian Prajurit TNI AD” diceritakan, Letda Rudini yang saat itu menjadi salah satu komandan peleton organik Batalyon 518/Terirotium V/Brawijaya mendapat tugas menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Mendapat tugas operasi tempur pertama ini, anak ketiga dari sepuluh saudara pasangan Raden Ismangoen Poespohandojo dan Raden Ajoe Koesbandijah langsung menyambutnya. Meski muncul suara sumbang yang meragukan kemampuannya dalam mengatasi pemberontakan. Namun, hal itu tidak menyurutkan nyali lulusan Akademi Militer Kerajaan atau Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda ini untuk menumpas para pemberontak.
Berbekal informasi yang diperoleh, pria kelahiran 15 Desember 1929 di Malang, Jawa Timur langsung melakukan pemetaan daerah operasi sekaligus memperkirakan pergerakan pasukan DI/TII. Dengan pasukan yang relatif sedikit, Rudini kemudian menggelar patroli dengan jarak tempuh yang jauh dan luas. Meski berisiko tinggi, namun semua pasukannya kembali dengan selamat. Hingga suatu ketika, peleton Rudini diminta berpatroli melewati beberapa perbukitan. Saat itu, Rudini yang di kemudian hari menjadi Pangkostrad ini menyarankan kepada komando atas agar bukit-bukit di kuasai terlebih dahulu sebelum menggelar patroli agar aman dari serangan musuh. Namun, usulnya diabaikan.
Perkiraan Rudini terbukti. Saat patroli digelar, pasukannya mendapat serangan mendadak dari atas bukit, enam anggota peletonnya gugur seketika terkena tembakan dari Momoc atau Mobile Movement Command yang merupakan pasukan khusus DI/TII Kahar Muzakar. Mendapat serangan tersebut, Rudini yang saat itu berada di atas mobil Jeep memerintahkan perlawanan. Sementara sopir yang duduk di sebelahnya gugur terkena berodongan senjata saat terjadi serangan dadakan tersebut. Kontak tembak antara kedua pasukan tersebut tak terhindarkan dan berlangsung sengit.
Di sisi lain, bantuan pasukan yang diharapkan pun tak kunjung datang. Meski begitu, Rudini tak putus asa, bersama pasukannya Rudini bertempur habis-habisan walaupun tembakan bertubi-tubi datang dari atas dan samping bukit. Keberanian dan kegigihan Rudini beserta pasukannya membuahkan hasil, beberapa pemberontak tewas diterjang peluru panas pasukannya dan sebagian lagi melarikan diri ke hutan.
Setelah situasi mereda, Rudini kemudian melakukan konsolidasi dengan pasukannya. Saat itulah baru diketahui, jika atap mobil Jeep yang ditumpanginya terkena 27 tembakan dan menyebabkan sopirnya gugur. Secara teoritis dengan jumlah peluru yang bersarang di atas mobil Jeep tersebut, mestinya Rudini tewas terkena tembakan. Namun, kenyataannya nyawa Rudini selamat. Peristiwa ini menggegerkan penduduk sekitar dan seluruh Batalyon 518/Brawijaya. Setelah kejadian itu, Rudini tidak lagi dipandang sebelah mata.
Salah satunya pemberontakan bersenjata Darul Islam /Tentara Islam Indonesia (DI/TI)I pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Garut, Jawa Barat. Gerakan yang memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia ini dengan cepat berkembang di sejumlah daerah. Di antaranya, DI/TII Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah. Kemudian DI/TII Kalimantan Selatan pimpinan Ibnu Hajar. Muncul juga DI/TII Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar pada 1952 dan DI/TII Aceh pimpinan Tengku Muhammad Daud Berueueh pada 1953.
Pemerintah yang melihat gerakan tersebut bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta mengancam kedaulatan negara, langsung mengambil sikap tegas dengan menggelar operasi militer berskala besar menumpas pemberontakan bersenjata tersebut.
Salah seorang yang terlibat dalam operasi penumpasan tersebut adalah mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Rudini. Dalam buku biografi berjudul “Rudini: Potret Pengabdian Prajurit TNI AD” diceritakan, Letda Rudini yang saat itu menjadi salah satu komandan peleton organik Batalyon 518/Terirotium V/Brawijaya mendapat tugas menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Mendapat tugas operasi tempur pertama ini, anak ketiga dari sepuluh saudara pasangan Raden Ismangoen Poespohandojo dan Raden Ajoe Koesbandijah langsung menyambutnya. Meski muncul suara sumbang yang meragukan kemampuannya dalam mengatasi pemberontakan. Namun, hal itu tidak menyurutkan nyali lulusan Akademi Militer Kerajaan atau Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda ini untuk menumpas para pemberontak.
Berbekal informasi yang diperoleh, pria kelahiran 15 Desember 1929 di Malang, Jawa Timur langsung melakukan pemetaan daerah operasi sekaligus memperkirakan pergerakan pasukan DI/TII. Dengan pasukan yang relatif sedikit, Rudini kemudian menggelar patroli dengan jarak tempuh yang jauh dan luas. Meski berisiko tinggi, namun semua pasukannya kembali dengan selamat. Hingga suatu ketika, peleton Rudini diminta berpatroli melewati beberapa perbukitan. Saat itu, Rudini yang di kemudian hari menjadi Pangkostrad ini menyarankan kepada komando atas agar bukit-bukit di kuasai terlebih dahulu sebelum menggelar patroli agar aman dari serangan musuh. Namun, usulnya diabaikan.
Perkiraan Rudini terbukti. Saat patroli digelar, pasukannya mendapat serangan mendadak dari atas bukit, enam anggota peletonnya gugur seketika terkena tembakan dari Momoc atau Mobile Movement Command yang merupakan pasukan khusus DI/TII Kahar Muzakar. Mendapat serangan tersebut, Rudini yang saat itu berada di atas mobil Jeep memerintahkan perlawanan. Sementara sopir yang duduk di sebelahnya gugur terkena berodongan senjata saat terjadi serangan dadakan tersebut. Kontak tembak antara kedua pasukan tersebut tak terhindarkan dan berlangsung sengit.
Di sisi lain, bantuan pasukan yang diharapkan pun tak kunjung datang. Meski begitu, Rudini tak putus asa, bersama pasukannya Rudini bertempur habis-habisan walaupun tembakan bertubi-tubi datang dari atas dan samping bukit. Keberanian dan kegigihan Rudini beserta pasukannya membuahkan hasil, beberapa pemberontak tewas diterjang peluru panas pasukannya dan sebagian lagi melarikan diri ke hutan.
Setelah situasi mereda, Rudini kemudian melakukan konsolidasi dengan pasukannya. Saat itulah baru diketahui, jika atap mobil Jeep yang ditumpanginya terkena 27 tembakan dan menyebabkan sopirnya gugur. Secara teoritis dengan jumlah peluru yang bersarang di atas mobil Jeep tersebut, mestinya Rudini tewas terkena tembakan. Namun, kenyataannya nyawa Rudini selamat. Peristiwa ini menggegerkan penduduk sekitar dan seluruh Batalyon 518/Brawijaya. Setelah kejadian itu, Rudini tidak lagi dipandang sebelah mata.