Inisiatif Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menggandeng empat CSO dalam konflik agraria mendapat dukungan dari kalangan pegiat reformasi birokrasi. Foto/SINDOnews
AAA
JAKARTA - Inisiatif Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menggandeng empat organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam konflik-konflik agraria mendapat dukungan dari kalangan pegiat reformasi birokrasi.
Mengutip catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menurut Nova pada 2017 saja setiap hari terjadi dua konflik agraria, atau sekitar 659 konflik dalam setahun. Angka itu meningkat hampir 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2016, dengan cakupan lahan seluas 520 ribu hektare dan melibatkan 652 ribu kepala keluarga.
Dengan perhatian besar pemerintah yang terus melakukan segala upaya, termasuk membagi-bagikan tanah beserta sertifikat lahannya, angka tersebut pada tahun 2020 lalu menurun menjadi 241 kasus dengan korban 135 ribu kepala keluarga.
"Artinya, kasus-kasus konflik agraria memang besar dan krusial menimbulkan gesekan di masyarakat," kata Nova, Minggu (20/6/2021).
Dalam hal ini Nova sepakat dan mendukung keyakinan dan tekad Presiden Jokowi pada momentum Hari Tani 24 September 2018 untuk mempercepat penyelesaian konflik-konflik agrarian.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya membagikan 17 ribu sertifikat tanah kepada warga Tangerang dan Bogor, tetapi juga menyatakan target untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik-konflik agraria dan menerbitkan jutaan sertifikat lahan untuk dibagikan kepada masyaralat secara cuma-cuma.
"Saya hitung kalau setahun hanya 500 ribu sertifikat, sementara masih kurang 80 juta, berarti bapak-ibu harus menunggu 160 tahun. Nunggu 160 tahun sanggup enggak? Menunggu 160 tahun, sengketa akan semakin banyak," ujar Jokowi saat itu.
Dengan besarnya jumlah kasus konflik agraria setiap tahun, menurut Nova, langkah yang dilakukan KSP Moeldoko jelas sebuah terobosan baru yang efektif.
Pelibatan keempat CSO yang telah banyak terlibat dalam mediasi konflik-konflik agraria, yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Gema Perhutanan Sosial (GEMA PS), kata Nova, memungkinkan penanganan yang lebih holistic, dibandingkan cara-cara sebelumnya yang cenderung lebih yuridis-normatif.