Demi Pancasila, DPD: Kembalikan Presiden Sebagai Mandataris MPR
loading...
A
A
A
"Ratusan triliun yang digunakan dalam membiayai proses demokrasi kita sangat mahal. Padahal seandainya jika sistem pemilihan dapat dikembalikan kepada MPR tentu akan lebih membuat efisiensi keuangan negara, sebab ongkos pemilu tersebut dapat digunakan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah", tegas Sultan.
Selain itu pula, Sultan menambahkan bahwa masalah lainnya dalam proses pemilihan langsung selama ini adalah rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elit politik secara perseorangan. Setelah pemilihan umum berlalu “permainan politik” dikembalikan lagi kepada para "aktor politik", bukan kepada rakyat. Maka menjadikan kembali Presiden sebagai mandataris MPR dirasakan lebih memenuhi unsur dari sebuah esensi demokrasi.
Selanjutnya juga Sultan berpandangan bahwa pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden sangat rentan terhadap terjadinya polarisasi dimasyarakat. Dimana sebagai contoh pengalaman Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, masyarakat terbelah dan sangat berpotensi terhadap timbulnya konflik horisontal. Dan hal itu berlanjut hingga pada saat pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019.
"Dampak polarisasi masyarakat sangat menganggu agenda pembangunan, dimana energi bangsa terkuras habis, bahkan Presiden terpilih harus melakukan rekonsiliasi agar penyatuan masyarakat dapat kembali terjadi. Dan itu memakan waktu lama dengan sumberdaya yang besar,” tanggap Sultan.
Jadi menurutnya juga masih banyak persoalan dalam landasan konstitusi kita yang mesti disempurnakan. Seperti pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 khususnya setelah Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden terpilih yang mendapat dukungan mayoritas dari pemilih ternyata belum tentu didukung oleh mayoritas suara di DPR. Karena itulah koalisi taktis dilakukan antar partai politik pendukung presiden terpilih dengan partai politik lainnya yang memperoleh kursi di DPR. Dan ini dampak akibat dari ketidak jelasan Presiden yang dipilih lamgsung oleh rakyat bertanggung jawab kepada siapa.
"Atas kondisi tersebut, seringkali terjadi dimana legitimasi suara dari rakyat melalui pemilihan umum dalam menentukan Presiden bersama Wakil Presiden dalam ekspektasi independensi suatu kebijakan justru seringkali terdistorsi oleh kepentingan para kelompok elit politik,” papar Sultan.
Sebagai perbandingan, sebelum reformasi kekuasaan lebih berat ke eksekutif (executive heavy), kini pasca reformasi kekuasaan justru cenderung lebih berat ke legislatif (legislative heavy). Sehingga terjadi anomali sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan DPR sangat kuat. DPR sangat berperan dalam menentukan anggaran, dalam membentuk undang-undang, dalam rekrutmen jabatan publik dan berbagai kebijakan negara lainnya, serta dalam mengawasi pemerintah.
"Maka dengan seluruh persoalan demokrasi yang ada, perubahan ke-5 UUDNRI Tahun 1945 perlu dilakukan dengan suatu grand design yang jelas, disertai visi yang aspiratif dengan mesti melibatkan banyak pihak,” ungkapnya.
"Perubahan UUDNRI Tahun 1945 kelima nanti harus dapat merevitalisasi fungsi konstitusi. Dan kebutuhan kita saat ini melalui amandemen adalah mengembalikan nilai Pancasila didalam ruang kehidupan demokrasi kita,” harapnya.
Maka dengan seluruh alasan diatas, isu krusial yang memiliki urgensi dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sultan menitikberatkan pada road map bagaimana Presiden dapat dipilih kembali oleh MPR.
Selain itu pula, Sultan menambahkan bahwa masalah lainnya dalam proses pemilihan langsung selama ini adalah rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elit politik secara perseorangan. Setelah pemilihan umum berlalu “permainan politik” dikembalikan lagi kepada para "aktor politik", bukan kepada rakyat. Maka menjadikan kembali Presiden sebagai mandataris MPR dirasakan lebih memenuhi unsur dari sebuah esensi demokrasi.
Selanjutnya juga Sultan berpandangan bahwa pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden sangat rentan terhadap terjadinya polarisasi dimasyarakat. Dimana sebagai contoh pengalaman Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, masyarakat terbelah dan sangat berpotensi terhadap timbulnya konflik horisontal. Dan hal itu berlanjut hingga pada saat pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019.
"Dampak polarisasi masyarakat sangat menganggu agenda pembangunan, dimana energi bangsa terkuras habis, bahkan Presiden terpilih harus melakukan rekonsiliasi agar penyatuan masyarakat dapat kembali terjadi. Dan itu memakan waktu lama dengan sumberdaya yang besar,” tanggap Sultan.
Jadi menurutnya juga masih banyak persoalan dalam landasan konstitusi kita yang mesti disempurnakan. Seperti pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 khususnya setelah Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden terpilih yang mendapat dukungan mayoritas dari pemilih ternyata belum tentu didukung oleh mayoritas suara di DPR. Karena itulah koalisi taktis dilakukan antar partai politik pendukung presiden terpilih dengan partai politik lainnya yang memperoleh kursi di DPR. Dan ini dampak akibat dari ketidak jelasan Presiden yang dipilih lamgsung oleh rakyat bertanggung jawab kepada siapa.
"Atas kondisi tersebut, seringkali terjadi dimana legitimasi suara dari rakyat melalui pemilihan umum dalam menentukan Presiden bersama Wakil Presiden dalam ekspektasi independensi suatu kebijakan justru seringkali terdistorsi oleh kepentingan para kelompok elit politik,” papar Sultan.
Sebagai perbandingan, sebelum reformasi kekuasaan lebih berat ke eksekutif (executive heavy), kini pasca reformasi kekuasaan justru cenderung lebih berat ke legislatif (legislative heavy). Sehingga terjadi anomali sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan DPR sangat kuat. DPR sangat berperan dalam menentukan anggaran, dalam membentuk undang-undang, dalam rekrutmen jabatan publik dan berbagai kebijakan negara lainnya, serta dalam mengawasi pemerintah.
"Maka dengan seluruh persoalan demokrasi yang ada, perubahan ke-5 UUDNRI Tahun 1945 perlu dilakukan dengan suatu grand design yang jelas, disertai visi yang aspiratif dengan mesti melibatkan banyak pihak,” ungkapnya.
"Perubahan UUDNRI Tahun 1945 kelima nanti harus dapat merevitalisasi fungsi konstitusi. Dan kebutuhan kita saat ini melalui amandemen adalah mengembalikan nilai Pancasila didalam ruang kehidupan demokrasi kita,” harapnya.
Maka dengan seluruh alasan diatas, isu krusial yang memiliki urgensi dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sultan menitikberatkan pada road map bagaimana Presiden dapat dipilih kembali oleh MPR.