HUT ke-75, Pengamat: Polri Harus Inovatif, Sigap dan Tanggap Hadapi Ancaman Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Korps Bhayangkara dalam waktu dekat ini akan memperingati hari jadinya yang ke 75 pada 1 Juli 2021 mendatang. Diusianya tersebut, Polri dituntut lebih inovatif dalam menghadapi perkembangan ancaman.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, pada masa pandemi Covid 19 ini tugas Polri semakin kompleks dan banyak variannya. Kini Polri tidak hanya menangani kriminalitas, kejahatan jalanan, kejahatan kerah putih, radikalisme dan narkoba saja, tetapi juga sebagai anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Menurut Nuning, panggilan akrab Susaningtyas, Polri memiliki sejumlah tugas tambahan. Di antaranya, tugas preemtif yakni, bertugas memetakan wilayah rawan penyebaran virus Corona. Selain itu, polisi juga harus masif memberikan imbauan kepada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Sedangkan tugas preventif adalah melakukan patroli di wilayah rawan penyebaran virus Covid 19.
Termasuk melakukan pengawasan dan membantu pemerintah daerah (pemda) menyemprot sejumlah fasilitas publik dengan cairan disinfektan. Selain itu, bersama institusi terkait lainnya ikut mengukur suhu tubuh, mengatur lalu lintas dan menerapkan larangan mudik Lebaran sesuai perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta Polri dan TNI untuk memastikan kebijakan larangan mudik berjalan efektif. ”Tentu saja semua itu butuh kepiawaian improvisasi Satker di lapangan. Dibutuhkan kemampuan anggota Polri untuk turut mengatasi masalah yang timbul dari ketidakpatuhan masyarakat, pemahaman komunikasi antar budaya masyarakat penting sekali agar tidak timbul kegaduhan,” kata Nuning ini kepada SINDOnews, Rabu (30/6/2021).
Dalam melaksanakan tugasnya, kata Nuning, Polri harus melakukan koordinasi dengan TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN). Utamannya dengan BIK Polri dalam menerapkan kebijakan intelijennya harus berkoordinasi dengan BINI. Apalagi dalam situasi pandemi Covid 19 saat ini, kinerja BIN banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam menangani Covid 19. ”Polri saat ini harus inovatif dengan mengembangkan SDM anggotanya agar memiliki pengetahuan luas baik secara akademik maupun praktik lapangan. Polisi dituntut harus sigap dan tanggap hadapi perkembangan ancaman baru,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini juga melihat, jaringan terorisme kini memiliki perkembangan metode dalam menggerakan aksinya. Saat ini, kelompok intoleran juga memiliki metode penyebaran ajarannya dengan cara enabling environment alias kondisi yang memungkinkan bagi jaringan tersebut untuk tetap ada dan berkembang. Nuning melihat, enabling environment ini tidak harus bersentuhan langsung dengan jaringan-jaringan di atas akan tetapi mengirimkan signal bahwa jaringan ini aman untuk tetap eksis.
”Jadi, proses deradikalisasi itu harus menargetkan 4 unsur di atas. Pertama harus menghilangkan enabling environment tersebut. Kemudian membatasi bahkan menghancurkan jaringan-jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang kehilangan moral compas dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut,” katanya.
Dalam konteks Indonesia, kata Nuning, menghilangkan enabling environment itu adalah tugas yang sangat berat dari Presiden Jokowi karena mungkin saja orang-orang di sekeliling Presiden ada yang turut menciptakan enabling environment tersebut. ”Ancaman narkotika pun semakin banyak varian dan cara penyebarannya. Ada lagi pihak yang memiliki keahlian baru yaitu narko terorisme, khususnya para napi atau ex napi. Tidak hanya itu, Polri juga menghadapi ancaman kekinian yaitu kejahatan Nubika (Nuklir, Biologi, Kimia),” katanya.
Untuk itu, kata Nuning, setiap anggota Polri wajib memahami criminal justice system dengan berbagai perkembangannya. Selain itu, seiring dengan perkembangan internet of things (IoT), prioritas Polri berikutnya adalah memperkuat pertahanan siber (cyber defence). Saat ini, peretasan ke infrastruktur sudah sangat kritis, pencurian data strategis, spionase, propaganda di media sosial, terorisme dan berbagai ancaman siber lainnya sudah berlangsung di berbagai belahan dunia.
Oleh karena itu, banyak negara tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman siber. Kedua macam teknologi tersebut mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan fokus menghadapi ancaman hybrid warfare. ”Karakteristik dan ciri utama dari ancaman ini adalah kombinasi strategi perang konvensional dan non-konvensional, termasuk serangan siber, tekanan ekonomi, tekanan diplomatik, penggunaan proxy non state actor, propaganda di media sosial hingga pemberontakan yang menyebabkan adanya kudeta terhadap suatu pemerintahan yang berdaulat,” ucapnya.
Maraknya perang kognitif dan perang persepsi/asumsi yang kerap menggunakan narasi post truth juga membutuhkan penanganan dengan metode yang tepat, agar tidak menyebabkan disintegrasi bangsa. Nuning menilai, Indonesia kerapkali menghadapi konflik ideologi yang berwujud anti dan pro Pancasila.
Di sini Polri dituntut tegas terhadap segala hal yang yang mengganggu keutuhan NKRI serta segala hal yang berafiliasi dengan radikalisme. ”Terakhir, tidak kalah penting anggota Polri pun harus meningkatkan kemampuan Bela Diri karena semakin banyaknya anggota Polri diserang orang yang tidak bertanggung jawab. Dirgahayu Polri ke 75,” ucap Nuning.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, pada masa pandemi Covid 19 ini tugas Polri semakin kompleks dan banyak variannya. Kini Polri tidak hanya menangani kriminalitas, kejahatan jalanan, kejahatan kerah putih, radikalisme dan narkoba saja, tetapi juga sebagai anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Menurut Nuning, panggilan akrab Susaningtyas, Polri memiliki sejumlah tugas tambahan. Di antaranya, tugas preemtif yakni, bertugas memetakan wilayah rawan penyebaran virus Corona. Selain itu, polisi juga harus masif memberikan imbauan kepada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Sedangkan tugas preventif adalah melakukan patroli di wilayah rawan penyebaran virus Covid 19.
Termasuk melakukan pengawasan dan membantu pemerintah daerah (pemda) menyemprot sejumlah fasilitas publik dengan cairan disinfektan. Selain itu, bersama institusi terkait lainnya ikut mengukur suhu tubuh, mengatur lalu lintas dan menerapkan larangan mudik Lebaran sesuai perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta Polri dan TNI untuk memastikan kebijakan larangan mudik berjalan efektif. ”Tentu saja semua itu butuh kepiawaian improvisasi Satker di lapangan. Dibutuhkan kemampuan anggota Polri untuk turut mengatasi masalah yang timbul dari ketidakpatuhan masyarakat, pemahaman komunikasi antar budaya masyarakat penting sekali agar tidak timbul kegaduhan,” kata Nuning ini kepada SINDOnews, Rabu (30/6/2021).
Dalam melaksanakan tugasnya, kata Nuning, Polri harus melakukan koordinasi dengan TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN). Utamannya dengan BIK Polri dalam menerapkan kebijakan intelijennya harus berkoordinasi dengan BINI. Apalagi dalam situasi pandemi Covid 19 saat ini, kinerja BIN banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam menangani Covid 19. ”Polri saat ini harus inovatif dengan mengembangkan SDM anggotanya agar memiliki pengetahuan luas baik secara akademik maupun praktik lapangan. Polisi dituntut harus sigap dan tanggap hadapi perkembangan ancaman baru,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini juga melihat, jaringan terorisme kini memiliki perkembangan metode dalam menggerakan aksinya. Saat ini, kelompok intoleran juga memiliki metode penyebaran ajarannya dengan cara enabling environment alias kondisi yang memungkinkan bagi jaringan tersebut untuk tetap ada dan berkembang. Nuning melihat, enabling environment ini tidak harus bersentuhan langsung dengan jaringan-jaringan di atas akan tetapi mengirimkan signal bahwa jaringan ini aman untuk tetap eksis.
”Jadi, proses deradikalisasi itu harus menargetkan 4 unsur di atas. Pertama harus menghilangkan enabling environment tersebut. Kemudian membatasi bahkan menghancurkan jaringan-jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang kehilangan moral compas dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut,” katanya.
Dalam konteks Indonesia, kata Nuning, menghilangkan enabling environment itu adalah tugas yang sangat berat dari Presiden Jokowi karena mungkin saja orang-orang di sekeliling Presiden ada yang turut menciptakan enabling environment tersebut. ”Ancaman narkotika pun semakin banyak varian dan cara penyebarannya. Ada lagi pihak yang memiliki keahlian baru yaitu narko terorisme, khususnya para napi atau ex napi. Tidak hanya itu, Polri juga menghadapi ancaman kekinian yaitu kejahatan Nubika (Nuklir, Biologi, Kimia),” katanya.
Untuk itu, kata Nuning, setiap anggota Polri wajib memahami criminal justice system dengan berbagai perkembangannya. Selain itu, seiring dengan perkembangan internet of things (IoT), prioritas Polri berikutnya adalah memperkuat pertahanan siber (cyber defence). Saat ini, peretasan ke infrastruktur sudah sangat kritis, pencurian data strategis, spionase, propaganda di media sosial, terorisme dan berbagai ancaman siber lainnya sudah berlangsung di berbagai belahan dunia.
Oleh karena itu, banyak negara tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman siber. Kedua macam teknologi tersebut mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan fokus menghadapi ancaman hybrid warfare. ”Karakteristik dan ciri utama dari ancaman ini adalah kombinasi strategi perang konvensional dan non-konvensional, termasuk serangan siber, tekanan ekonomi, tekanan diplomatik, penggunaan proxy non state actor, propaganda di media sosial hingga pemberontakan yang menyebabkan adanya kudeta terhadap suatu pemerintahan yang berdaulat,” ucapnya.
Maraknya perang kognitif dan perang persepsi/asumsi yang kerap menggunakan narasi post truth juga membutuhkan penanganan dengan metode yang tepat, agar tidak menyebabkan disintegrasi bangsa. Nuning menilai, Indonesia kerapkali menghadapi konflik ideologi yang berwujud anti dan pro Pancasila.
Di sini Polri dituntut tegas terhadap segala hal yang yang mengganggu keutuhan NKRI serta segala hal yang berafiliasi dengan radikalisme. ”Terakhir, tidak kalah penting anggota Polri pun harus meningkatkan kemampuan Bela Diri karena semakin banyaknya anggota Polri diserang orang yang tidak bertanggung jawab. Dirgahayu Polri ke 75,” ucap Nuning.
(cip)