Tiga Skenario Siti Fadilah Bisa Dibebaskan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengembalian mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur, terus menuai kontroversi. Banyak pihak yang menilai tindakan disebut tidak manusiawi karena kawasan Pondok Bambu merupakan zona merah penyebaran Covid-19 atau virus Corona.
(Baca juga: Ditjen PAS Ungkap Kamar Siti Fadilah Dikunci Usai Deddy Corbuzier Masuk)
Beragam pihak juga meminta terpidana kasus korupsi alat kesehatan itu dibebaskan. Apalagi, mengingat usia Siti Fadilah yang sudah di atas 70 tahun dan memiliki penyakit bawaan. (Baca juga: Eks Menkumham Sebut Siti Fadilah Bisa Saja Dapat Asimilasi)
Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pembebasan tahanan harus melihat dari aspek hukum yang berlaku. Secara yuridis, ada beberapa hal yang bisa menjadi syarat seseorang narapidana (napi) dapat dibebaskan dalam masa menjalankan penahanan.
Pertama asimilasi. Sebagai syaratnya, narapidana sudah menjalankan separuh dari masa tahanan untuk mempersiapkan diri ke luar lembaga pemasyarakatan (LP).
"Biasanya, seperti bekerja jam 8.00 keluar jam 5 Sore kembali ke LP. Namun pada masa pandemi ini berdasarkan Keputusan Menkumham, asimilasi dilaksanakan secara mandiri dan tidak usah kembali ke LP tapi tetap dalam pengawasan," kata Fickar kepada SINDOnews, Rabu (27/5/2020).
Kedua, pembebasan bersyarat. Hal ini diberikan bagi napi yang sudah melaksanakan 2/3 dari masa tahanannya dan menandatangani pernyataan tidak mengulangi. Setelah itu, napi tersebut dapat dibebaskan namun tetap dengan pengawasan.
Ketiga, napi yang diberi remisi atau pengurangan masa tahanan yang bertepatan dengan habis masa tahanannya. Dengan begitu, napi tersebut bisa dibebaskan.
"Jadi ada tiga skenario itu. Artinya, jika Ibu Siti Fadilah yang secara kesehatan harus dirawat, tetapi karena masa tahanannya belum memenuhi skema yuridis, maka sulit mencari dasar hukumnya, kecuali ada perubahan UU Pemasyarakatan," terang ahli pidana dari Universitas Trisakti itu.
Fickar menjelaskan, tindakan membebaskan sama dengan merubah masa tahanan. Sementara, masa tahanan itu didasarkan pada putusan pengadilan. Adapun putusan pengadilan hanya bisa diubah dengan putusan pengadilan lagi atau dengan undang-undang.
"Tapi, belum ada ketentuan skemanya harus pakai UU atau putusan pengadilan," sebutnya.
Fickar juga menyoroti dugaan pelanggaran wawancara Siti Fadilah dengan Deddy Corbuzier. Menurut dia, kegiatan itu bukan merupakan pelanggaran.
"Itu hak asasi manusianya seseorang, hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sekalipun dia narapidana. Kecuali, ada putusan pengadilan yang mencabut haknya itu. Tapi itu pun tidak mungkin, yang bisa dicabut itu hak politik (memilih dan dipilih)," papar dia.
Sebagai informasi, mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah dijatuhi vonis pidana 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia juga dikenakan denda Rp200 juta dengan subsider 2 bulan kurungan dan pidana uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,9 miliar.
Majelis hakim meyakini Siti telah menerima duit senilai total Rp1,9 miliar. Uang itu didapat melalui eks Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan, Rustam Syarifudin Pakaya, yang diperoleh dari Direktur Utama PT Graha Ismaya Masrizal Achmad Syarif.
(Baca juga: Ditjen PAS Ungkap Kamar Siti Fadilah Dikunci Usai Deddy Corbuzier Masuk)
Beragam pihak juga meminta terpidana kasus korupsi alat kesehatan itu dibebaskan. Apalagi, mengingat usia Siti Fadilah yang sudah di atas 70 tahun dan memiliki penyakit bawaan. (Baca juga: Eks Menkumham Sebut Siti Fadilah Bisa Saja Dapat Asimilasi)
Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pembebasan tahanan harus melihat dari aspek hukum yang berlaku. Secara yuridis, ada beberapa hal yang bisa menjadi syarat seseorang narapidana (napi) dapat dibebaskan dalam masa menjalankan penahanan.
Pertama asimilasi. Sebagai syaratnya, narapidana sudah menjalankan separuh dari masa tahanan untuk mempersiapkan diri ke luar lembaga pemasyarakatan (LP).
"Biasanya, seperti bekerja jam 8.00 keluar jam 5 Sore kembali ke LP. Namun pada masa pandemi ini berdasarkan Keputusan Menkumham, asimilasi dilaksanakan secara mandiri dan tidak usah kembali ke LP tapi tetap dalam pengawasan," kata Fickar kepada SINDOnews, Rabu (27/5/2020).
Kedua, pembebasan bersyarat. Hal ini diberikan bagi napi yang sudah melaksanakan 2/3 dari masa tahanannya dan menandatangani pernyataan tidak mengulangi. Setelah itu, napi tersebut dapat dibebaskan namun tetap dengan pengawasan.
Ketiga, napi yang diberi remisi atau pengurangan masa tahanan yang bertepatan dengan habis masa tahanannya. Dengan begitu, napi tersebut bisa dibebaskan.
"Jadi ada tiga skenario itu. Artinya, jika Ibu Siti Fadilah yang secara kesehatan harus dirawat, tetapi karena masa tahanannya belum memenuhi skema yuridis, maka sulit mencari dasar hukumnya, kecuali ada perubahan UU Pemasyarakatan," terang ahli pidana dari Universitas Trisakti itu.
Fickar menjelaskan, tindakan membebaskan sama dengan merubah masa tahanan. Sementara, masa tahanan itu didasarkan pada putusan pengadilan. Adapun putusan pengadilan hanya bisa diubah dengan putusan pengadilan lagi atau dengan undang-undang.
"Tapi, belum ada ketentuan skemanya harus pakai UU atau putusan pengadilan," sebutnya.
Fickar juga menyoroti dugaan pelanggaran wawancara Siti Fadilah dengan Deddy Corbuzier. Menurut dia, kegiatan itu bukan merupakan pelanggaran.
"Itu hak asasi manusianya seseorang, hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sekalipun dia narapidana. Kecuali, ada putusan pengadilan yang mencabut haknya itu. Tapi itu pun tidak mungkin, yang bisa dicabut itu hak politik (memilih dan dipilih)," papar dia.
Sebagai informasi, mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah dijatuhi vonis pidana 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia juga dikenakan denda Rp200 juta dengan subsider 2 bulan kurungan dan pidana uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,9 miliar.
Majelis hakim meyakini Siti telah menerima duit senilai total Rp1,9 miliar. Uang itu didapat melalui eks Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan, Rustam Syarifudin Pakaya, yang diperoleh dari Direktur Utama PT Graha Ismaya Masrizal Achmad Syarif.
(maf)