Guru Besar FKUI Keluarkan Rekomendasi Penanganan Situasi Darurat COVID-19

Rabu, 30 Juni 2021 - 20:04 WIB
loading...
Guru Besar FKUI Keluarkan...
Pasien antre untuk menjalani perawatan di tenda darurat yang dijadikan ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) di RSUD Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (26/6/2021). FOTO/MPI/ARIF JULIANTO
A A A
JAKARTA - Kasus COVID-19 di Indonesia meningkat secara eksponensial dalam beberapa waktu terakhir. Kondisi ini membuat rumah sakit-rumah sakit penuh, bahkan beberapa daerah terpaksa mendirikan tenda darurat untuk menampung pasien.

Untuk menekan kasus COVID-19, pemerintah telah memutuskan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM) Darurat. Kebijakan ini berlaku untuk Pulau Jawa dan Bali mulai 2 sampai 20 Juli 2021.

"Dan Hari ini ada finalisasi kajian untuk kita melihat karena lonjakan yang sangat tinggi. Kita harapkan selesai karena diketuai oleh Pak Airlangga Pak Menko untuk memutuskan diberlakukannya PPKM Darurat," kata Presiden Jokowi di Munas Kadin, Rabu (30/6/2021).

Baca juga: Jokowi: Menko Airlangga yang Putuskan Kebijakan PPKM Darurat

Atas kondisi yang mengkhawatirkan ini, para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) merekomendasikan langkah penanganan COVID-19 yang melonjak tajam. Langkah ini perlu dilakukan pemerintah untuk mencegah kolapsnya sistem kesehatan Indonesia.

Berikut ini rekomendasi para guru besar FKUI dalam penanganan COVID-19:

1. Saat ini angka keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) menunjukan situasi darurat, melebihi 90%. Kasus baru harian sudah menembus angka 20.000 dan pada tanggal 29 Juni 2021 terdapat 228.835 kasus aktif COVID-19 di Indonesia. Di beberapa fasilitas kesehatan, jumlah pasien bahkan sudah melebihi kapasitas. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan jumlah dokter yang terkonfirmasi positif COVID-19 sudah melebihi angka 2.100. Hingga 25 Juni 2021, terjadi penambahan kasus positif sebesar 20.000 kasus setiap harinya dengan tingkat positif tes berbasis NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) berkisar antara 30-40%. Lebih lanjut, 401 dokter meninggal duniaakibat COVID-19. Berdasarkan profesi dan keahlian, kematian tertinggi terjadi di kalangan dokter umum (226 orang). Sedangkan, spesialisasi dengan angka kematian dokter spesialis tertinggi akibat COVID-19 adalah obstetri dan ginekologi (27 orang), ilmu penyakit dalam (24 orang), dan ilmu kesehatan anak (18 orang). Selain itu, 315 perawat, 25 tenaga laboratorium, 43 dokter gigi, 15 apoteker, dan 150 bidan juga meninggal dunia akibat COVID-19. Tenaga kesehatan sudah mengalami kelelahkan akibat menangani pandemi selama 1 tahun lebih yang belum berkesudahan, yang tidak disertai dukungan sistem yang sesuai untuk memutus rantai penularan di hulu. Oleh karena itu, penambahan kapasitas tempat tidur di fasilitas kesehatan harus diimbangi dengan penambahan sumber daya manusia, baik tenaga kesehatan maupun SDM pendukung yang sesuai dengan beban kerja, serta diimbangi penambahan sarana prasarana pendukung yang memadai sesuai dengan peruntukan ruang perawatan isolasi dan ICU.

Baca juga: Begini Skenario PPKM Darurat Jawa-Bali: Mulai dari WFH 100% hingga Mal Ditutup

2. Perbaikan sistem pembayaran insentif untuk rumah sakit, tenaga kesehatan dan SDM pendukungnya di seluruh tingkat pelayanan kesehatan (PPK 1 hingga PPK 3) sehingga rumah sakit, tenaga kesehatan dan SDM pendukungnya mudah untuk mendapatkan hak yang sesuai dan tepat waktu. Tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif juga perludifasilitasi dengan perawatan isolasi mandiri maupun rumah sakit dengan perawatan yang sesuai standar.

3. Penerapan PPKM Mikro dan 6M di masyarakat lebih ketat oleh pemerintah dan seluruh jajarannya hingga di tingkat RT dan desa. 6M yang dimaksud ialah memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi keramaian, mengurangi mobilitas, dan menghindari makan bersama. Tenaga kesehatan adalah pertahanan terakhir dalam pandemi COVID-19, sedangkan garda terdepan dalam penanganan pandemi adalah masyarakat. Bukan sekedar melakukan himbauan, namunpemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk memfasilitasi dan mendukung masyarakat untuk dapat menjalankan PPKM Mikro dan 6M dengan baik. Upaya ini antara lain mengeluarkan regulasi mengikat yang mengharuskan perkantoran sektor nonesensial mengijinkan seluruh karyawannya untuk bekerja di rumah, dan membatasi jumlah pekerja yang bekerja di kantor pada sektor esensial, penundaan ijin semua kegiatan tatap muka nonesensial yang dapat menimbulkan kerumunan, penutupan dan penjagaan fasilitas umum, tempat usaha atau hiburan yang berpotensi menimbulkan kerumunan, mengatur sistem moda transportasi umum sedemikian rupa sehingga tidak terjadi antrean di halte atau stasiun dengan memperhatikan kapasitas sesuai dengan aturan, dan pengawasan ketat disertai sanksi yang tegas sesuai peraturan yang dijalankan oleh seluruh aparat penegak hukum (TNI, POLRI, satgas COVID-19, satpol PP, serta aparat perlindungan masyarakat lain) merata dari tingkat pusat, daerah hingga desa, dan menyediakan pusat informasi masalah pencegahan COVID-19 di tingkat kelurahan, yang bisa dihubungi 24 jam.

4. Menerapkan sistem pelacakan kontak (contact tracing) yang cepat dan agresif sehingga kasus ditemukan sedini mungkin dan menghindari penularan lebih jauh. Tidak semua fasilitas kesehatan primer memiliki tim khusus contact tracing yang siap dan fokus dalam menelusuri kontak erat dengan cepat dan agresif. Kecepatan penting untuk menghentikan pergerakan individu kontak erat yang mungkin masih bersosialisasi tanpa mematuhi prinsip 6M di kesehariannya. Tim tersebut penting dibentuk agar tenaga kesehatan lainnya juga dapat fokus dalam bidang masing-masing, seperti pelayanan kesehatan di dalam gedung, vaksinasi COVID-19, dan imunisasi anak. Agresivitas pelacakan kontak tidak boleh hanya sebatas penghuni serumah, seperti yang sudah tercantum dalam Buku Saku Pelacakan Kontak (Contact Tracing) Kasus COVID-19 terbitan Kemenkes RI tahun 2021. Metode penelusuran agresif yang dapat digunakan adalah dengan menganjurkan pasien terkonfirmasi untuk melihat kembali galeri foto, media sosial, serta histori atau riwayat pergerakan dan perjalanan yang tersimpan dalam Google Maps di masing-masing ponsel selama masa infeksius pasien.

5. Menerapkan sistem pemeriksaan (testing) COVID-19 yang cepat dan agresif sehingga kasus ditemukan sedini mungkin dan menghindari penularan lebih jauh sesuai dengan target WHO (minimal 1 per 1.000 rang per minggu) yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Ditemukannya varian COVID-19 delta di beberapa daerah di Indonesia dengan angka penularannya yang tinggi makin mendorong perlunya dilakukan sistem tracing dan testing yang masif ini. Target tracing dan testing yang masif, perlu diturunkan hingga tingkat Kabupaten dan di monitor dan evaluasi secara ketat oleh pemerintah pusat. Untuk implementasinya, diperlukan kerjasama pemerintah dan swasta dalam menyediakan fasilitas pemeriksaan antigen maupun PCR yang memadai di seluruh daerah di Indonesia dan mempermudah akses masyarakat untuk melakukan pemeriksaan dengan harga terjangkau (bahkan gratis) dan hasil yang cepat. Pemeriksaan whole genome sequencing COVID-19 juga perlu dilakukan di tiap daerah untuk mendeteksi sebaran varian-varian baru ini.

6. Program percepatan vaksinasi massal di seluruh wilayah Indonesia dengan cara memperluas populasi target, termasuk populasi anak dan remaja, serta ibu hamil sesuai rekomendasi organisasi profesi terkait dan BPOM. Percepatan vaksinasi harus dilakukan untuk meningkatkan target vaksinasi harian > 2 juta per hari, dengan cara memperluas tempat layanan vaksinasi, menerapkan sistem layanan cakupan vaksinasi secara aktif, dengan memanfaatkan seluruh potensi sentra vaksinasi hingga ke sistem Posyandu di RT/RW/desa. Perlu adanya sanksi tegas bagi populasi target vaksinasi
COVID-19 yang menolak vaksinasi, contohnya penundaan pemberian insentif atau dana bantuan sosial, penundaan pemberian gaji oleh tempat kerja, dan pemberian stiker larangan keluar rumah bagi penolak vaksinasi. Usaha peningkatan capaian vaksinasi dosis kedua juga perlu digalakkan.

7. Pemerintah pusat dan daerah hendaknya menerapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat dan memberlakukan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar di pulau Jawa atau daerah lain yang berpotensi mengalami kolaps sistem kesehatan karena ketersediaan tenaga kesehatan yang sangat terbatas, sesuai analisis tim ahli, selama minimal 14 hari.

8. Pemerintah perlu menjamin terselenggaranya layanan kesehatan sesuai norma kerja yang sehat dan selamat dengan memperhatikan waktu kerja, perlindungan kerja, dan jaminan sosial bagi seluruh pekerja kesehatan.difasilitasi dengan perawatan isolasi mandiri maupun rumah sakit dengan perawatan
yang sesuai standar.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1340 seconds (0.1#10.140)