Waspadai Potensi Radikalisme dan Terorisme Pasca Hancurnya ISIS dan Berkuasanya Taliban

Minggu, 12 September 2021 - 04:52 WIB
loading...
Waspadai Potensi Radikalisme dan Terorisme Pasca Hancurnya ISIS dan Berkuasanya Taliban
mantan Deputi Kerja Sama Internasional dan Direktur Pencegahan BNPT, Irjen Pol (Purn) Hamidin mengatakan Indonesia harus mewaspadai potensi radikalisme dan terorisme pasca kehancuran kelompok ISIS di Irak dan Suriah dan berkuasanya kelompok Taliban di Afg
A A A
TANGERANG - Indonesia harus mewaspadai potensi radikalisme dan terorisme pasca kehancuran kelompok ISIS di Irak dan Suriah dan berkuasanya kelompok Taliban di Afghanistan.

Pasalnya, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung dengan jaringan kelompok teroris Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) di Suriah dan Irak di era 2014-2019, serta ikut pelatihan dengan Taliban di Afghanistan pada 1990-an yang melahirkan kelompok Al Jamaah Al Islamiyah.

“Ini menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk melawan radikalisme dan terorisme. ISIS memang sudah selesai tetapi simpatisan dari Indonesia yang ingin kembali masih banyak. Lalu kemudian Al Jamaah Al Islamiyah Indonesia yang kita ketahui bersama ada generasi 1 sampai 4 dan sudah diidentifikasi oleh negara,” ujar mantan Deputi Kerja Sama Internasional dan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Hamidin di Tangerang, Sabtu (11/9/2021).

Dia mengungkapkan kembalinya beberapa simpatisan ISIS dan isu Taliban di Afghanistan yang harus diwaspadai. Potensi pertama adalah orang-orang yang kembali pasca kekalahan ISIS. Ia mengaku pernah datang langsung ke Irbil, Irak, untuk menjemput deportan eks simpatisan ISIS tahun 2017 lalu. Di situ, ia melihat fakta bahwa tidak semua simpatisan ISIS kembali ke negaranya.

Dari penelusurannya, Hamidin mengatakan ada eks militan asal Indonesia yang tidak pulang ke Indonesia tetapi pulang ke Tunisia karena menikah dengan orang Tunisia. Kemudian ada juga militan dari negara lain yang justru ke Indonesia.

“Saya menyebut mereka relocator. Mereka adalah dia orang dari suatu negara, tapi dia ikut berjuang pada ISIS, dia kembali. Kemudian dia tinggal di suatu negara tertentu dan bergabung dengan sel-sel terorisme di negara tersebut,” ungkap mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur ini.

Menurutnya, relocator ini dulu pernah terjadi di Indonesia saat ramai-ramainya kelompok Al Qaeda seperti Noordin M Top dan Dr Azahari dari Malayia. Pun dengan tokoh teroris lainnya Muhammad Hasan dari Singapura yang ditangkap tahun 2008 lalu. Mereka adalah contoh nyata relocator masa lalu.

“Sekarang orang yang dari ISIS bisa saja berada di tengah-tengah kita, kemudia dia bergabung kepada sel lamanya. Kemudian suatu saat ketika ada momentum, maka dia akan hidup lagi untuk menggelorakan itu,” jelas Hamidin.

Ia mengungkapkan tidak semua relocator itu teridentifikasi saat masuk ke Indonesia. Seperti Muhammad Bojoglan dan kawan-kawan dari Uighur yang pernah bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso.

Kedua, lanjut Hamidin, yang perlu diwaspadai adalah pengelana yang frustasi atau frustatated traveller. Saat ISIS berjaya, orang-orang ini sebenarnya ingin berangkat ke Suriah dan Irak tetapi tidak ada sponsor, tidak ada yang bisa mengajak, tidak ada yang bisa mengantar tapi gairahnya sangat tinggi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2156 seconds (0.1#10.140)