Demi Pancasila, DPD: Kembalikan Presiden Sebagai Mandataris MPR
loading...
A
A
A
"Selain mendorong usulan hadirnya kembali pokok haluan negara dimana konsekuensinya adalah Presiden bertanggung jawab pada MPR dan penataan kewenangan lembaga tinggi negara, dengan mencermati perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia, maka mengembalikan Presiden sebagai mandataris MPR adalah kebutuhan mendesak yang mesti kita kaji secara bersama didalam usulan perubahan konstitusi kita,” ujarnya.
Wacana ini tentu memiliki landasan yang kuat. Bagi Sultan, wewenang MPR RI harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara adalah hal pertama yang mesti dilaksanakan. Jadi pemilihan Presiden tetap dilakukan oleh MPR sebagaimana wujud 'penjelmaan' perwakilan seluruh rakyat Indonesia.
"Sistem demokrasi yang kita anut harus menampilkan wujud identitas kebangsaan kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Maka konsekuensi logisnya bersumber pada sila ke-4 dimana pengambilan keputusan harus berdasarkan musyawarah mufakat dengan asas keterwakilan,” katanya.
Dengan mengembalikan peran dan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lanjut Sultan, tidak berarti kita hendak mengambil langkah mundur bagi perjalanan demokrasi Indonesia, namun merupakan cara terbaik dalam menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang sesungguhnya dengan menangkal liberalisasi yang terjadi, yaitu kuatnya pengaruh oligarki politik dan oligarki ekonomi yang berkelindan didalam ruang kontes demokrasi kita yang berbiaya tinggi.
Semangat Pancasila yang kita lekatkan pada demokrasi akan signifikan mendorong terlaksananya suksesi kepemimpinan yang berkualitas dan penuh dengan ketertiban sosial, ucap Sultan. Karena Sistem Kontrol pemilu akan berjalan efektif dan efisien hanya pada lembaga MPR sehingga juga potensi intervensi asing (pihak luar) serta money politics pun akan mudah diawasi dan dihindari.
Selain itu, langkah ini akan memberikan ruang keadilan pada seluruh anak bangsa untuk dapat berkesempatan berpartisipasi dalam kontestasi kepemimpinan nasional. Sebab demokrasi harus diarahkan pada kebutuhan kualitas, bukan faktor kuantitas seperti jumlah suara. Disadari atau tidak, demokrasi yang kita laksanakan sekarang telah menggerus nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Masih kata Sultan, dengan metode pemilihan Presiden secara langsung rasanya sulit atau bahkan tidak mungkin tokoh-tokoh atau putera-puteri terbaik bangsa dari daerah kecil (jumlah mata pilih) diluar pulau Jawa dapat menjadi representasi kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan adanya ruang pemilihan melalui keterwakilan di MPR (yang terdiri dari DPR dan DPD sebagai utusan daerah) maka formulasi yang dibangun dalam konsensus pasangan Presiden dan Wakil Presiden selain memberikan transformasi pendidikan politik pada masyarakat melalui uji ide dan gagasan pembangunan yang dapat disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, tentu hasilnya juga akan lebih representatif dari aspek baik kedaerahan, maupun latar belakang politik yang dimiliki; Nasionalisme, Religius dan Moderat.
Selain tentang prinsip pengawasan, tambah mantan ketua HIPMI bengkulu ini, penentuan pembatasan jabatan presiden menjadi mutlak adanya dalam demokrasi Pancasila. Sehingga kita tidak perlu mengulangi sejarah kelam kepemimpinan nasional pada orde lama dan orde baru.
Dengan demikian, kenangnya, Bangsa ini akan benar-benar mengaktualisasikan prinsip permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Sebuah prinsip yang digali oleh para pendiri bangsa dari kehidupan sosial dan budaya Bangsa Indonesia yang majemuk namun memiliki kesadaran atas persatuan.
Wacana ini tentu memiliki landasan yang kuat. Bagi Sultan, wewenang MPR RI harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara adalah hal pertama yang mesti dilaksanakan. Jadi pemilihan Presiden tetap dilakukan oleh MPR sebagaimana wujud 'penjelmaan' perwakilan seluruh rakyat Indonesia.
"Sistem demokrasi yang kita anut harus menampilkan wujud identitas kebangsaan kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Maka konsekuensi logisnya bersumber pada sila ke-4 dimana pengambilan keputusan harus berdasarkan musyawarah mufakat dengan asas keterwakilan,” katanya.
Dengan mengembalikan peran dan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lanjut Sultan, tidak berarti kita hendak mengambil langkah mundur bagi perjalanan demokrasi Indonesia, namun merupakan cara terbaik dalam menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang sesungguhnya dengan menangkal liberalisasi yang terjadi, yaitu kuatnya pengaruh oligarki politik dan oligarki ekonomi yang berkelindan didalam ruang kontes demokrasi kita yang berbiaya tinggi.
Semangat Pancasila yang kita lekatkan pada demokrasi akan signifikan mendorong terlaksananya suksesi kepemimpinan yang berkualitas dan penuh dengan ketertiban sosial, ucap Sultan. Karena Sistem Kontrol pemilu akan berjalan efektif dan efisien hanya pada lembaga MPR sehingga juga potensi intervensi asing (pihak luar) serta money politics pun akan mudah diawasi dan dihindari.
Selain itu, langkah ini akan memberikan ruang keadilan pada seluruh anak bangsa untuk dapat berkesempatan berpartisipasi dalam kontestasi kepemimpinan nasional. Sebab demokrasi harus diarahkan pada kebutuhan kualitas, bukan faktor kuantitas seperti jumlah suara. Disadari atau tidak, demokrasi yang kita laksanakan sekarang telah menggerus nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Masih kata Sultan, dengan metode pemilihan Presiden secara langsung rasanya sulit atau bahkan tidak mungkin tokoh-tokoh atau putera-puteri terbaik bangsa dari daerah kecil (jumlah mata pilih) diluar pulau Jawa dapat menjadi representasi kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan adanya ruang pemilihan melalui keterwakilan di MPR (yang terdiri dari DPR dan DPD sebagai utusan daerah) maka formulasi yang dibangun dalam konsensus pasangan Presiden dan Wakil Presiden selain memberikan transformasi pendidikan politik pada masyarakat melalui uji ide dan gagasan pembangunan yang dapat disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, tentu hasilnya juga akan lebih representatif dari aspek baik kedaerahan, maupun latar belakang politik yang dimiliki; Nasionalisme, Religius dan Moderat.
Selain tentang prinsip pengawasan, tambah mantan ketua HIPMI bengkulu ini, penentuan pembatasan jabatan presiden menjadi mutlak adanya dalam demokrasi Pancasila. Sehingga kita tidak perlu mengulangi sejarah kelam kepemimpinan nasional pada orde lama dan orde baru.
Dengan demikian, kenangnya, Bangsa ini akan benar-benar mengaktualisasikan prinsip permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Sebuah prinsip yang digali oleh para pendiri bangsa dari kehidupan sosial dan budaya Bangsa Indonesia yang majemuk namun memiliki kesadaran atas persatuan.