Di Balik Perang Baliho Para Tokoh Politik

Jum'at, 06 Agustus 2021 - 16:39 WIB
loading...
A A A
Sementara AHY, menurut dia, seperti Puan Maharani, yakni sudah dikenal sebagian besar masyarakat. "Lalu kenapa pakai baliho, tentu enggak menyasar popularitas. Elektabilitas enggak ada studi yang secara memuaskan membuktikan bahwa popularitas akan otomatis akan menjadi elektabilitas," ungkapnya.

Dia mengungkapkan banyak contoh kepala daerah, bahkan calon-calon presiden yang sudah lebih populer, namun justru tidak mampu memenangkan kontestasi Pemilu. "Megawati kurang populer apa di 2004. Dia eks presiden, tapi enggak kepilih kan. Jadi, saya rasa usaha dengan masang baliho ini, counter produktif karena baliho menurut saya akan meningkatkan popularitas, tapi tidak serta merta meningkatkan elektabilitas," ungkap Kunto.

Menurut Kunto, butuh kepandaian dari tokoh tersebut maupun tim suksesnya untuk mengukur daerah mana yang popularitasnya masih rendah. "Sehingga butuh dipasangin baliho atau daerah mana yang kultur atau budaya masyarakatnya masih memandang sebelah mata tokoh yang tidak masang baliho. Itu mungkin akan lebih efektif," pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan bahwa tujuan utama yang paling pokok dalam pemasangan baliho adalah untuk meningkatkan popularitas atau tingkat keterkenalan tokoh di kalangan masyarakat secara nasional. "Kalau AHY sebetulnya balihonya sudah mulai masif sejak dia bersiap menjadi ketua umum Demokrat dan terus berlanjut ketika dia secara resmi menggantikan Pak SBY memimpin Demokrat," ujar Djayadi Hanan kepada SINDOnews secara terpisah.

Jadi, kata Djayadi, AHY sudah rajin pasang baliho sejak sebelum Pandemi Covid-19. Dan hasilnya, lanjut dia, cukup baik. "Sampai dengan Januari 2021, menurut data lembaga survei indonesia (LSI), popularitas AHY ada di kisaran 70 persen, bersaing dengan calon populer lain seperti Ridwan Kamil, bahkan lebih tinggi dibanding Ganjar Pranowo, meskipun masih di bawah popularitas Prabowo, Anies, dan Sandi," kata Djayadi.



Dengan popularitas tersebut, kata dia, AHY selalu masuk sepuluh besar atau sering juga masuk lima besar dalam berbagai survei sepanjang 2020 hingga 2021. "Sementara itu, Mbak Puan, Airlangga Hartarto, dan Cak Imin, elektabilitasnya selalu di luar sepuluh besar kalau simulasi dalam survei bersifat semi terbuka, artinya daftar calon yang ditanyakan berisi banyak nama (lebih dari 20 nama) dan responden bisa memasukkan nama lain di luar daftar. Dalam simulasi semi terbuka, tiga nama tersebut selalu di luar sepuluh besar elektabilitasnya," tuturnya.

Dia mengungkapkan salah satu penyebab mengapa tiga nama itu masih belum kompetitif adalah tingkat popularitasnya masih belum menyamai calon yang kompetitif seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan AHY. "Mbak Puan sebetulnya sudah lumayan baik, karena menurut data LSI Januari 2021, popularitasnya ada di kisaran 60-an persen, bersaing dengan Ganjar," imbuhnya.

Masih soal Puan, dia mengatakan bahwa tujuan pemasangan baliho itu yakni, pertama, untuk meningkatkan popularitasnya hingga minimal setara dengan Anies, dan Sandi, atau AHY. Tetapi, menurut dia, ada juga tujuan lainnya, yakni memberikan pesan kepada terutama kader PDIP, baik di tingkat nasional maupun khususnya di Jawa Tengah bahwa Puan lah kader internal yang diprioritaskan untuk dicalonkan oleh partai berlambang banteng bermoncong putih itu baik sebagai Capres maupun Cawapres.

"Dengan begitu, diharapkan Puan akan mendapatkan dukungan elektabilitas sehingga bisa mengalahkan Ganjar Pranowo," ujarnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1857 seconds (0.1#10.140)