Sidang Asabri Ricuh, Pakar Hukum: Perkara Besar Sidang Harus Terpisah

Jum'at, 17 September 2021 - 16:46 WIB
loading...
Sidang Asabri Ricuh, Pakar Hukum: Perkara Besar Sidang Harus Terpisah
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyarankan proses pengadilan hukum perkara Asabri sebaiknya dilakukan secara terpisah. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Persidangan kasus dugaan korupsi PT Asabri diwarnai kericuhan. Pasalnya, para terdakwa menolak disidangkan secara bersamaan. Mereka beralasan karena tempus perkara dan peran para terdakwa yang berbeda-beda sehingga dianggap tidak efektif dan akan mengaburkan peran masing-masing.

Hal itu diungkapkan Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro yaitu Fajar Gora. Dia menyebut hak para terdakwa jika tidak ingin disidangkan secara bersamaan. Beberapa hal diungkapkan alasan kenapa kliennya tak ingin disidangkan bersama-sama. “Nomor perkara dari 8 terdakwa tersebut kan berbeda. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda," kata Fajar.

Menurutnya aneh, jika perkara tersebut diperiksa secara bersamaan. "Bahkan, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini juga cuma satu," ujarnya.

Selain itu, jika perkara tersebut digabungkan maka akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim. Terlebih dengan digabungkan akan membuat kelelahan pada penasehat hukum, saksi, dan terdakwa nantinya. "Ada 13 terdakwa, namun banyak majelis hakim yang menyidangkan sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif," katanya.

Senada, kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk juga mengaku keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukanlah untuk membuat kericuhan namun bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa. "Alasan kami untuk menolak sidang bersamaan sangat jelas, yang pertama sebagaimana diketahui berkas perkara delapan terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah sehingga ada delapan nomor perkara," ujar Kresna.
Menurutnya, dengan adanya perbedaan nomor perkara tentunya sidang harus dilakukan secara terpisah sebagaimana nomor perkara masing-masing terdakwa. Karena itu dirinya berpendapat sidang tidak dilakukan bersamaan. Terkait dengan alasan teknis, menurutnya juga sangat menyulitkan para penasehat hukum dalam melakukan pembelaan. Karena apabila digabung, jumlah penasehat hukum yang dibolehkan bersidang hanya dua orang. "Sehingga kami tidak mungkin melakukan pembelaan secara maksimal, mengingat berkas perkara ini sangat banyak," ujarnya.

Kresna menyebut apabila 8 terdakwa disidangkan oleh majelis hakim yang sama kondisi tersebut sangat menyulitkan. Menurutnya, ada baiknya majelis hakim ditambah dan dipecah setiap perkaranya, sehingga akan memudahkan persidangan. "Selain itu juga, demi para saksi juga yang apabila majelisnya tetap sama, mereka harus hadir 3 hari berturut-turut, apabila majelis dipecah dan ditambah, tentunya pemanggilan para saksi dapat diatur secara silih berganti dan sidang lebih efektif," lanjutnya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyarankan lebih baik dalam proses pengadilan hukum perkara Asabri dilakukan secara terpisah. Karena kasus menjerat para terdakwa berbeda. Menurutnya, hal itu dilakukan agar dalam proses pembuktiannya lebih valid dan juga saksi-saksi yang dihadirkan lebih leluasa dalam memberikan kesaksian.

"Karena per-kasusnya juga berbeda, berkaca dari kasus 13 MI di Jiwasraya memang harus dipisahkan. Nggak bisa dengan cara disatukan seperti itu, nanti hakimnya tidak fokus, jadi putusannya kurang akurat," ujarnya.

Karena ia melihat lebih tepat dan ideal jika setiap terdakwa disidangkan secara terpisah. Karena, Asabri merupakan kasus yang besar dan nilainya triliunan. "Jadi ini harus terpisah secara sendiri-sendiri dan diproses sesuai dengan aturan yang berlaku sesuai dengan UU yang ada, alat bukti yang ada, semuanya harus fight itu" katanya.

Menurutnya dengan pemisahan sidang perkara di tiap berkas terdakwa, maka proses pembuktian harus dilakukan secara adil, agar majelis hakim dalam putusannya sesuai dengan bukti yang ditunjukkan. "Itu yang diperlukan, karena ini kan persoalannya tahap pembuktiannya adalah momen yang paling berat. Itu menurut saya agar keyakinan hakim tetap tinggi, jadi di dalam proses pembuktian perlu adanya bukti-bukti yang valid dan akurat, tentu memerlukan tenaga serta pemikiran tidak sedikit," kata dia.

Praktisi hukum lainnya, Bob Hasan mengatakan seharusnya para terdakwa melalui kuasa hukum berjuang melalui peluang yang disediakan dalam proses eksepsi, sayangnya agenda tersebut telah terlalui. "Sehingga pelaksanaan persidangan yang menjadi perselisihan tersebut berujung pada penolakan keberatan tersebut, namun demi kelancaran proses penegakan hukum maka seharusnya majelis berkenan mendengarkan alasan para terdakwa yang meminta pemisahan proses persidangan," katanya.

Dia mencontohkan terkait dengan kasus Manager Investasi dalam perkara Jiwasraya yang eksepsinya diterima oleh majelis hakim. "Contoh kasus koorporasi Manager Investasi, awalnya terjadi penggabungan atau penyatuan oleh jaksa dalam dakwaan pada satu nomor perkara. Setelah persidangannya dilakukan terpisah sesuai dengan nomor perkaranya maka saya yakin majelis, penuntut umum, kuasa hukum dan terdakwa dapat lebih fokus pada perkaranya masing-masing” lanjutnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2317 seconds (0.1#10.140)