Strategi untuk Jakarta
loading...
A
A
A
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
JAKARTA menduduki peringkat pertama tata kota terburuk di dunia, menurut versi platform arsitketur Rethinking The Future (RTF), dalam rilisan 10 Examples of Bad Urban City Planning (23/8). Selanjutnya kota Dubai, Uni Emirat Arab; Brasilia, Brazil; Atlanta, Georgia, AS; Sao Paolo, Brazil; Boston, Massachusetts, AS; Missoula, Montana, AS; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Louisiana, AS; Dhaka, Bangladesh.
Memang tidak ada kota yang sempurna. Kota akan terus berevolusi, berubah dinamis mengikuti gaya hidup, dan sistem kota yang mengaturnya, di mana perencanaan tata kota hadir di dalamnya. Kota berkembang dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan beragam permasalahannya. Di sinilah peranan tata kota perlu hadir untuk mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan ke mena kota akan dibawa, tentunya mewujudkan kota yang layak huni, menyehatkan dan menyejahterakan warganya.
Urbanisasi di kala pandemi Covid-19 memberi dampak ketimpangan ekonomi cenderung lebih besar. Kemiskinan semakin tajam, dan permukiman padat kumuh miskin menjamur. Masyarakat yang terbentuk semakin individualistis, modal sosial menipis, cenderung formal asosiasional (UN Habitat, 2021).
Urbanisasi semakin mengurangi lingkungan alami, menyedot sumber daya alam, memproduksi sampah dan membuang limbah sering tanpa kompensasi atau rehabilitasi. Jakarta dengan tata kota yang semrawut terus mengalami degradasi kualitas lingkungan, bencana ekologis, serta rentan krisis iklim. Lalu, strategi apa yang harus dilakukan?
Pertama, peradaban kota adalah cermin dari tingkat peradaban budaya warganya. Jika masyarakat tertib dan patuh aturan, kemungkinan besar kota akan teratur. Namun, jika masyarakat sulit diatur, tidak tertib, maka tata kota akan cenderung semrawut. Untuk membangun peradaban kota akan banyak faktor non-fisik sosial budaya, ekonomi, tata kelola yang mewujud dalam bentuk warganya yang akan memengaruhi baik-buruk kota.
Pembangunan kota Jakarta sangat tergantung dengan kebijakan gubernur yang sedang memimpin, bukan pada pelaksanaan secara konsisten rencana tata kota yang sudah dibuat sendiri dan disepakati bersama legislatif. Akibatnya setiap ganti gubernur maka berganti pula kebijakannya, bahkan cenderung harus berbeda dengan pendahulunya, meskipun itu harus melanggar rencana tata kota. Ironisnya pelanggaran tata ruang yang terus terjadi justru cenderung untuk diputihkan, bukan menegakkan aturan tata ruangnya.
Kedua, pemulihan kota harus dikelola baik dan berkelanjutan agar tidak menimbulkan lebih banyak mudarat (bencana) daripada manfaat (kesejahteraan, kemakmuran), baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Urbanisasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, berfungsi sebagai pasar maupun simpul arus barang, jasa, manusia, cenderung kompetitif produktif serta pusat inovasi dan informasi.
Kota menjadi tempat muncul dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban baru. Kota perlu direncanakan dan dikelola dengan baik, ditata lebih kompak dan terpadu, sehingga dengan jumlah penduduk yang sama, lingkungan alam yang harus diubah pun bisa lebih kecil, dibandingkan jika penduduk tersebar.
Ketiga, proses urbanisasi yang berkelanjutan harus mampu mewujudkan kesejahteraan, kesehatan, dan kebahagiaan warganya. Pembangunan yang tidak mengabaikan satu orang pun dan satu wilayah pun. Berbagai peluang yang ditawarkan kota harus memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari proses transformatif urbanisasi.
Ketika kota direncanakan, dirancang, dibangun, dan dikelola dengan baik, maka kota dapat memberikan manfaat untuk semua pihak termasuk meningkatkan kualitas kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Kota adalah wadah di mana hasil pembangunan dapat dinikmati untuk semua terutama kelompok rentan marjinal dan terpinggirkan.
Keempat, aksi iklim untuk bumi dapat mengangkat keluarga rentan keluar dari kemiskinan, membebaskan perempuan, anak anak, lansia, dan disabilitas dari diskriminasi berbasis gender, mengarahkan masa depan cerah untuk anak-anak dan remaja, menawarkan kenyamanan dan dukungan untuk orang tua di tahun-tahun emas mereka, serta menyambut para pendatang yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Kota akan berfungsi efektif dengan melibatkan kelembagaan berupa supremasi hukum, hak milik, dan sistem partisipasi demokratis. Di samping itu, elemen budaya kota dari latar belakang penduduk yang beragam, kearifan lokal, hingga aset cagar budaya merupakan nilai tak berwujud yang penting bagi kelestarian peradaban kota.
Kelima, UN Environment Programme (2020) mencatat bahwa 90% kasus Covid-19 terjadi di kota di seluruh dunia. Ini memperlihatkan ketimpangan/kesenjangan di kota, menguji ketangguhan kota dan kemanusiaan. Selain itu kurang dari 50% penduduk dunia yang memiliki akses ke ruang publik dalam jarak 400 meter dari rumah.
Pemerintah DKI harus menyediakan hunian (vertikal) lebih terjangkau dan layak huni, mempererat kolaborasi, mendukung pekerja dan bisnis lokal, memperkuat ketangguhan kota, ketahangan pangan, model bisnis sirkular, memperbanyak ruang terbuka hijau di permukiman, serta menyediakan trotoar dan jalur sepeda.
Keenam, Jakarta harus menunjukkan kepiawaiannya dalam menahan penyebaran Covid-19 dan menjadikan kotanya paling layak huni. Di sisi lain pandemi Covid-19 telah memaksa kita mengubah cara hidup di kota. Pembangunan kota sesuai dengan indikator kota layak huni didasarkan pada lima kategori utama, yakni stabilitas, perawatan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur.
Pemerintah DKI harus memulihkan kesehatan kota, perekonomian kota, serta menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan kota. Penataan antarbangunan di kawasan dalam jarak tempuh berjalan kaki atau bersepeda. Penyediaan trotoar yang teduh pepohonan, infrastruktur pesepeda (jalur khusus, parkir, ruang ganti, bengkel, rambu, marka, sepeda sewa), kantong parkir komunal, serta angkutan umum internal ramah lingkungan akan menjadikan kawasan bebas emisi karbon.
Ketujuh, penataan ulang permukiman menerapkan protokol kesehatan. Warga patuh memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumuman, serta membatasi mobilitas. Masyarakat menjalankan pola hidup bersih dan sehat berupa makan makanan higienis bergizi, rajin berolahraga, istirahat cukup, serta menghindari stres.
Pertimbangan risiko perubahan iklim terhadap kerentanan kota harus menjadi perhatian serius seluruh pihak pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan kota. Jakarta harus memikirkan ulang keberlanjutan kehidupan perkotaan, memitigasi perubahan iklim, mengantisipasi pandemi di masa depan, serta mewariskan peradaban kota yang lebih sehat, sejahtera, dan berkelanjutan.
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
JAKARTA menduduki peringkat pertama tata kota terburuk di dunia, menurut versi platform arsitketur Rethinking The Future (RTF), dalam rilisan 10 Examples of Bad Urban City Planning (23/8). Selanjutnya kota Dubai, Uni Emirat Arab; Brasilia, Brazil; Atlanta, Georgia, AS; Sao Paolo, Brazil; Boston, Massachusetts, AS; Missoula, Montana, AS; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Louisiana, AS; Dhaka, Bangladesh.
Memang tidak ada kota yang sempurna. Kota akan terus berevolusi, berubah dinamis mengikuti gaya hidup, dan sistem kota yang mengaturnya, di mana perencanaan tata kota hadir di dalamnya. Kota berkembang dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan beragam permasalahannya. Di sinilah peranan tata kota perlu hadir untuk mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan ke mena kota akan dibawa, tentunya mewujudkan kota yang layak huni, menyehatkan dan menyejahterakan warganya.
Urbanisasi di kala pandemi Covid-19 memberi dampak ketimpangan ekonomi cenderung lebih besar. Kemiskinan semakin tajam, dan permukiman padat kumuh miskin menjamur. Masyarakat yang terbentuk semakin individualistis, modal sosial menipis, cenderung formal asosiasional (UN Habitat, 2021).
Urbanisasi semakin mengurangi lingkungan alami, menyedot sumber daya alam, memproduksi sampah dan membuang limbah sering tanpa kompensasi atau rehabilitasi. Jakarta dengan tata kota yang semrawut terus mengalami degradasi kualitas lingkungan, bencana ekologis, serta rentan krisis iklim. Lalu, strategi apa yang harus dilakukan?
Pertama, peradaban kota adalah cermin dari tingkat peradaban budaya warganya. Jika masyarakat tertib dan patuh aturan, kemungkinan besar kota akan teratur. Namun, jika masyarakat sulit diatur, tidak tertib, maka tata kota akan cenderung semrawut. Untuk membangun peradaban kota akan banyak faktor non-fisik sosial budaya, ekonomi, tata kelola yang mewujud dalam bentuk warganya yang akan memengaruhi baik-buruk kota.
Pembangunan kota Jakarta sangat tergantung dengan kebijakan gubernur yang sedang memimpin, bukan pada pelaksanaan secara konsisten rencana tata kota yang sudah dibuat sendiri dan disepakati bersama legislatif. Akibatnya setiap ganti gubernur maka berganti pula kebijakannya, bahkan cenderung harus berbeda dengan pendahulunya, meskipun itu harus melanggar rencana tata kota. Ironisnya pelanggaran tata ruang yang terus terjadi justru cenderung untuk diputihkan, bukan menegakkan aturan tata ruangnya.
Kedua, pemulihan kota harus dikelola baik dan berkelanjutan agar tidak menimbulkan lebih banyak mudarat (bencana) daripada manfaat (kesejahteraan, kemakmuran), baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Urbanisasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, berfungsi sebagai pasar maupun simpul arus barang, jasa, manusia, cenderung kompetitif produktif serta pusat inovasi dan informasi.
Kota menjadi tempat muncul dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban baru. Kota perlu direncanakan dan dikelola dengan baik, ditata lebih kompak dan terpadu, sehingga dengan jumlah penduduk yang sama, lingkungan alam yang harus diubah pun bisa lebih kecil, dibandingkan jika penduduk tersebar.
Ketiga, proses urbanisasi yang berkelanjutan harus mampu mewujudkan kesejahteraan, kesehatan, dan kebahagiaan warganya. Pembangunan yang tidak mengabaikan satu orang pun dan satu wilayah pun. Berbagai peluang yang ditawarkan kota harus memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari proses transformatif urbanisasi.
Ketika kota direncanakan, dirancang, dibangun, dan dikelola dengan baik, maka kota dapat memberikan manfaat untuk semua pihak termasuk meningkatkan kualitas kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Kota adalah wadah di mana hasil pembangunan dapat dinikmati untuk semua terutama kelompok rentan marjinal dan terpinggirkan.
Keempat, aksi iklim untuk bumi dapat mengangkat keluarga rentan keluar dari kemiskinan, membebaskan perempuan, anak anak, lansia, dan disabilitas dari diskriminasi berbasis gender, mengarahkan masa depan cerah untuk anak-anak dan remaja, menawarkan kenyamanan dan dukungan untuk orang tua di tahun-tahun emas mereka, serta menyambut para pendatang yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Kota akan berfungsi efektif dengan melibatkan kelembagaan berupa supremasi hukum, hak milik, dan sistem partisipasi demokratis. Di samping itu, elemen budaya kota dari latar belakang penduduk yang beragam, kearifan lokal, hingga aset cagar budaya merupakan nilai tak berwujud yang penting bagi kelestarian peradaban kota.
Kelima, UN Environment Programme (2020) mencatat bahwa 90% kasus Covid-19 terjadi di kota di seluruh dunia. Ini memperlihatkan ketimpangan/kesenjangan di kota, menguji ketangguhan kota dan kemanusiaan. Selain itu kurang dari 50% penduduk dunia yang memiliki akses ke ruang publik dalam jarak 400 meter dari rumah.
Pemerintah DKI harus menyediakan hunian (vertikal) lebih terjangkau dan layak huni, mempererat kolaborasi, mendukung pekerja dan bisnis lokal, memperkuat ketangguhan kota, ketahangan pangan, model bisnis sirkular, memperbanyak ruang terbuka hijau di permukiman, serta menyediakan trotoar dan jalur sepeda.
Keenam, Jakarta harus menunjukkan kepiawaiannya dalam menahan penyebaran Covid-19 dan menjadikan kotanya paling layak huni. Di sisi lain pandemi Covid-19 telah memaksa kita mengubah cara hidup di kota. Pembangunan kota sesuai dengan indikator kota layak huni didasarkan pada lima kategori utama, yakni stabilitas, perawatan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur.
Pemerintah DKI harus memulihkan kesehatan kota, perekonomian kota, serta menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan kota. Penataan antarbangunan di kawasan dalam jarak tempuh berjalan kaki atau bersepeda. Penyediaan trotoar yang teduh pepohonan, infrastruktur pesepeda (jalur khusus, parkir, ruang ganti, bengkel, rambu, marka, sepeda sewa), kantong parkir komunal, serta angkutan umum internal ramah lingkungan akan menjadikan kawasan bebas emisi karbon.
Ketujuh, penataan ulang permukiman menerapkan protokol kesehatan. Warga patuh memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumuman, serta membatasi mobilitas. Masyarakat menjalankan pola hidup bersih dan sehat berupa makan makanan higienis bergizi, rajin berolahraga, istirahat cukup, serta menghindari stres.
Pertimbangan risiko perubahan iklim terhadap kerentanan kota harus menjadi perhatian serius seluruh pihak pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan kota. Jakarta harus memikirkan ulang keberlanjutan kehidupan perkotaan, memitigasi perubahan iklim, mengantisipasi pandemi di masa depan, serta mewariskan peradaban kota yang lebih sehat, sejahtera, dan berkelanjutan.
(bmm)