Pola untuk Kebijakan Mitigasi Wabah Covid-19

Rabu, 22 April 2020 - 07:45 WIB
loading...
Pola untuk Kebijakan Mitigasi Wabah Covid-19
Foto/Reuters
A A A
Gindo Tampubolon (Universitas Manchester) dan Eduwin Pakpahan (Universitas Newcastle)

Manchester, Hari Kartini.

Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar (-80%) orang yang tertular virus SARS-CoV-2 hanya sakit ringan, cukup mengurung diri di rumah. Dari yang masuk rumah sakit hanya sedikit yang sampai parah atau akhirnya menjadi korban meninggal. Tingkat kematian ditaksir -5%.

Namun tingkat kecil ini harus dilihat dengan latar belakang virus yang mudah menular, bahkan sebelum seorang penular merasakan demam atau batuk. Jumlah kasus tertular mungkin jauh lebih besar daripada yang dikabarkan koran. Jadi tingkat kematian yang kecil pun bisa berarti banyak keluarga yang kehilangan nenek, kakek, ayah, ibu dan saudara.

Misalnya di Amerika Serikat akhir April jumlah kasus lebih 800.000 dan korban meninggal hampir 43.000, sehingga tingkat kematian 5%. Di China, angka-angka yang sejajar adalah 83.000, 4.600 dan 6% (worldometers.info). Dua negara ini memberi contoh negara yang sedang memuncak dan melintasi wabah.

Bukan hanya tingkat kematian yang patut jadi bahan pelajaran. Yang lebih penting adalah pola korban yang meninggal sehingga kita bisa memahami virus ini untuk menyiapkan pemerintah bersama masyarakat. Kami ingin menyampaikan pola yang ditemukan di Indonesia.

Tiga pola kematian karena covid-19

Dari 80,000 kematian yang kami olah dari Eropa, China dan Korea, ada tiga pola yang mencuat. Pertama, laki-laki lebih banyak jadi korban; kedua, kelompok umur pensiunan lebih banyak jadi korban; terakhir, penyakit awal diabetes, darah tinggi dan jantung lebih fatal. Hal penyakit awal ini maksudnya, bila ada dua orang yang mirip semuanya dan hanya berbeda penyakitnya: seorang berpenyakit jantung sedangkan seorang lagi berpenyakit ginjal maka bila keduanya tertular maka peluang penyandang jantung untuk meninggal lebih besar. Oleh sebab itu dalam berbagai kesempatan kami menyebutnya penyakit trisula yang mengancam pasien covid-19: diabetes, darah tinggi dan jantung.

Pola 1: laki-laki lebih rentan Berikut ini tabel dari selusin negara yang menunjukkan pola ini. Portugis misalnya, untuk setiap 10 korban perempuan terdapat 21 korban laki-laki. Dimana pun korban lebih banyak laki-laki.

Pola 2: pensiunan lebih rentan menunjukkan tingkat kematian bersama umur dari China yang menunjukkan lonjakan tinggi ketika menapak usia 60 atau pensiun. Pola menapak tangga umur ini terus berlanjut sehingga kelompok tertua punya tingkat kematian tertinggi.

Kedua pola pertama ini konsisten bila digabungkan seperti ditunjukkan data dari Italia pada gambar berikut: laki-laki lebih rentan daripada perempuan, secara umum maupun di setiap umur.

Pola 3: penyakit kronis di awal sangat menentukan Penyakit covid-19 ini sangat pungkas memakan korban di antara penyandang penyakit awal terutama penyakit diabetes, darah tinggi dan jantung. Pola ini muncul di banyak negara sehingga kami menggabungkan ketiganya dan menyebut (kelompok) penyakit trisula. Misalnya di China dan Italia.

Kedua pola kematian di atas ternyata saling menguatkan, seperti kami temukan di Spanyol. Bukan hanya penyandang penyakit kronis lebih mungkin meninggal karena covid-19, di antara para penyandang ini, laki-laki lebih rentan.

Artinya Buat Indonesia: Pola-pola yang Lebih Tajam

Oleh karena pola penyakit awal yang khas ini, dipadu dengan pola resiko penyakit jantung di Indonesia yang kami temukan pada tahun 2014 (Maharani & Tampubolon 2014, PLoS One), kami menarik kesimpulan khusus buat Indonesia. Korban covid-19 di Indonesia lebih muda, bukan pensiunan melainkan orang pada usia produktif.

Temuan kami menunjukkan bahwa dua-per-tiga orang Indonesia berumur ≥40 tidak sadar bahwa mereka beresiko mati karena penyakit jantung. Temuan ini menyentuh dua pola di atas. Sehingga kami menyampaikan bahwa di Indonesia polanya lebih buruk karena korbannya lebih muda. Korban covid-19 di luar negeri terutama adalah pensiunan (60+) tetapi di Indonesia kami duga korbannya justru mereka yang berusia produktif (40+). Ini jalur yang membuat wabah ini bukan semata-mata krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi.

Patut diingat bahwa temuan tentang resiko jantung yang tidak disadari tersebut terkait dengan kabar tahun lalu yang meramaikan media yakni BPJS membayar perawatan jantung/stroke sebesar Rp11.5 triliun. Bila pola penyakit kronis pada umur produktif diabaikan maka krisis kesehatan ini akan menjelma jadi bencana ekonomi jangka panjang karena motor ekonomi keluarga dan negara lumpuh.

Bagaimana Tiga Pola Ini di Indonesia?

Dari catatan korban yang mulai kami dapat atau diberitakan seperti di Jawa Timur, terlihat bahwa pola laki-laki lebih rentan mencuat. Di Jawa Timur, rasio laki-laki:perempuan adalah 3:1 (Jakarta Post dan CNN Indonesia 13 April). Di Jawa Barat dan DKI rasionya lebih dari 2:1. Rasio ini di atas semua negara yang kami catat di Tabel 1; laki-laki Indonesia lebih rentan daripada semua lelaki di dunia.

Oleh karena pola ini senada dengan temuan di luar negeri, mari kita lihat lebih rinci apakah pola lain yang dirumuskan di atas tepat untuk Indonesia, agar kebijakan mitigasi wabah covid-19 lebih tajam.

Menggunakan data dari DKI hingga 31 Maret (yang informasinya lengkap: N=667, meninggal 77 atau 12%) diolah dengan model probit, kami menaksir peluang meninggal di antara para pasien dalam pengawasan. Dengan model seperti ini kami sudah memperhitungkan bahwa, misalnya, lebih banyak laki-laki yang menyandang penyakit jantung daripada perempuan. Selain itu, wanti-wanti: data ini masih belum di puncak wabah jadi masih akan berubah dan informasi pun belum lengkap misalnya jenis kelamin sebagian pasien tidak dicatat (pasien begini terpaksa kami sisihkan). Hasilnya kami ringkaskan dalam dua grafik baru.

Pola Laki-laki Lebih Rentan dan Pola Umur

Pertama terlihat perbedaan besar antara laki-laki dan perempuan dalam peluang meninggal karena covid-19. Perbedaan ini sangat nyata. Lihat misalnya belia kurang dari 30 tahun: perempuan berpeluang meninggal 5% sedangkan teman laki-lakinya berpeluang 9%. Atau lihat dua orang pensiunan: perempuan berpeluang meninggal 13% sedangkan laki-laki 21%.

Yang juga kelihatan adalah pemuda-pemudi pun ternyata berpeluang tidak kecil. Bila para belia (<30) merasa masih aman, maka temuan ini menunjukkan satu atau dua dari 20 belia bisa meninggal karena covid-19.

Tidak nampak perbedaan nyata antara 30an dengan 40an, berbeda dengan praduga kami di atas. Baru ketika menapak 50an lonjakan peluang terasa (tambahan 7%). Mengingat bahwa pada tanggal 1 Maret Indonesia, menurut pemerintah, masih bebas virus SARS-COv-2, maka temuan ini mengatakan satu dari sepuluh pasien covid-19 yang berusia 50an bisa meninggal dalam sebulan.

Pola Penyakit Trisula

Selain pola jenis kelamin dan umur kami juga menyebutkan pola penyakit awal, untuk menekankan perlunya penyandang penyakit jantung, diabetes dan darah tinggi berhati-hati.

Pola penyakit trisula ini yang paling menyolok. Di antara pasien tanpa penyakit awal bulan lalu peluangnya satu dari sepuluh. Namun bila pasien saat itu sudah menyandang diabetes, darah tinggi, atau jantung maka peluangnya meninggal berlipat lima. Bandingkan juga rentang kedua grafik di atas (dua kali lipat); pengaruh penyakit awal sangat besar.

Apakah pola 40an yang kami duga ternyata salah, artinya yang 40an boleh lega? Tentu, bila mereka telah memeriksakan diri untuk resiko jantung dan mengendalikannya. Temuan kami (2014 dan 2019) mengatakan bahwa dua-per-tiga dari mereka tidak sadar dan tidak mengendalikan resiko jantung. Bila mereka ternyata beresiko jantung maka peluang meninggal bisa melonjak: buat laki-laki penyandang trisula peluang meninggal bisa 50:50 (titik tertinggi di gambar 6).

Apa Artinya Temuan Baru Ini buat Indonesia?

Seperti kami sampaikan sejak bulan lalu, pemerintah dan masyarakat perlu bertindak tegas agar virus SARS-CoV-2 ini tidak menyebar atau menulari diri sendiri. Khusus perorangan: bila laki-laki dan bulan lalu berpenyakit diabetes, jantung atau darah tinggi maka perlu ekstra hati-hati.

Buat pemerintah, kami hanya mengangkat dua hal. Pertama, korban covid-19 bukan hanya pensiunan tetapi pekerja produktif seperti kepala cabang, manajer, direktur lini, dokter spesialis, atau ringkasnya motor ekonomi. Ketika wabah ini mereda, Indonesia memerlukan motor untuk menggerakkan perekonomian yang sekarang disetop, memicu ekonomi keluarga dan negara. Krisis kesehatan ini memang beranyaman erat dengan krisis ekonomi.

Oleh sebab itu pemerintah mesti bertindak tegas memutus rantai penularan.

Kedua, pola yang paling utama, yakni pola penyakit menular menuntut tindakan khusus. Pastikan bahwa penyandang penyakit trisula di atas mendapatkan obat sesuai pedoman (misalnya captopril bukan 15 melainkan 30 hari). Temuan kami di lapangan tahun lalu menunjukkan bahwa penduduk desa yang berpenyakit jantung masih belum teratur mendapatkan obat yang menjadi haknya. Ini membuat mereka rentan fatal terhadap covid-19.

Selain itu dalam berbagai kesempatan kami sebutkan pemerintah perlu menegakkan pembatasan atau jaga jarak sosial serentak dengan memberi bantuan (bukan sembako melainkan) emoney kepada pekerja informal. Semua pekerja di umur produktif, baik formal maupun informal, rentan terhadap covid-19 dan karena itu berhak mendapat perlindungan nyata dari pemerintah. Langkah mitigasi untuk mengayomi rakyat mesti dibangun di atas pola dan temuan ini.

Terima kasih kepada mas Dono Widiatmoko dan mas Ruly Achdiat.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1913 seconds (0.1#10.140)