Kasus Jiwasraya, Majelis Hakim Dinilai Keliru Tafsirkan Pasal 19 UU Tipikor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis hakim PN Tipikor dinilai keliru dalam menafsirkan Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang mengatur soal perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik dalam suatu tindak pidana korupsi.
Alasan penolakan majelis hakim karena gugatan-gugatan keberatan tersebut dianggap prematur, dimana putusan perkara pokok belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
"Jadi dalam hal ini majelis hakim menafsirkan permohonan keberatan baru bisa diajukan setelah adanya keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya itu, saat dihubungi Selasa (20/07/2021).
Padahal, dalam pasal 19 UU Tipikor ayat 2 disebutkan bahwa gugatan keberatan pihak ketiga yang beritikad baik, bisa diajukan paling lambat 2 bulan setelah putusan pengadilan “dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Dalam konteks hukum acara pidana, kalimat “dibacakan” mengacu pada sidang perkara pokok pidana di Pengadilan Negeri. Sedangkan putusan pengadilan tinggi dan kasasi menggunakan istilah "diberitahukan".
“Selain itu dalam putusan banding ataupun kasasi tidak ada sidang pengadilan (terbuka) seperti di pengadilan negeri,” ujarnya.
Diakui penggunaan pasal 19 UU Tipikor termasuk hal yang baru dalam praktek peradilan di Indonesia. Sehingga dalam penerapannya pun bisa menimbulkan multitafsir.
Namun yang jelas, menurutnya, pengertian dalam ayat 2 pasal 19 UU Tipikor mengacu pada putusan sidang pengadilan tingkat pertama atau pengadilan negeri.
“Sebab bisa terjadi misalnya, dalam hal ini jaksa maupun terdakwa (dalam perkara pokok) tidak mengajukan banding, dengan sendirinya putusan tersebut menjadi Inkracht. Sepanjang tidak melewati 2 bulan, pihak ketiga dapat mengajukan permohonan keberatan,” tambahnya.
Alasan penolakan majelis hakim karena gugatan-gugatan keberatan tersebut dianggap prematur, dimana putusan perkara pokok belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
"Jadi dalam hal ini majelis hakim menafsirkan permohonan keberatan baru bisa diajukan setelah adanya keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya itu, saat dihubungi Selasa (20/07/2021).
Padahal, dalam pasal 19 UU Tipikor ayat 2 disebutkan bahwa gugatan keberatan pihak ketiga yang beritikad baik, bisa diajukan paling lambat 2 bulan setelah putusan pengadilan “dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Dalam konteks hukum acara pidana, kalimat “dibacakan” mengacu pada sidang perkara pokok pidana di Pengadilan Negeri. Sedangkan putusan pengadilan tinggi dan kasasi menggunakan istilah "diberitahukan".
“Selain itu dalam putusan banding ataupun kasasi tidak ada sidang pengadilan (terbuka) seperti di pengadilan negeri,” ujarnya.
Diakui penggunaan pasal 19 UU Tipikor termasuk hal yang baru dalam praktek peradilan di Indonesia. Sehingga dalam penerapannya pun bisa menimbulkan multitafsir.
Namun yang jelas, menurutnya, pengertian dalam ayat 2 pasal 19 UU Tipikor mengacu pada putusan sidang pengadilan tingkat pertama atau pengadilan negeri.
“Sebab bisa terjadi misalnya, dalam hal ini jaksa maupun terdakwa (dalam perkara pokok) tidak mengajukan banding, dengan sendirinya putusan tersebut menjadi Inkracht. Sepanjang tidak melewati 2 bulan, pihak ketiga dapat mengajukan permohonan keberatan,” tambahnya.