Reaktualisasi Hijrah di Era Pandemi
loading...
A
A
A
Muhammad didampingi sahabatnya Abu Bakar saat hijrah dengan mempersiapkan pengamanan optimal. Keduanya bersembunyi selama tiga hari di Gunung Tsur, untuk menghilangkan jejak. Muhammad meminta pertolongan penunjuk jalan dari seorang pagan bernama Abdullah bin Uraiqith demi menyamarkan misinya. Di tengah pandemi yang menghantam seluruh aspek kesehatan, ekonomi dan sistem sosial-politik, kita perlu berkolaborasi dengan banyak pihak. Prioritas utama ialah keselamatan rakyat.
Secara preventif kita menutup kemungkinan datangnya bahaya pemburukan pandemi dari semua penjuru. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seharusnya diikuti pengawasan ketat pintu masuk dari luar negeri, selain diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat terdampak. Ujian pandemi memperlihatkan ketidaksiapan kita mengelola fasilitas kesehatan mendasar di berbagai daerah.
Pelajaran keempat dari momen hijrah adalah seorang pemimpin harus siap menghadapi situasi paling berat, bahkan mengancam nyawanya. Muhammad mengerahkan para sahabat berangkat ke Madinah lebih dahulu untuk mengantisipasi perlakuan buruk kaum musyrikin Mekah, bila mengetahui rencana eksodus. Muhammad yang menjadi incaran utama kaum musyrikin tetap berada di Mekah, dan baru melakukan hijrah pada giliran terakhir.
Di situ diuji nilai keberanian, kepedulian sekaligus tanggung-jawab seorang pemimpin. Dalam konteks kita saat ini, pemimpin di level manapun, dituntut untuk menunaikan tanggung-jawab, berempati, siap berkorban, berani menanggung resiko dalam menghadapi badai pandemi. Pemimpin tidak mementingkan diri sendiri, keluarga dan koleganya di atas kepentingan rakyat yang sedang melewati krisis di berbagai sektor.
Satu hal penting yang tak boleh dilupakan, hijrah merupakan momen diletakkannya fondasi sebuah negara-kota (city state) yang berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman. Fenomena sosial-politik yang paling maju di zamannya. Fondasi sosial yang melandasi pemerintahan kuat, masyarakat solid, dan hubungan harmonis antara seluruh elemen berbeda. Sejarawan Muhammad Hamidullah (1975) menyebutnya sebagai negara pertama yang berdiri di atas prinsip konstitusi dan sistem politik yang mengatur hak dan kewajiban antara warga dan pemimpinnya.
Hijrah Nabawiyah pada hakekatnya adalah transformasi dari sistem sosial yang mengagungkan sentimen kesukuan primordial, saling menyerang dan saling menindas, menimbulkan kekacauan dan keterbelahan. Menuju masyarakat yang adil, saling menghargai perbedaan, saling bantu, membangun sistem pelrindungan dan menyatu. Transposisi dari masyarakat yang suka melanggar hak dasar manusia (terutama kepada kaum lemah) menjadi masyrakat yang menghormati hak dan kebebasan, terutama kebebasan berkeyakinan dan beribadah, bagi kaum mayoritas maupun minoritas.
Semua warga Kota Madinah berkedudukan sama. Mereka bergenggaman tangan satu sama lain, saling membela dari ancaman asing. Piagam Madinah merupakan pertama dalam sejarah kemanusiaan sebagai buah kesepakatan social (social contract). Salah satu butir ketentuannya menegaskan:
“Orang Yahudi membiayai hidup mereka sendiri. Demikian juga dengan orang-orang Islam membiayai hidup mereka sendiri. Para pendukung piagam ini membantu salah satu dari mereka, apabila ada musuh yang menyerang salah satu dari mereka. Di antara mereka saling menyambung hubungan baik, tidak boleh berlaku zalim. Tidak boleh menzalimi orang-orang yang mengikat perjanjian. Tidak boleh menolong orang zalim.” Intinya, tidak ada penindasan, diskriminsi dan otoriterianisme dalam konstitusi Madinah.
Momentum hijrah sangat baik jika bisa menghidupkan kembali sistem kebangsaan yang lebih merekatkan seluruh elemen masyarakat. Sebagaimana Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 mencita-citakannya. Sungguh memprhatinkan, di era pandemi Covid-19 kita masih menyaksikan gejala perpecahan, permusuhan dan kebencian. Bibit-bibit kebencian antar kelompok, dengan latar kepentingan apapun (SARA) harus diakhiri.
Semoga ujian pandemi bisa menghijrahkan kita dari situasi buruk menjadi lebih baik. Dari kondisi kurang beriman menjadi lebih kuat keimanan dan kedekatannya kepada Allah. Dari kondisi kurang tertata dan kurang tertib menjadi lebih tertib dan disiplin. Dari kondisi kurang peduli dan empati, menjadi lebih peduli dan empati, baik antara pemimpin dengan rakyat, maupun sesama rakyat.
Secara preventif kita menutup kemungkinan datangnya bahaya pemburukan pandemi dari semua penjuru. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seharusnya diikuti pengawasan ketat pintu masuk dari luar negeri, selain diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat terdampak. Ujian pandemi memperlihatkan ketidaksiapan kita mengelola fasilitas kesehatan mendasar di berbagai daerah.
Pelajaran keempat dari momen hijrah adalah seorang pemimpin harus siap menghadapi situasi paling berat, bahkan mengancam nyawanya. Muhammad mengerahkan para sahabat berangkat ke Madinah lebih dahulu untuk mengantisipasi perlakuan buruk kaum musyrikin Mekah, bila mengetahui rencana eksodus. Muhammad yang menjadi incaran utama kaum musyrikin tetap berada di Mekah, dan baru melakukan hijrah pada giliran terakhir.
Di situ diuji nilai keberanian, kepedulian sekaligus tanggung-jawab seorang pemimpin. Dalam konteks kita saat ini, pemimpin di level manapun, dituntut untuk menunaikan tanggung-jawab, berempati, siap berkorban, berani menanggung resiko dalam menghadapi badai pandemi. Pemimpin tidak mementingkan diri sendiri, keluarga dan koleganya di atas kepentingan rakyat yang sedang melewati krisis di berbagai sektor.
Satu hal penting yang tak boleh dilupakan, hijrah merupakan momen diletakkannya fondasi sebuah negara-kota (city state) yang berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman. Fenomena sosial-politik yang paling maju di zamannya. Fondasi sosial yang melandasi pemerintahan kuat, masyarakat solid, dan hubungan harmonis antara seluruh elemen berbeda. Sejarawan Muhammad Hamidullah (1975) menyebutnya sebagai negara pertama yang berdiri di atas prinsip konstitusi dan sistem politik yang mengatur hak dan kewajiban antara warga dan pemimpinnya.
Hijrah Nabawiyah pada hakekatnya adalah transformasi dari sistem sosial yang mengagungkan sentimen kesukuan primordial, saling menyerang dan saling menindas, menimbulkan kekacauan dan keterbelahan. Menuju masyarakat yang adil, saling menghargai perbedaan, saling bantu, membangun sistem pelrindungan dan menyatu. Transposisi dari masyarakat yang suka melanggar hak dasar manusia (terutama kepada kaum lemah) menjadi masyrakat yang menghormati hak dan kebebasan, terutama kebebasan berkeyakinan dan beribadah, bagi kaum mayoritas maupun minoritas.
Semua warga Kota Madinah berkedudukan sama. Mereka bergenggaman tangan satu sama lain, saling membela dari ancaman asing. Piagam Madinah merupakan pertama dalam sejarah kemanusiaan sebagai buah kesepakatan social (social contract). Salah satu butir ketentuannya menegaskan:
“Orang Yahudi membiayai hidup mereka sendiri. Demikian juga dengan orang-orang Islam membiayai hidup mereka sendiri. Para pendukung piagam ini membantu salah satu dari mereka, apabila ada musuh yang menyerang salah satu dari mereka. Di antara mereka saling menyambung hubungan baik, tidak boleh berlaku zalim. Tidak boleh menzalimi orang-orang yang mengikat perjanjian. Tidak boleh menolong orang zalim.” Intinya, tidak ada penindasan, diskriminsi dan otoriterianisme dalam konstitusi Madinah.
Momentum hijrah sangat baik jika bisa menghidupkan kembali sistem kebangsaan yang lebih merekatkan seluruh elemen masyarakat. Sebagaimana Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 mencita-citakannya. Sungguh memprhatinkan, di era pandemi Covid-19 kita masih menyaksikan gejala perpecahan, permusuhan dan kebencian. Bibit-bibit kebencian antar kelompok, dengan latar kepentingan apapun (SARA) harus diakhiri.
Semoga ujian pandemi bisa menghijrahkan kita dari situasi buruk menjadi lebih baik. Dari kondisi kurang beriman menjadi lebih kuat keimanan dan kedekatannya kepada Allah. Dari kondisi kurang tertata dan kurang tertib menjadi lebih tertib dan disiplin. Dari kondisi kurang peduli dan empati, menjadi lebih peduli dan empati, baik antara pemimpin dengan rakyat, maupun sesama rakyat.