Bicara Kritik Jantung Demokrasi, Fadjroel Minta Hindari Hinaan dan Bully
loading...
A
A
A
JAKARTA - Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Fadjroel Rachman menyebut bahwa kritik adalah jantung dari kemajuan sebuah demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta masyarakat. Meski begitu kritik jangan sampai penyampaian kritik disertai kekerasan, hinaan, hingga perundungan (bully).
Fadjroel mengatakan perjuangan reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta masyarakat. Bahkan Indonesia menempatkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat pada konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28.
Meski demikian, dalam pelaksanaan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945 harus memperhatikan Pasal 28J. Pasal tersebut memberikan batasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
"Praktik kritik yang mengikuti kaidah iptek dan demokrasi, tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan,” ujar Fadjroel dalam keterangan tertulis, Senin (2/8/2021).
Dia menilai kritik yang dibungkus perundungan atau kekerasan tidak akan membentuk sebuah komunikasi yang setara melainkan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan (spiral of violence).
"Kekerasan komunikasi akan menghalangi proses terbentuknya komunikasi timbal balik dan setara. Sebaliknya, akan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan (spiral of violence), yaitu kondisi yang ditandai oleh praktik yang hanya bertujuan menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain (zero sum game)," jelasnya.
Dia membeberkan bahwa demokrasi Indonesia merupakan pertemuan antara beragam nilai-nilai global dan lokal. Kemudian dalam menyampaikan kritik harus berlandaskan pada tatanan nilai sosial di Indonesia.
"Setiap praktik kebebasan kritik perlu melandaskan pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang ditopang nilai saling menghormati, kesantunan, tata krama, toleransi dan kegotongroyongan," terangnya.
Fadjroel menilai selama ini Jokowi memilih menjauhi kritik yang menggunakan praktik stigma, perundungan dan fitnah. "Oleh karenanya Presiden menjauhi praktik stigma, perundungan, fitnah, dan anti toleransi," tambahnya.
Tidak hanya masyarakat, aktor pemerintah dalam menyampaikan pendapat juga harus berlandaskan demokrasi yang berlandaskan nilai budaya santun.
"Oleh karena itu seluruh aktor negara demokrasi perlu meneladani praktik kebebasan demokrasi yang berbasis pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo dan menjadi tradisi dalam kebudayaan Indonesia dan tradisi berpikir kritis (critical thinking) dalam kemajuan IPTEK," pungkasnya.
Fadjroel mengatakan perjuangan reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta masyarakat. Bahkan Indonesia menempatkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat pada konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28.
Meski demikian, dalam pelaksanaan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945 harus memperhatikan Pasal 28J. Pasal tersebut memberikan batasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
"Praktik kritik yang mengikuti kaidah iptek dan demokrasi, tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan,” ujar Fadjroel dalam keterangan tertulis, Senin (2/8/2021).
Dia menilai kritik yang dibungkus perundungan atau kekerasan tidak akan membentuk sebuah komunikasi yang setara melainkan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan (spiral of violence).
"Kekerasan komunikasi akan menghalangi proses terbentuknya komunikasi timbal balik dan setara. Sebaliknya, akan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan (spiral of violence), yaitu kondisi yang ditandai oleh praktik yang hanya bertujuan menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain (zero sum game)," jelasnya.
Dia membeberkan bahwa demokrasi Indonesia merupakan pertemuan antara beragam nilai-nilai global dan lokal. Kemudian dalam menyampaikan kritik harus berlandaskan pada tatanan nilai sosial di Indonesia.
"Setiap praktik kebebasan kritik perlu melandaskan pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang ditopang nilai saling menghormati, kesantunan, tata krama, toleransi dan kegotongroyongan," terangnya.
Fadjroel menilai selama ini Jokowi memilih menjauhi kritik yang menggunakan praktik stigma, perundungan dan fitnah. "Oleh karenanya Presiden menjauhi praktik stigma, perundungan, fitnah, dan anti toleransi," tambahnya.
Tidak hanya masyarakat, aktor pemerintah dalam menyampaikan pendapat juga harus berlandaskan demokrasi yang berlandaskan nilai budaya santun.
"Oleh karena itu seluruh aktor negara demokrasi perlu meneladani praktik kebebasan demokrasi yang berbasis pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo dan menjadi tradisi dalam kebudayaan Indonesia dan tradisi berpikir kritis (critical thinking) dalam kemajuan IPTEK," pungkasnya.
(kri)