Kotak Pandora Amendemen Terbatas UUD 1945
loading...
A
A
A
Asrizal Nilardin
Anggota Tim Lembaga Bantuan Hukum Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta
AMANDEMEN terbatas UUD 1945 kini memasuki fase penting dan monumental seusai pidato Ketua MPR dan Ketua DPD pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI beberapa waktu lalu yang menyinggung pentingnya menghadirkan kembali haluan negara sebagai bintang penuntun arah pembangunan bangsa.
Amendemen UUD 1945 pada dasarnya amat penting untuk dilakukan guna merespons perkembangan kebutuhan konstitusional negara yang kini semakin kompleks. Amendemen Kelima UUD 1945 juga penting sebagai respons atas kebutuhan bangsa pascapandemi Covid-19. Namun, hadirnya wacana amendemen seharusnya merupakan inisiasi dan aspirasi publik sebagai pemegang dan pemilik kedaulatan. Itu penting agar legalitas serta legitimasi UUD 1945 pasca-Amendemen Kelima diterima oleh publik. Jika amendemen diarahkan hanya terbatas pada upaya menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara, hal itu suatu tindakan yang tidak berarti karena tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia.
Wacana liar mengenai amendemen terbatas UUD 1945 telah lama muncul, jauh hari sebelum masifnya wacana MPR yang akan menghidupkan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Secara informal, wacana ini muncul di luar parlemen yang diprakarsai oleh para elite politik. Wacana amendemen terbatas UUD 1945 di luar perlemen tersebut yakni menyangkut ketentuan Pasal 7 tentang Masa Jabatan Presiden. Wacana tersebut dimaksudkan untuk memberikan legitimasi konstitusional kepada Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat dua periode untuk dapat mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Presiden 2024. Pretensi tersebut datang dari golongan yang mungkin tidak siap untuk kehilangan status quo. Tidak main-main, secara struktural mereka membentuk sebuah tim loyalis dengan maksud serius untuk menyukseskan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Pretensi Elite Politik
Ironis karena keinginan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode datang dari elite politik, bukan atas kehendak publik atau masyarakat awam. Padahal, elite politik sebenarnya mengerti alasan fundamental mengenai perlunya pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode.
Kendati Presiden dan Ketua MPR telah sama-sama menyetujui untuk melakukan amendemen terbatas kelima UUD 1945, yakni hanya menyangkut penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN, serta menolak adanya perubahan pada ketentuan lain, khususnya menyinggung soal periodisasi jabatan presiden, kekhawatiran tetap saja muncul. Amendemen terbatas tidak tertutup kemungkinan akan menjadi pintu masuk untuk membuka Kotak Pandora perihal masa jabatan presiden yang diperpanjang menjadi tiga periode sebagaimana sebelumnya telah menguat dan kerap diwacanakan oleh sejumlah elite politik.
Wacana Amendemen Kelima UUD 1945 yang akan dilakukan oleh MPR, entah itu menyangkut dengan kewenangan MPR soal PPHN, atau pembahasan perihal periodisasi masa jabatan presiden, itu hal yang tidak kontekstual dengan kebutuhan perkembangan konstitusionalitas tata negara Indonesia saat ini.
Amendemen memang penting untuk dilakukan, namun harus secara komprehensif dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah konstitusionalitas yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena UUD 1945 pada setiap pasalnya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga apabila satu pasal yang disentuh maka akan merembet pada pasal-pasal lain dan harus dilakukan penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan fundamental bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.
Amendemen seharusnya diarahkan pada usaha konkret untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas struktur organisasi negara agar lebih kompeten dan kompatibel. Wacana amendemen terbatas oleh MPR sekarang ini justru tidak urgen dan tidak relevan untuk dilakukan, mengingat situasi dan kondisi bangsa yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Seharusnya para elite politik bangsa ini lebih memfokuskan perhatian pada upaya penyelamatan rakyat dari dampak pandemi.
Wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara bertentangan dengan konstitusi itu sendiri, selain tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia dewasa ini. Tidak ada urgensi bagi MPR untuk memiliki kewenangan menetapkan PPHN apabila presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Demikian pula status hukum PPHN yang ditetapkan oleh MPR tidak mengikat dan memaksa kepada presiden untuk melaksanakannya.
Anggota Tim Lembaga Bantuan Hukum Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta
AMANDEMEN terbatas UUD 1945 kini memasuki fase penting dan monumental seusai pidato Ketua MPR dan Ketua DPD pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI beberapa waktu lalu yang menyinggung pentingnya menghadirkan kembali haluan negara sebagai bintang penuntun arah pembangunan bangsa.
Amendemen UUD 1945 pada dasarnya amat penting untuk dilakukan guna merespons perkembangan kebutuhan konstitusional negara yang kini semakin kompleks. Amendemen Kelima UUD 1945 juga penting sebagai respons atas kebutuhan bangsa pascapandemi Covid-19. Namun, hadirnya wacana amendemen seharusnya merupakan inisiasi dan aspirasi publik sebagai pemegang dan pemilik kedaulatan. Itu penting agar legalitas serta legitimasi UUD 1945 pasca-Amendemen Kelima diterima oleh publik. Jika amendemen diarahkan hanya terbatas pada upaya menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara, hal itu suatu tindakan yang tidak berarti karena tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia.
Wacana liar mengenai amendemen terbatas UUD 1945 telah lama muncul, jauh hari sebelum masifnya wacana MPR yang akan menghidupkan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Secara informal, wacana ini muncul di luar parlemen yang diprakarsai oleh para elite politik. Wacana amendemen terbatas UUD 1945 di luar perlemen tersebut yakni menyangkut ketentuan Pasal 7 tentang Masa Jabatan Presiden. Wacana tersebut dimaksudkan untuk memberikan legitimasi konstitusional kepada Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat dua periode untuk dapat mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Presiden 2024. Pretensi tersebut datang dari golongan yang mungkin tidak siap untuk kehilangan status quo. Tidak main-main, secara struktural mereka membentuk sebuah tim loyalis dengan maksud serius untuk menyukseskan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Pretensi Elite Politik
Ironis karena keinginan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode datang dari elite politik, bukan atas kehendak publik atau masyarakat awam. Padahal, elite politik sebenarnya mengerti alasan fundamental mengenai perlunya pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode.
Kendati Presiden dan Ketua MPR telah sama-sama menyetujui untuk melakukan amendemen terbatas kelima UUD 1945, yakni hanya menyangkut penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN, serta menolak adanya perubahan pada ketentuan lain, khususnya menyinggung soal periodisasi jabatan presiden, kekhawatiran tetap saja muncul. Amendemen terbatas tidak tertutup kemungkinan akan menjadi pintu masuk untuk membuka Kotak Pandora perihal masa jabatan presiden yang diperpanjang menjadi tiga periode sebagaimana sebelumnya telah menguat dan kerap diwacanakan oleh sejumlah elite politik.
Wacana Amendemen Kelima UUD 1945 yang akan dilakukan oleh MPR, entah itu menyangkut dengan kewenangan MPR soal PPHN, atau pembahasan perihal periodisasi masa jabatan presiden, itu hal yang tidak kontekstual dengan kebutuhan perkembangan konstitusionalitas tata negara Indonesia saat ini.
Amendemen memang penting untuk dilakukan, namun harus secara komprehensif dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah konstitusionalitas yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena UUD 1945 pada setiap pasalnya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga apabila satu pasal yang disentuh maka akan merembet pada pasal-pasal lain dan harus dilakukan penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan fundamental bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.
Amendemen seharusnya diarahkan pada usaha konkret untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas struktur organisasi negara agar lebih kompeten dan kompatibel. Wacana amendemen terbatas oleh MPR sekarang ini justru tidak urgen dan tidak relevan untuk dilakukan, mengingat situasi dan kondisi bangsa yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Seharusnya para elite politik bangsa ini lebih memfokuskan perhatian pada upaya penyelamatan rakyat dari dampak pandemi.
Wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara bertentangan dengan konstitusi itu sendiri, selain tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia dewasa ini. Tidak ada urgensi bagi MPR untuk memiliki kewenangan menetapkan PPHN apabila presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Demikian pula status hukum PPHN yang ditetapkan oleh MPR tidak mengikat dan memaksa kepada presiden untuk melaksanakannya.