Memaknai Hari Jadi OKI ke-52 dan Refleksi bagi Indonesia
loading...
A
A
A
Abdul Ghofar Ismail
Peminat Hubungan Internasional, Diplomat
PADA 25 September 1969 silam para pemimpin negara-negara Islam berkumpul di Rabat, Maroko, menyusul pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh zionis Israel pada 21 Agustus 1969. Pertemuan ini melahirkan Deklarasi Rabat yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Pada awal berdirinya, organisasi ini mempunyai tujuan sederhana, yaitu secara politik memberikan dukungan penuh berdirinya negara Palestina dengan Yerussalem sebagai ibukotanya. Selain itu, OKI juga sepakat menyuarakan kepentingan negara-negara Islam di kancah forum internasional, mempromosikan kerja sama ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang abadi.
Dalam perkembangannya, anggota OKI terus bertambah dari 40 di awal pendirian menjadi 57 negara dari empat benua pada 2021 ini. Di luar itu masih terdapat lima negara observer, masing-masing yaitu Bosnia Herzegovina, Ciprus Utara, Afrika Tengah, Thailand, dan Rusia. OKI telah menjadi organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB. Bukan hanya menyangkut kuantitas keanggotaan yang berkembang, bidang kerja sama di dalam OKI pun juga mengalami transformasi dan perkembangan ke arah positif.
Pada 2005 organisasi ini melakukan transformasi paradigma dan konseptual dari posisi sebelumnya menuju posisi baru yang sepakat membahas secara lebih mendalam aspirasi nyata dunia muslim. Proses reformasi ini menerjemahkan konsep solidaritas menjadi aksi dengan tiga tujuan utama, yaitu reformasi internal OKI, reorganisasi OKI menyesuaikan tantangan kontemporer melalui proses modernisasi, dan upaya peningkatan posisi OKI sebagai major player di kancah forum internasional. Sejalan dan seiring dengan perkembangan politik global, pada sidangnya tahun 2011 nama “Organisasi Konferensi Islam” pun diubah menjadi ”Organisasi Kerja Sama Islam” .
Tonggak transformasi yang ditandai perubahan nama ini dapat dimaknai secara beragam. Namun secara bahasa, pengubahan istilah “Konferensi” menjadi “Kerja Sama” mengandung makna pentingnya transformasi dari solidaritas yang cenderung sempit, kaku, terlalu ideologis, bahkan utopis menjadi politik yang lebih menginjak ke bumi, pragmatis, dan boleh jadi kekinian.
Selain menyuarakan solidaritas misalnya terkait isu konflik Palestina-Israel, perdamaian kawasan, OKI dalam wajah baru mulai membahas mengenai kerja sama lebih luas antara lain perdagangan, pariwisata, investasi, pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan seterusnya. Lebih jauh lagi layaknya organisasi internasional yang berbasis regional seperti ASEAN atau Uni Eropa, atau bahkan PBB, OKI pun mencanangkan target-target kerja sama strategis lima tahunan dan sepuluh tahunan.
Tantangan dan Peluang
Meskipun OKI sudah mendeklarasikan transformasi kerja sama ke arah pragmatif pada level antarpemerintah, namun tidak dapat dimungkiri organisasi ini masih dihadapkan kepada tantangan klasik khas negara berkembang. Mulai dari ketegangan hubungan antarnegara anggota, konflik domestik, angka kemiskinan yang masih tinggi, isu kesehatan hingga kesejahteraan.
Fakta mayoritas anggota OKI negara berkembang dan beberapa saling kurang rukun memang benar adanya. Namun, bukan berarti OKI tidak mempunyai peluang kerja sama untuk meraih kemajuan.
Para pemimpin negara anggota OKI telah melihat visi ke depan peluang tersebut sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen OKI. Dalam Program Aksi OKI-2025 termaktub semangat bersama bahwa solidaritas Islam, kemitraan dan kerja sama harus dimajukan. Disepakati pula hubungan historis yang telah ada dan kedekatan budaya diantara anggota OKI perlu digalakkan untuk meningkatkan kerja sama politik, sosial dan ekonomi.
Faktor pendukung lainnya, adanya fakta sejumlah negara OKI mempunyai produk domestik bruto (PDB) per kapita nomimal lebih dari USD23.000, USD28.000, bahkan USD40.000. Tingkatan PDB per capita ini justru melampaui negara maju di Eropa dan Asia. Di samping itu, banyak negara-negara OKI dianugerahi potensi ekonomi yang tidak boleh diremehkan baik di bidang sumber daya alam, sumber daya manusia maupun ilmu pengetahuan teknologi.
Melihat peta situasi di atas, kita patut optimis transformasi kerja sama OKI di era ini tetap relevan dan mempunyai masa depan. Tentunya dengan syarat kita mampu menggali peluang dan mau mengimplementasikannya dalam bentuk kerja nyata. Peluang dapat dikatakan banyak, namun masih berserakan, terpencar dan perlu digali bersama dengan semangat transformasi seperti yang telah digariskan para pemimpin negara anggota OKI.
Sebagai contoh banyak negara Timur Tengah lama dikenal sebagai negara pengekspor utama minyak bumi. Namun, menyadari minyak bumi fosil tidak dapat diperbarui, mereka mulai memikirkan pengembangan pertanian yang membutuhkan kerja sama dengan negara lain. Sementara negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai negara agraris, kaya akan sumber daya alam, kaya tenaga kerja, maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun masih sangat membutuhkan investasi asing. Sementara itu, negara dari kawasan Afrika juga dikenal kaya akan sumber daya alam, namun memerlukan investasi asing dan tenaga kerja ahli dan terampil.
Refleksi bagi Indonesia
Indonesia mempunyai modal politik yang sangat baik di mana citra Indonesia sebagai pendukung OKI termasuk dukungan secara konsisten terhadap kemerdekaan Palestina. Selain itu Indonesia juga mempunyai modal sejarah politik yang besar sebagai negara pencetus Gerakan Non Blok dan penggagas Konferensi Asia-Afrika. Untuk melengkapinya, peran Indonesia di kawasannya di mana Indonesia merupakan salah satu founding nations pendiri ASEAN dan mempunyai reputasi besar sebagai juru damai di kawasan.
Berbekal modal politik tersebut, Indonesia mempunyai peluang besar dalam meningkatkan kerja sama di semua bidang guna memajukan kepentingan nasional. Kementerian Luar Negeri RI telah menggarisbawahi prioritas politik luar negeri kita hingga 2024 bertumpu pada empat prioritas; yaitu diplomasi ekonomi, peningkatan kontribusi kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia, kedaulatan dan kebangsaan, dan perlindungan.
Dalam diplomasi ekonomi, Indonesia bertekad melakukan kapitalisasi penguatan pasar domestik Indonesia yang merupakan pasar besar dengan populasi penduduk lebih mencapai 270 juta jiwa. Untuk itu Indonesia harus mampu menjadikan pasar domestik sebagai leverage atau daya tawar untuk menjalin kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di tingkat bilateral maupun regional.
Di samping itu, Indonesia dituntut mampu melakukan penguatan pasar tradisional dan terobosan pasar non-tradisional. Keberhasilan awal Indonesia menembus pasar non tradisional seperti Afrika melalui Indonesia-Africa Forum dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue, sudah selayaknya diikuti dengan upaya keras BUMN dan pebisnis Indonesia menggarap kawasan non tradisional lainnya, terutama sesama anggota OKI di Timur Tengah, Asia Selatan dan Tengah.
Sejalan dengan semangat itu, Indonesia sudah waktunya mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swastanya untuk lebih percaya diri lagi melakukan ekspansi outbound investment termasuk ke negara OKI potensial. Sebagai contoh tindakan diskriminatif Eropa terhadap kelapa sawit Indonesia seharusnya semakin membakar semangat Indonesia untuk mencari pasar nontradisional di Asia Selatan, Tengah, Timur Tengah hingga Afrika yang potensial menjadi mitra dagang dan produksi.
Kepentingan kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu hal fundamental karena menyangkut hajat hidup 16 juta orang di Indonesia. Lautan peluang bagi Indonesia masih terbentang luas termasuk di antaranya mendorong ekonomi 4.0 meliputi industri digital, ekonomi kreatif dan pengembangan SDM di mana Indonesia dipandang sebagai negara yang cukup kuat. Sesuai dengan motto HUT RI ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Semoga kita dapat mengambil momentum ini dengan merangkul OKI lebih erat.
Peminat Hubungan Internasional, Diplomat
PADA 25 September 1969 silam para pemimpin negara-negara Islam berkumpul di Rabat, Maroko, menyusul pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh zionis Israel pada 21 Agustus 1969. Pertemuan ini melahirkan Deklarasi Rabat yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Pada awal berdirinya, organisasi ini mempunyai tujuan sederhana, yaitu secara politik memberikan dukungan penuh berdirinya negara Palestina dengan Yerussalem sebagai ibukotanya. Selain itu, OKI juga sepakat menyuarakan kepentingan negara-negara Islam di kancah forum internasional, mempromosikan kerja sama ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang abadi.
Dalam perkembangannya, anggota OKI terus bertambah dari 40 di awal pendirian menjadi 57 negara dari empat benua pada 2021 ini. Di luar itu masih terdapat lima negara observer, masing-masing yaitu Bosnia Herzegovina, Ciprus Utara, Afrika Tengah, Thailand, dan Rusia. OKI telah menjadi organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB. Bukan hanya menyangkut kuantitas keanggotaan yang berkembang, bidang kerja sama di dalam OKI pun juga mengalami transformasi dan perkembangan ke arah positif.
Pada 2005 organisasi ini melakukan transformasi paradigma dan konseptual dari posisi sebelumnya menuju posisi baru yang sepakat membahas secara lebih mendalam aspirasi nyata dunia muslim. Proses reformasi ini menerjemahkan konsep solidaritas menjadi aksi dengan tiga tujuan utama, yaitu reformasi internal OKI, reorganisasi OKI menyesuaikan tantangan kontemporer melalui proses modernisasi, dan upaya peningkatan posisi OKI sebagai major player di kancah forum internasional. Sejalan dan seiring dengan perkembangan politik global, pada sidangnya tahun 2011 nama “Organisasi Konferensi Islam” pun diubah menjadi ”Organisasi Kerja Sama Islam” .
Tonggak transformasi yang ditandai perubahan nama ini dapat dimaknai secara beragam. Namun secara bahasa, pengubahan istilah “Konferensi” menjadi “Kerja Sama” mengandung makna pentingnya transformasi dari solidaritas yang cenderung sempit, kaku, terlalu ideologis, bahkan utopis menjadi politik yang lebih menginjak ke bumi, pragmatis, dan boleh jadi kekinian.
Selain menyuarakan solidaritas misalnya terkait isu konflik Palestina-Israel, perdamaian kawasan, OKI dalam wajah baru mulai membahas mengenai kerja sama lebih luas antara lain perdagangan, pariwisata, investasi, pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan seterusnya. Lebih jauh lagi layaknya organisasi internasional yang berbasis regional seperti ASEAN atau Uni Eropa, atau bahkan PBB, OKI pun mencanangkan target-target kerja sama strategis lima tahunan dan sepuluh tahunan.
Tantangan dan Peluang
Meskipun OKI sudah mendeklarasikan transformasi kerja sama ke arah pragmatif pada level antarpemerintah, namun tidak dapat dimungkiri organisasi ini masih dihadapkan kepada tantangan klasik khas negara berkembang. Mulai dari ketegangan hubungan antarnegara anggota, konflik domestik, angka kemiskinan yang masih tinggi, isu kesehatan hingga kesejahteraan.
Fakta mayoritas anggota OKI negara berkembang dan beberapa saling kurang rukun memang benar adanya. Namun, bukan berarti OKI tidak mempunyai peluang kerja sama untuk meraih kemajuan.
Para pemimpin negara anggota OKI telah melihat visi ke depan peluang tersebut sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen OKI. Dalam Program Aksi OKI-2025 termaktub semangat bersama bahwa solidaritas Islam, kemitraan dan kerja sama harus dimajukan. Disepakati pula hubungan historis yang telah ada dan kedekatan budaya diantara anggota OKI perlu digalakkan untuk meningkatkan kerja sama politik, sosial dan ekonomi.
Faktor pendukung lainnya, adanya fakta sejumlah negara OKI mempunyai produk domestik bruto (PDB) per kapita nomimal lebih dari USD23.000, USD28.000, bahkan USD40.000. Tingkatan PDB per capita ini justru melampaui negara maju di Eropa dan Asia. Di samping itu, banyak negara-negara OKI dianugerahi potensi ekonomi yang tidak boleh diremehkan baik di bidang sumber daya alam, sumber daya manusia maupun ilmu pengetahuan teknologi.
Melihat peta situasi di atas, kita patut optimis transformasi kerja sama OKI di era ini tetap relevan dan mempunyai masa depan. Tentunya dengan syarat kita mampu menggali peluang dan mau mengimplementasikannya dalam bentuk kerja nyata. Peluang dapat dikatakan banyak, namun masih berserakan, terpencar dan perlu digali bersama dengan semangat transformasi seperti yang telah digariskan para pemimpin negara anggota OKI.
Sebagai contoh banyak negara Timur Tengah lama dikenal sebagai negara pengekspor utama minyak bumi. Namun, menyadari minyak bumi fosil tidak dapat diperbarui, mereka mulai memikirkan pengembangan pertanian yang membutuhkan kerja sama dengan negara lain. Sementara negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai negara agraris, kaya akan sumber daya alam, kaya tenaga kerja, maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun masih sangat membutuhkan investasi asing. Sementara itu, negara dari kawasan Afrika juga dikenal kaya akan sumber daya alam, namun memerlukan investasi asing dan tenaga kerja ahli dan terampil.
Refleksi bagi Indonesia
Indonesia mempunyai modal politik yang sangat baik di mana citra Indonesia sebagai pendukung OKI termasuk dukungan secara konsisten terhadap kemerdekaan Palestina. Selain itu Indonesia juga mempunyai modal sejarah politik yang besar sebagai negara pencetus Gerakan Non Blok dan penggagas Konferensi Asia-Afrika. Untuk melengkapinya, peran Indonesia di kawasannya di mana Indonesia merupakan salah satu founding nations pendiri ASEAN dan mempunyai reputasi besar sebagai juru damai di kawasan.
Berbekal modal politik tersebut, Indonesia mempunyai peluang besar dalam meningkatkan kerja sama di semua bidang guna memajukan kepentingan nasional. Kementerian Luar Negeri RI telah menggarisbawahi prioritas politik luar negeri kita hingga 2024 bertumpu pada empat prioritas; yaitu diplomasi ekonomi, peningkatan kontribusi kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia, kedaulatan dan kebangsaan, dan perlindungan.
Dalam diplomasi ekonomi, Indonesia bertekad melakukan kapitalisasi penguatan pasar domestik Indonesia yang merupakan pasar besar dengan populasi penduduk lebih mencapai 270 juta jiwa. Untuk itu Indonesia harus mampu menjadikan pasar domestik sebagai leverage atau daya tawar untuk menjalin kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di tingkat bilateral maupun regional.
Di samping itu, Indonesia dituntut mampu melakukan penguatan pasar tradisional dan terobosan pasar non-tradisional. Keberhasilan awal Indonesia menembus pasar non tradisional seperti Afrika melalui Indonesia-Africa Forum dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue, sudah selayaknya diikuti dengan upaya keras BUMN dan pebisnis Indonesia menggarap kawasan non tradisional lainnya, terutama sesama anggota OKI di Timur Tengah, Asia Selatan dan Tengah.
Sejalan dengan semangat itu, Indonesia sudah waktunya mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swastanya untuk lebih percaya diri lagi melakukan ekspansi outbound investment termasuk ke negara OKI potensial. Sebagai contoh tindakan diskriminatif Eropa terhadap kelapa sawit Indonesia seharusnya semakin membakar semangat Indonesia untuk mencari pasar nontradisional di Asia Selatan, Tengah, Timur Tengah hingga Afrika yang potensial menjadi mitra dagang dan produksi.
Kepentingan kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu hal fundamental karena menyangkut hajat hidup 16 juta orang di Indonesia. Lautan peluang bagi Indonesia masih terbentang luas termasuk di antaranya mendorong ekonomi 4.0 meliputi industri digital, ekonomi kreatif dan pengembangan SDM di mana Indonesia dipandang sebagai negara yang cukup kuat. Sesuai dengan motto HUT RI ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Semoga kita dapat mengambil momentum ini dengan merangkul OKI lebih erat.
(bmm)