PLTS Atap untuk Listrik Berkeadilan
loading...
A
A
A
Memasuki 76 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, akses masyarakat terhadap energi listrik terus membaik. Data Kementerian ESDM menyebutkan, hingga Maret 2021 rasio elektrifikasi di Tanah Air sudah mencapai 99,28%, artinya hanya sekitar 0,72% rumah tangga dan 0,41% desa yang belum berlistrik.
Kondisi ini sedikit ironis jika melihat kondisi pasokan listrik di Indonesia secara umum justru mengalami surplus. Ini sebagai imbas masuknya pasokan listrik dari sejumlah pembangkit baru sejalan dengan program 35.000 MW yang dicanangkan sejak lima tahun silam.
Pasokan listrik di masa mendatang juga diperkirakan bakal melimpah termasuk dari sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk tenaga surya. Kementerian ESDM bahkan gencar mengampanyekan PLTS termasuk PLTS Atap di lingkungan rumah tangga, perkantoran maupun industri. demi mempercepat bauran EBT menjadi 23% pada 2025.
Bahkan, Kementerian ESDM kini sedang menyiapkan revisi terhadap Peraturan ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Isi revisi Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut antara lain menetapkan tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai 100% atau naik dibandingkan dengan peraturan lama sebesar 65%. Jika aturan tersebut resmi diterbitkan, maka PLN mau tidak mau harus membeli 100% listrik dari PLTS Atap.
Di satu sisi upaya pemerintah mendorong penggunaan PLTS Atap itu bisa mempercepat angka bauran EBT. Maklum, PLTS termasuk yang paling gampang dan cepat direalisasikan karena pemanfaatannya secara teknis tidak serumit sumber energi lain seperi panas bumi.
Namun di sisi lain, dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65% menjadi 100%, itu justru bakal berujung pada ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PLN. Pelanggan yang tidak memiliki PLTS Atap harus membayar listrik lebih mahal karena kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) berpotensi naik akibat pertambahan jumlah pasokan listrik dari PLTS Atap yang masif serta harga beli listriknya oleh PLN yang yang tinggi.
Kajian dari pakar energi listrik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto menyebutkan, jika PLTS Atap dipasang, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari matahari. Adapun sisanya dari PLTS Atap itu kemudian dikirim ke jaringan PLN dan kemudian disalurkan ke rumah-rumah pelanggan lainnya. Jika harga listrik sisa tersebut harus dibeli PLN dengan harga 100%, maka itu akan sama dengan harga jual listrik PLN ke pelanggan sebesar Rp1.440,7 per KWh.
Hitungan tersebut tentu saja akan memberatkan operator listrik karena untuk mengalirkan listrik dari PLTS Atap itu konsumen tetap memerlukan jaringan yang notabene milik PLN. Selain itu, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan yakni adanya risiko susut daya dan biaya investasi yang sudah dikeluarkan oleh PLN.
Satu hal yang mesti dingat adalah, jangan sampai kebijakan PLTS Atap ini hanya menguntungkan importir panel surya dan mereka yang mampu menginstalnya, sementara pelanggan biasa tetap harus membayar listrik secara penuh.
Kondisi ini sedikit ironis jika melihat kondisi pasokan listrik di Indonesia secara umum justru mengalami surplus. Ini sebagai imbas masuknya pasokan listrik dari sejumlah pembangkit baru sejalan dengan program 35.000 MW yang dicanangkan sejak lima tahun silam.
Pasokan listrik di masa mendatang juga diperkirakan bakal melimpah termasuk dari sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk tenaga surya. Kementerian ESDM bahkan gencar mengampanyekan PLTS termasuk PLTS Atap di lingkungan rumah tangga, perkantoran maupun industri. demi mempercepat bauran EBT menjadi 23% pada 2025.
Bahkan, Kementerian ESDM kini sedang menyiapkan revisi terhadap Peraturan ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Isi revisi Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut antara lain menetapkan tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai 100% atau naik dibandingkan dengan peraturan lama sebesar 65%. Jika aturan tersebut resmi diterbitkan, maka PLN mau tidak mau harus membeli 100% listrik dari PLTS Atap.
Di satu sisi upaya pemerintah mendorong penggunaan PLTS Atap itu bisa mempercepat angka bauran EBT. Maklum, PLTS termasuk yang paling gampang dan cepat direalisasikan karena pemanfaatannya secara teknis tidak serumit sumber energi lain seperi panas bumi.
Namun di sisi lain, dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65% menjadi 100%, itu justru bakal berujung pada ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PLN. Pelanggan yang tidak memiliki PLTS Atap harus membayar listrik lebih mahal karena kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) berpotensi naik akibat pertambahan jumlah pasokan listrik dari PLTS Atap yang masif serta harga beli listriknya oleh PLN yang yang tinggi.
Kajian dari pakar energi listrik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto menyebutkan, jika PLTS Atap dipasang, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari matahari. Adapun sisanya dari PLTS Atap itu kemudian dikirim ke jaringan PLN dan kemudian disalurkan ke rumah-rumah pelanggan lainnya. Jika harga listrik sisa tersebut harus dibeli PLN dengan harga 100%, maka itu akan sama dengan harga jual listrik PLN ke pelanggan sebesar Rp1.440,7 per KWh.
Hitungan tersebut tentu saja akan memberatkan operator listrik karena untuk mengalirkan listrik dari PLTS Atap itu konsumen tetap memerlukan jaringan yang notabene milik PLN. Selain itu, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan yakni adanya risiko susut daya dan biaya investasi yang sudah dikeluarkan oleh PLN.
Satu hal yang mesti dingat adalah, jangan sampai kebijakan PLTS Atap ini hanya menguntungkan importir panel surya dan mereka yang mampu menginstalnya, sementara pelanggan biasa tetap harus membayar listrik secara penuh.
(ynt)