Bijak Mengonsumsi Obat Covid-19

Senin, 28 Juni 2021 - 05:50 WIB
loading...
Bijak Mengonsumsi Obat Covid-19
Masyarakat diimbau tidak asal mengonsumsi obat untuk mengobati Covid-19. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Obat antiparasit Ivermectin memicu polemik setelah diklaim pemerintah efektif untuk terapi pasien Covid-19. Masih perlu pembuktian berupa uji klinik sebelum obat ini mendapatkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) .

Ivermectin yang diproduksi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indofarma, awalnya memiliki izin edar sebagai obat cacing. Namun, belakangan kandungannya diklaim efektif mencegah dan membasmi virus SARS-Cov2 sehingga dapat membantu kesembuhan pasien penderita Covid-19.

Bahkan, pemerintah melalui Kementerian BUMN sejak 5 Mei 2021 telah menyurati BPOM guna mendukung percepatan penerbitan izin penggunaan darurat (EUA) untuk Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.

Baca juga: Menyembuhkan, Ahli: Ivermectin Berpotensi Jadi Obat Covid-19

Namun, langkah pemerintah tersebut dikritik banyak pihak. Pasalnya, obat ini dinilai belum memiliki kajian ilmiah atau belum melewati uji klinis sehingga belum bisa diklaim sebagai obat Covid-19.

Kementerian BUMN dalam suratnya ke BPOM yang ditandatangani Menteri BUMN Erick Thohir, menyebutkan alasan mengapa Ivermectin layak diberikan EUA. Alasan tersebut adalah karena menurut informasi dari Indofarma, Ivermectin efektif untuk mencegah dan membasmi virus SARS-CoV-2 dan telah dipakai di beberapa negara.

‘’Dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, kami meminta dukungan percepatan penerbitan EUA Ivermectin. Dengan begitu obat tersebut dapat menjadi produk lokal untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19,’’ demikian di sampaikan Kementerian BUMN.



Bagaimana respons BPOM? Dikutip dari laman BPOM menjelaskan bahwa data uji klinik yang cukup untuk membuktikan khasiat Ivermectin dalam mencegah dan mengobati Covid-19 hingga saat ini belum tersedia. Dengan demikian, Ivermectin belum dapat disetujui untuk indikasi tersebut.

Disebutkan, sebagai tindak lanjut untuk memastikan khasiat dan keamanan penggunaan Ivermectin dalam pengobatan Covid-19 di Indonesia, dilakukan uji klinik di bawah koordinasi Badan Pene litian dan Pengembangan Kesehatan, serta Kementerian Kesehatan RI dengan melibatkan beberapa rumah sakit.

BPOM juga terus memantau pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil penelitian serta melakukan update informasi terkait penggunaan obat Ivermectin untuk pengobatan Covid-19 melalui komunikasi dengan World Health Organization (WHO) dan Badan Otoritas Obat negara lain.

”Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19, harus atas perse tujuan dan di bawah pengawasan dokter,” demikian bunyi penjelasan tersebut.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah tidak sembarang mendukung suatu obat jika belum dilakukan pembuktian ilmiah. Dalam kasus Ivermectin, BPOM jelas memberikan izin edar sebagai obat cacing, bukan obat terapi pengobatan Covid-19.

“Setiap pernyataan pemerintah yang keluar ke publik harus dipastikan didukung oleh data dan fakta yang akurat. Jangan sembarangan mengendorse sejenis obat sebagai terapi Covid-19 padahal belum melalui rangkaian uji klinis yang standar,” kata Netty saat dihubungi Sabtu, (26/6).

Dia mempertanyakan motif pemerintah di balik dukungannya untuk Ivermectin, termasuk keinginan untuk mem produksi obat tersebut secara massal, karena negara-negara lain di dunia disebutnya,justru sudah menghentikan penggunaannya.

Ditandaskannya, agar dalam menangani pandemi Covid-19 pemerintah selalu mengutamakan keselamatan rakyat dengan mengedepankan prinsip scientific based policy, bukan justru kepentingan politik atau ekonomi.

Dia pun berharap tidak ada pihak yang mencari keuntungan di balik melonjaknya kasus Covid-19, terutama dalam beberapa pekan terakhir. ‘’Jangan aada moral hazard dalam menangani pandemi ini untuk men capai tujuan politik atau ekonomi. Pastikan semua kebijakan berprinsip scientific based policy, untuk tujuan keselamatan rakyat,” kata dia.

Sebagai informasi, Ivermectin pertama kali dibuat pada tahun 1975 oleh Profesor Omura dari Jepang tujuannya untuk memusnahkan cacing gelang dan jenis cacing parasit lainnya. Tahun 1981 disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menjadi anti parasit.

Kemudian pada 1985, Ivermectin didonasikan ke Afrika yang pada waktu itu yang masih banyak kasus berkaitan dengan cacing parasit seperti filaria atau kaki gajah. Semakin lama karena tingkat kepedulian mengenai Kebersihan semakin tinggi membuat kasus-kasu seperti itu sudah jarang terjadi di dunia termasuk di Indonesia.

Tergantung Uji Klinik
Peneliti dari Pusat Penlitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yunovilsa Putra melihat, kendati Ivermectin izin edarnya adalah obat anti-parasit atau obat cacing, namun bisa saja itu efektif untuk anti-virus. Dia pun menyebut, barubaru ini dilaporkan oleh para peneliti di Australia bahwa Ivermectin secara in vitro (pengujian di luar makhluk hidup) memang bisa menghambat pertumbuhan virus SARS-Cov-2.

Dia menuturkan, Ivermectin mampu menghambat virus bereplikasi atau berkembang lebih banyak saat masuk ke dalam tubuh. Meski demikian dia menggariskan, sejauh ini data yang ada adalah in vitro belum ada data in vivo (pengujian ke makhluk hidup).

Mengenai potensi Ivermectin menjadi obat Covid-19, dia kembali menegaskan tergantung hasil uji klinik yang dilakukan. “Bisa saja, jika ada hasil uji klinik yang membuktikan sehingga nanti BPOM akan memberikan izin edarnya sebagai antivirus. Repurposing drug hal yang biasa, tapi didukung dengan data uji klinik,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (26/6).

Masteria lantas menuturkan perlunya mendukung BUMN Indofarma karena sudah bisa memproduksi sendiri obat tersebut. “Tapi memang, untuk mendapatkan EUA masih perlu melengkapi data uji kliniknya,” tandasnya.



Pakar Farmakologi, Prof Zullies Ekawati mengungkapkan, dalam strategi pengembangan obat memang dimungkinkan menggunakan obat yang sudah beredar untuk suatu indikasi lain dari indikasi sebelumnya. Ivermectin yang sudah beredar sebagai antiparasit ini tidak masalah jika kemudian digunakan untuk mengobati Covid-19.

“Sebenarnya ini sama dengan yang sebelumnya yaitu Hydroxychloroquine, obat malaria yang katanya dapat menjadi terapi Covid-19. Sebelumnya sudah dilakukan uji dan akhir nya lolos masuk panduan terapi dan mendapatkan persetujuan dari BPOM berupa Emergency Use Authorization
(EUA),” jelasnya.

Namun, setelah berjalannya waktu ternyata manfaat Hydroxychloroquine tidak sesuai dengan perkirakan semula dan akhirnya dicabut dari panduan terapi dan EUA.

‘’Jadi, Ivermectin atau obat lainnya yang pernah diteliti mematikan SarsCov-2 dapat dijadikan obat tam bahan dalam masa penyembuhan pasien Covid-19. Namun tetap harus didukung oleh bukti ilmiah, uji klinik untuk mendukung digunakan sebagai obat Covid-19,’’ katanya.

Namun dia menggariskan, masalah yang muncul adalah bukti-bukti klinis itu masih belum konsisten satu dengan yang lainnya. Di beberapa negara sudah ada yang melakukan uji
klinik seperti Bangladesh dan Mesir hasilnya masih bervariasi.

"Ada yang bilang bagus dan ada yang bilang tidak. Dosis yang dipakai juga bervariasi ada yang 1 kali 3 hari dan ada ketentuan lain. Sementara jika dipakai untuk obat cacing pemakaiannya hanya sekali 1 tahun atau setiap 6 bulan sekali," ungkap Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada ini.

Sehingga, kata dia, dari aspek keamanan pun akan berbeda ketika Ivermectin digunakan sebagai obat cacing dan digunakan dengan cara penggunaan obat cacing maka dipastikan aman. Tetapi kalau dipakai untuk Covid-19 tentu akan berbeda, dilihat dari cara pakai, jumlah dan durasinya.

Zullies lantas menuturkan, sejauh ini WHO, FDA dan beberapa badan otoritas termasuk BPOM masih menunggu bukti klinis lainnya karena hingga saat ini belum cukup kuat dan meyakinkan untuk dikatakan itu sebagai obat Covid-19.

Dia juga mengaku belum bisa memastikan dampak apabila Ivermectin dikonsumsi tanpa anjuran dokter karena belum banyak yang menggunakan. AKan tetapi jika dilihat efek sampingnya seperti ketika dipakai seperti obat cacing, yang muncul adalah mual dan diare.

Menurutnya, peluang Ivermectin menjadi obat Covid-19 memang besar, karena pada dasarnya dokter pun menunggu adanya obat tambahan sebagai terapi Covid-19 asal ada bukti klinis. Sementara sampai sekarang masih belum konsisten bukti klinisnya.

“Dokter kalau disuruh menggunakan juga masih memikir ulang. Semua diserahkan kembali pada dokter yang bersangkutan, mereka juga sangat hati-hati karena sangat bertanggung jawab terhadap pasiennya,” ujarnya.

Zullies tidak menyangkal selama pandemi penggunaan obat tanpa rujukan dokter semakin banyak. Dalam pandangannya terjadi karena masyarakat panik sehingga membeli apa saja yang dianggap bisa menyembuhkan Covid-19.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2732 seconds (0.1#10.140)