Di Balik Perang Baliho Para Tokoh Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Baliho hingga billboard reklame sejumlah tokoh politik bertebaran di pinggiran jalan berbagai daerah di Indonesia. Pandemi Covid-19 tak membuat surut para tokoh tersebut untuk tampil meraih simpati publik. Justru mereka menunjukkan gelagat, inilah saat yang tepat.
Baliho Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) hingga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mudah dijumpai di jalanan.
Pesan dan tulisan yang disampaikan di dalamnya beragam. Baliho Puan Maharani misalnya, "Kepak Sayap Kebhinekaan" hingga "Jaga Iman Jaga Imun". Lalu, baliho AHY dengan "Demokrat Nasionalis Religius Berkoalisi dengan Rakyat". Selanjutnya, baliho Cak Imin dengan "Padamu Negeri Kami Berbakti". Lalu, apa maksud dari masifnya pemasangan baliho sejumlah tokoh politik tersebut di tengah Pandemi Covid-19 sekarang ini?
"Kalau menurut saya, kenapa baliho-baliho itu masih terpasang di berbagai daerah. Karena, pertama, dari hasil studi di Indonesia, terutama bagi mereka yang kelas menengah ke bawah, tingkat pendidikannya rendah, di Sub Urban, urban pinggiran, itu mereka masih melihat baliho atau spanduk sebagai isyarat kesungguhan tokoh tersebut untuk mencalonkan diri," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo kepada SINDOnews, Jumat (6/8/2021).
Sehingga, kata dia, masyarakat akan menilai tokoh yang tidak memasang baliho itu tidak berniat maju ke Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). "Tapi ketika tokoh tersebut sudah pasang baliho, gede-gede lagi, banyak lagi, terus spanduk, maka orang mulai mempersepsikan bahwa tokoh ini sudah punya komitmen untuk menceburkan diri dalam pertarungan politik," kata Kunto.
Kedua, menurut dia, adalah pemasangan baliho itu untuk membuat tokoh tersebut lebih populer di masyarakat. "Ya mungkin dari beberapa nama lah seperti Airlangga Hartarto masih butuh popularitas. Mba Puan menurut saya enggak terlalu butuh karena siapa sih yang enggak kenal Mba Puan, cucu Soekarno, anaknya Megawati," katanya.
Dia menilai mungkin yang tidak diketahui sebagian masyarakat adalah kiprah Puan Maharani. "Tapi kalau Mba Puannya sendiri saya yakin popularitasnya sudah tinggi," ujar Kunto.
Sedangkan Cak Imin, dia menilai juga masih butuh popularitas, terutama di luar wilayah Jawa Timur. "Tapi yang lebih penting bagi Cak Imin juga soal kompetensi dan track record, dan itu enggak bisa dipasang di baliho. Soal track record, kompetensi dia dan apa saja yang sudah dia lakukan seperti CV (Curriculum vitae, red) lah, kan enggak lucu baliho isinya CV," tuturnya.
Baliho Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) hingga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mudah dijumpai di jalanan.
Pesan dan tulisan yang disampaikan di dalamnya beragam. Baliho Puan Maharani misalnya, "Kepak Sayap Kebhinekaan" hingga "Jaga Iman Jaga Imun". Lalu, baliho AHY dengan "Demokrat Nasionalis Religius Berkoalisi dengan Rakyat". Selanjutnya, baliho Cak Imin dengan "Padamu Negeri Kami Berbakti". Lalu, apa maksud dari masifnya pemasangan baliho sejumlah tokoh politik tersebut di tengah Pandemi Covid-19 sekarang ini?
"Kalau menurut saya, kenapa baliho-baliho itu masih terpasang di berbagai daerah. Karena, pertama, dari hasil studi di Indonesia, terutama bagi mereka yang kelas menengah ke bawah, tingkat pendidikannya rendah, di Sub Urban, urban pinggiran, itu mereka masih melihat baliho atau spanduk sebagai isyarat kesungguhan tokoh tersebut untuk mencalonkan diri," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo kepada SINDOnews, Jumat (6/8/2021).
Sehingga, kata dia, masyarakat akan menilai tokoh yang tidak memasang baliho itu tidak berniat maju ke Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). "Tapi ketika tokoh tersebut sudah pasang baliho, gede-gede lagi, banyak lagi, terus spanduk, maka orang mulai mempersepsikan bahwa tokoh ini sudah punya komitmen untuk menceburkan diri dalam pertarungan politik," kata Kunto.
Kedua, menurut dia, adalah pemasangan baliho itu untuk membuat tokoh tersebut lebih populer di masyarakat. "Ya mungkin dari beberapa nama lah seperti Airlangga Hartarto masih butuh popularitas. Mba Puan menurut saya enggak terlalu butuh karena siapa sih yang enggak kenal Mba Puan, cucu Soekarno, anaknya Megawati," katanya.
Dia menilai mungkin yang tidak diketahui sebagian masyarakat adalah kiprah Puan Maharani. "Tapi kalau Mba Puannya sendiri saya yakin popularitasnya sudah tinggi," ujar Kunto.
Sedangkan Cak Imin, dia menilai juga masih butuh popularitas, terutama di luar wilayah Jawa Timur. "Tapi yang lebih penting bagi Cak Imin juga soal kompetensi dan track record, dan itu enggak bisa dipasang di baliho. Soal track record, kompetensi dia dan apa saja yang sudah dia lakukan seperti CV (Curriculum vitae, red) lah, kan enggak lucu baliho isinya CV," tuturnya.