Dampak Buruk Pandemi, Ini Bahaya yang Mengancam Masa Depan Anak
loading...
A
A
A
Dia menandaskan, puskesmas dan posyandu merupakan lini utama yang paling dekat dan mudah dijangkau masyarakat. Namun ternyata, selama pandemi sebagian besar puskemas dan posyandu tidak bisa berfungsi. Akibatnya, banyak ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal yang memadai dan balita kurang terpantau perkembangan kesehatan dan pertumbuhannya.
āāSalah satu dampak dari menurun drastisnya pelayanan kesehatan terhadap anak-anak adalah pemenuhan kebutuhan imunisasi anak. Padahal imunisasi ini sangat penting untuk menjaga imunitas anak dari berbagai penyakit akibat mikroorganisme, tidak hanya Covid-19,āā kata dia.
(Baca Juga: Usai PPKM Darurat Berakhir, IDAI Minta Mal Lakukan Pengetatan Terhadap Anak-Anak )
Selain itu, pelayanan yang terbatas untuk balita juga mengancam keberlangsungan 25 juta balita di Indonesia untuk memperoleh imunisasi, suplemen vitamin A, pemantauan tumbuh kembang, dan pelayanan rutin lainnya yang sangat diperlukan oleh balita. Dampak dari ini semua adalah pada kualitas sumberdaya manusia Indonesia di masa datang, ketika para balita tersebut memasuki usia produktif.
Dia kemudian mengungkapkan, sebelum pandemi Covid-19, Indonesia sudah menghadapi tantangan dalam permasalahan pertumbuhan balita. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 15.000 anak Indonesia terdampak dalam kejadian luar biasa antara polio, campak, difteri, gizi buruk dan wabah lainnya.
Kondisinya bertambah buruk karena pandemi berlangsung berkepanjangan. Akibatnya, imunisasi dasar yang terhambat, pemantauan pertumbuhan balita yang tidak berjalan baik, kualitas gizi yang menurun akibat ekonomi yang merosot akan memberi dampak di masa datang dalam pertumbuhan anak di masa datang.
Demikian pula dengan permasalahan psikis seperti stres pada anak akibat terlalu lama di rumah maupun dampak dari tekanan ekonomi keluarga, minim interaksi dan aktivitas outdoor. Terlalu banyak kegiatan daring juga menimbulkan dampak dalam jangka panjang. āIni menambah tantangan dalam mempersiapkan anak Indonesia memasuki era bonus demografi,ā ujarnya.
Demi melindungi mereka, lanjut Mufida, hal pertama tentu saja memastikan usaha semaksimal mungkin melindungi anak terpapar dari Covid-19. Tingginya angka Covid-19 harus jadi peringatan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memperkuat perlindungan bagi anak.
Selanjutnya, secara bertahap menyelesaikan permasalahan anak, khususnya terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta lingkungan pembentuk psikomotorik anak. Kebijakan dan program penanganan stunting harus jelas dan dipimpin langsung oleh instansi yang menangani (BKKBN).
āJangan lagi ada dualisme kelembagaan dalam penanganan stunting. Demikian pula dengan persoalan gizi buruk dan kekurangan nutrisi pada anak. Pemantauan pertumbuhan balita dan ibu hamil juga harus kembali diperkuat. Perlu dicari terobosan layanan posyandu di masa pandemi agar pemantauan tumbuh kembang dan kualitas gizi balita tetap terpantau. Anak Indonesia harus dilindungi, untuk masa depan negeri,ā ujar dia.
Yulina Eva Riani mengakui masalah gizi anak di masa pandemi dapat menambah pekerjaan rumah pemerintah dan keluarga. Di saat perekonomian belum pulih, maka golongan keluarga ekonomi bawah yang paling sulit memenuhi cakupan gizi. Jangankan memberi gizi atau nutrisi yang baik, untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari saja sangat kesulitan.
āSangat membingungkan karena kondisi pandemi begini, untuk memikirkan terpenuhi pangan masyarakat saja sudah agak berat. Jadi, saya pikir memang pemulihan ekonomi adalah hal yang utama,ā tutur Yulina Minggu (8/8).
āāSalah satu dampak dari menurun drastisnya pelayanan kesehatan terhadap anak-anak adalah pemenuhan kebutuhan imunisasi anak. Padahal imunisasi ini sangat penting untuk menjaga imunitas anak dari berbagai penyakit akibat mikroorganisme, tidak hanya Covid-19,āā kata dia.
(Baca Juga: Usai PPKM Darurat Berakhir, IDAI Minta Mal Lakukan Pengetatan Terhadap Anak-Anak )
Selain itu, pelayanan yang terbatas untuk balita juga mengancam keberlangsungan 25 juta balita di Indonesia untuk memperoleh imunisasi, suplemen vitamin A, pemantauan tumbuh kembang, dan pelayanan rutin lainnya yang sangat diperlukan oleh balita. Dampak dari ini semua adalah pada kualitas sumberdaya manusia Indonesia di masa datang, ketika para balita tersebut memasuki usia produktif.
Dia kemudian mengungkapkan, sebelum pandemi Covid-19, Indonesia sudah menghadapi tantangan dalam permasalahan pertumbuhan balita. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 15.000 anak Indonesia terdampak dalam kejadian luar biasa antara polio, campak, difteri, gizi buruk dan wabah lainnya.
Kondisinya bertambah buruk karena pandemi berlangsung berkepanjangan. Akibatnya, imunisasi dasar yang terhambat, pemantauan pertumbuhan balita yang tidak berjalan baik, kualitas gizi yang menurun akibat ekonomi yang merosot akan memberi dampak di masa datang dalam pertumbuhan anak di masa datang.
Demikian pula dengan permasalahan psikis seperti stres pada anak akibat terlalu lama di rumah maupun dampak dari tekanan ekonomi keluarga, minim interaksi dan aktivitas outdoor. Terlalu banyak kegiatan daring juga menimbulkan dampak dalam jangka panjang. āIni menambah tantangan dalam mempersiapkan anak Indonesia memasuki era bonus demografi,ā ujarnya.
Demi melindungi mereka, lanjut Mufida, hal pertama tentu saja memastikan usaha semaksimal mungkin melindungi anak terpapar dari Covid-19. Tingginya angka Covid-19 harus jadi peringatan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memperkuat perlindungan bagi anak.
Selanjutnya, secara bertahap menyelesaikan permasalahan anak, khususnya terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak serta lingkungan pembentuk psikomotorik anak. Kebijakan dan program penanganan stunting harus jelas dan dipimpin langsung oleh instansi yang menangani (BKKBN).
āJangan lagi ada dualisme kelembagaan dalam penanganan stunting. Demikian pula dengan persoalan gizi buruk dan kekurangan nutrisi pada anak. Pemantauan pertumbuhan balita dan ibu hamil juga harus kembali diperkuat. Perlu dicari terobosan layanan posyandu di masa pandemi agar pemantauan tumbuh kembang dan kualitas gizi balita tetap terpantau. Anak Indonesia harus dilindungi, untuk masa depan negeri,ā ujar dia.
Yulina Eva Riani mengakui masalah gizi anak di masa pandemi dapat menambah pekerjaan rumah pemerintah dan keluarga. Di saat perekonomian belum pulih, maka golongan keluarga ekonomi bawah yang paling sulit memenuhi cakupan gizi. Jangankan memberi gizi atau nutrisi yang baik, untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari saja sangat kesulitan.
āSangat membingungkan karena kondisi pandemi begini, untuk memikirkan terpenuhi pangan masyarakat saja sudah agak berat. Jadi, saya pikir memang pemulihan ekonomi adalah hal yang utama,ā tutur Yulina Minggu (8/8).