YLBHI: RUU PKS Perlu Segera Disahkan, Banyak Laporan Korban ke Polisi yang Ditolak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Indonesia Asfinawati menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS ) perlu segera disahkan menyusul kian maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di berbagai daerah.
Belakangan yang sangat mengejutkan, muncul pengakuan seorang pria berinisial MS yang diduga telah mengalami pelecehan seksual di kantornya di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Perlunya RUU PKS segera disahkan menjadi undang-undang, terang Asfinawati, lantaran kasus pelecehan seksual selama ini sulit diusut hingga tuntas karena aparat beralasan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Ajak Satukan Persepsi untuk Sukseskan RUU PKS
"Perlu disahkan (RUU PKS), karena banyak laporan ke polisi ditolak dengan alasan tidak ada hukumnya," kata Asfin, sapaan Asfinawati melalui layanan pesan, Jumat (3/9/2021).
Alumnus Universitas Indonesia itu memahami ada pihak yang menolak RUU PKS karena definisi kekerasan seksual yang tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak, yang dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.
Misalnya, terang Asfin, pada Pasal 12 RUU PKS yang menyebut kekerasan seksual ialah bentuk tindakan fisik atau nonfisik kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Namun, tandas Asfin, penolakan pada pasal tertentu di dalam RUU PKS bukan berarti harus menolak rancangan aturan itu.
Baca juga: Ketua Panja DPR Jelaskan Hubungan RUU PKS dengan Legalitas LGBT
"Biasa, kan ada ketidaksetujuan dalam detail-detail, tetapi kenapa jadi seluruh RUU ditolak," ujarnya.
Menurut Asfin, pada dasarnya pasal-pasal yang tertuang di dalam RUU PKS yang diajukan masyarakat sipil mengacu pada pengalaman korban menghadapi sembilan bentuk kekerasan seksual. Adapun, sembilan bentuk itu yaitu pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.
Menurut Asfin, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak berani memperkarakan kasus, karena mereka tak memiliki dasar hukum yang kuat. "Makanya, dulu orang sering pakai perbuatan tidak menyenangkan," kata Asfin.
Belakangan yang sangat mengejutkan, muncul pengakuan seorang pria berinisial MS yang diduga telah mengalami pelecehan seksual di kantornya di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Perlunya RUU PKS segera disahkan menjadi undang-undang, terang Asfinawati, lantaran kasus pelecehan seksual selama ini sulit diusut hingga tuntas karena aparat beralasan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Ajak Satukan Persepsi untuk Sukseskan RUU PKS
"Perlu disahkan (RUU PKS), karena banyak laporan ke polisi ditolak dengan alasan tidak ada hukumnya," kata Asfin, sapaan Asfinawati melalui layanan pesan, Jumat (3/9/2021).
Alumnus Universitas Indonesia itu memahami ada pihak yang menolak RUU PKS karena definisi kekerasan seksual yang tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak, yang dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.
Misalnya, terang Asfin, pada Pasal 12 RUU PKS yang menyebut kekerasan seksual ialah bentuk tindakan fisik atau nonfisik kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Namun, tandas Asfin, penolakan pada pasal tertentu di dalam RUU PKS bukan berarti harus menolak rancangan aturan itu.
Baca juga: Ketua Panja DPR Jelaskan Hubungan RUU PKS dengan Legalitas LGBT
"Biasa, kan ada ketidaksetujuan dalam detail-detail, tetapi kenapa jadi seluruh RUU ditolak," ujarnya.
Menurut Asfin, pada dasarnya pasal-pasal yang tertuang di dalam RUU PKS yang diajukan masyarakat sipil mengacu pada pengalaman korban menghadapi sembilan bentuk kekerasan seksual. Adapun, sembilan bentuk itu yaitu pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.
Menurut Asfin, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak berani memperkarakan kasus, karena mereka tak memiliki dasar hukum yang kuat. "Makanya, dulu orang sering pakai perbuatan tidak menyenangkan," kata Asfin.
(abd)