Siaga Hadapi Bencana, Menteri Sosial Siapkan 4 Langkah Strategis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Sosial Tri Rismaharini mengajak semua pihak terkait dan jajaran Kementerian Sosial agar bersiap menghadapi potensi bencana alam yang datangnya tiba-tiba. Salah satunya, yaitu dengan melakukan empat langkah stategis.
Pertama, segera lakukan berbagai langkah antisipasi bencana dengan menjelaskannya kepada masyarakat. Hal ini agar mereka memahami bahaya akan bencana dan dapat melakukan persiapan untuk mengahadapinya, termasuk dengan cara-cara kearifan lokal di tengah masyarakat.
“Kita belajar dari bencana di Palu yang sebelumnya sudah diperingatkan akan terjadinya bencana tapi karena tidak ada respon dampaknya bisa kita saksikan begitu banyak korban jiwa,” ujar Mensos Rabu (21/7/2021).
Kedua, dalam situasi bencana, komunikasi menjadi kendala yang tidak mudah diatasi karena kondisi yang terbilang tidak normal. Ini kemudian berdampak pada sulitnya pengiriman bantuan dan kebijakan seperti apa yang harus dilakukan.
Permasalahan juga muncul karena adanya kendala komunikasi di lokasi bencana, tim hanya fokus di satu titik yang dianggap parah. Padahal menurutnya, di titik lain justru lebih parah dan sangat memerlukan bantuan yang harus disegerakan.
"Sangat penting untuk menggandeng teman-teman dari Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) dan Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang secara teknis menguasai kondisi bencana di lapangan dan merek bisa membantu komunikasi saat terjadi bencana,” tuturnya.
Ketiga, lanjut Mensos Risma, perlu dipahami apa yang diramalkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) jangan dianggap remeh. Sebab, ramalan tersebut sudah melalui tahap dan langkah-langkah serta kajian ilmiah.
“Saya kira ini penting memahami ‘ramalan’ BMKG itu menjadi early warning (peringatan dini) karena ada berbagai kajian ilmiahnya. Kendati kita tahu bahwa semua itu atas kehendak Tuhan, tapi sebagai manusia kita harus berusaha dengan segala daya untuk mengantisipasi terjadinya dampak bencana alam tersebut," kata Mensos.
Keempat, perlu melakukan pengecekan peralatan yang dibutuhkan dalam menghadapi bencana alam. Salah satunya, terkait cara memberikan tanda di rumah yang terdapat anggota keluarga penyandang disabilitas seperti tuna netra atau lanjut usia (lansia).
Adapun tanda yang dimaksud bisa berupa silang (X) atau yang lainnya, sehingga saat terjadi bencana tim evakuasi bisa dengan mudah mengenali rumah dengan tanda tersebut dan melakukan upaya agar warga yang prioritas diungsikan ke tempat aman.
“Saat terjadi bencana penyandang disabilitas, netra ataupun lansia tidak tahu harus melakukan apa, maka dengan tanda khusus di rumah itu membuat tim evakuasi bisa cepat melakukan pemindahan ke tempat lebih aman serta jumlah korban jiwa bisa diminimalisir, ” ucapnya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa terdapat 10 kajian ilmiah terkait prediksi bencana yang dijabarkan dalam sebuah peta. Hal tersebut ditujukan untuk memudahkan memahaminya melalui tiga warna, yakni merah, kuning dan hijau.
“Misalnya peta daerah Pacitan, Jawa Timur, warna merah menunjukkan gelombang tinggi 10-14 meter, semakin merah semakin tinggi pula gelombang, warna kuning gelombang 2-3 meter, serta warna hijau gelombang setengah meter," ujar Dwikorita.
Hal ini telah dipersiapkan di kota Palu sejak 2009-2015 dan semua elemen masyarakat bersiap menghadapi situasi bencana alam. Mulai dari wali kota, Bapeda, Dinas Tata Ruang, pihak sekolah dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Mensos terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana yang begitu strategis, serta juga perlu mempersiapkan bangunan yang dirancang tahan guncangan gempa hingga 8,7 skala richter (SR),” tuturnya.
(CM)
Pertama, segera lakukan berbagai langkah antisipasi bencana dengan menjelaskannya kepada masyarakat. Hal ini agar mereka memahami bahaya akan bencana dan dapat melakukan persiapan untuk mengahadapinya, termasuk dengan cara-cara kearifan lokal di tengah masyarakat.
“Kita belajar dari bencana di Palu yang sebelumnya sudah diperingatkan akan terjadinya bencana tapi karena tidak ada respon dampaknya bisa kita saksikan begitu banyak korban jiwa,” ujar Mensos Rabu (21/7/2021).
Kedua, dalam situasi bencana, komunikasi menjadi kendala yang tidak mudah diatasi karena kondisi yang terbilang tidak normal. Ini kemudian berdampak pada sulitnya pengiriman bantuan dan kebijakan seperti apa yang harus dilakukan.
Permasalahan juga muncul karena adanya kendala komunikasi di lokasi bencana, tim hanya fokus di satu titik yang dianggap parah. Padahal menurutnya, di titik lain justru lebih parah dan sangat memerlukan bantuan yang harus disegerakan.
"Sangat penting untuk menggandeng teman-teman dari Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) dan Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang secara teknis menguasai kondisi bencana di lapangan dan merek bisa membantu komunikasi saat terjadi bencana,” tuturnya.
Ketiga, lanjut Mensos Risma, perlu dipahami apa yang diramalkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) jangan dianggap remeh. Sebab, ramalan tersebut sudah melalui tahap dan langkah-langkah serta kajian ilmiah.
“Saya kira ini penting memahami ‘ramalan’ BMKG itu menjadi early warning (peringatan dini) karena ada berbagai kajian ilmiahnya. Kendati kita tahu bahwa semua itu atas kehendak Tuhan, tapi sebagai manusia kita harus berusaha dengan segala daya untuk mengantisipasi terjadinya dampak bencana alam tersebut," kata Mensos.
Keempat, perlu melakukan pengecekan peralatan yang dibutuhkan dalam menghadapi bencana alam. Salah satunya, terkait cara memberikan tanda di rumah yang terdapat anggota keluarga penyandang disabilitas seperti tuna netra atau lanjut usia (lansia).
Adapun tanda yang dimaksud bisa berupa silang (X) atau yang lainnya, sehingga saat terjadi bencana tim evakuasi bisa dengan mudah mengenali rumah dengan tanda tersebut dan melakukan upaya agar warga yang prioritas diungsikan ke tempat aman.
“Saat terjadi bencana penyandang disabilitas, netra ataupun lansia tidak tahu harus melakukan apa, maka dengan tanda khusus di rumah itu membuat tim evakuasi bisa cepat melakukan pemindahan ke tempat lebih aman serta jumlah korban jiwa bisa diminimalisir, ” ucapnya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa terdapat 10 kajian ilmiah terkait prediksi bencana yang dijabarkan dalam sebuah peta. Hal tersebut ditujukan untuk memudahkan memahaminya melalui tiga warna, yakni merah, kuning dan hijau.
“Misalnya peta daerah Pacitan, Jawa Timur, warna merah menunjukkan gelombang tinggi 10-14 meter, semakin merah semakin tinggi pula gelombang, warna kuning gelombang 2-3 meter, serta warna hijau gelombang setengah meter," ujar Dwikorita.
Hal ini telah dipersiapkan di kota Palu sejak 2009-2015 dan semua elemen masyarakat bersiap menghadapi situasi bencana alam. Mulai dari wali kota, Bapeda, Dinas Tata Ruang, pihak sekolah dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Mensos terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana yang begitu strategis, serta juga perlu mempersiapkan bangunan yang dirancang tahan guncangan gempa hingga 8,7 skala richter (SR),” tuturnya.
(CM)
(srf)