Bantah Anggapan RS Mengcovidkan Pasien, PERSI: Kalaupun Ada Itu Oknum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sudah 1,5 tahun pandemi COVID-19 ada di Indonesia tapi masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa rumah sakit (RS) seringkali mengcovidkan pasien. Di mana pasien yang tidak COVID-19 tapi dibuat COVID-19 oleh RS.
Terkait hal ini Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) memberikan tanggapannya. Sekjen PERSI, Lia G Partakusuma bahwa kalaupun ada istilah mengcovidkan pasti tindakan oknum. Namun, dia menegaskan bahwa tidak pernah ada satupun RS untuk melakukan tindakan tersebut.
“Bahwa istilah mencovidkan pasien saya rasa kalaupun ada itu oknum. Kami tidak sama sekali pernah menginginkan satupun RS yang mencovidkan. Itu yang mudah-mudahan tidak ada satupun RS yang berkeinginan untuk mencovidkan karena itu tidak baik. Dan juga dampaknya sangat buruk untuk perumahsakitan seluruh Indonesia,” ujarnya dalam acara Temu Media Persi, Minggu (20/6/2021).
“Kalaupun ada (RS yang mengcovidkan) lalu menyamaratakan 3.000 RS seperti hal yang sama tentu rasanya tidak benar. Jadi kita berharap lebih baik kita dudukan bersama persoalannya. Kalau perlu kita tanya betul bagaimana. Mungkin kesalahpahaman dalam penyampaian. Itu yang lebih sering terjadi,” lanjutnya.
Lia menjelaskan bahwa dalam penetapan pasien positif COVID-19 harus sesuai dengan aturan yang ketat. Di mana RS harus melampirkan banyak sekali dokumen pendukung untuk menyampaikan bahwa pasien tersebut COVID-19.
“Jadi masyarakat jangan juga merasa bahwa oh kalau memang diagnosa COVID-19 itu pasti akan diklaim oleh RS sebagai pasien COVID-19. Itu juga belum tentu. Dan tentunya kami mengimbau sama-sama kita menaruh kepercayaan bahwa dokter akan mengobati sesuai kondisi pasien,” jelasnya.
Dia mengaku memang ada satu kendala pada saat awal diagnosa yang membutuhkan waktu yang lama. Utamanya untuk RS sakit dengan fasilitas yang tak lengkap. Sementara RS besar tentu hasilnya akan lebih cepat.
“Nah kemudian satu lagi saya sampaikan bahwa yang namanya pemeriksaan laboratorium akan tergantung dari individu. Jadi tidak misalnya satu orang diperiksa hari ini negatif, kemudian satu minggu kemudian dia negatif. Bahkan itu bisa ada satu proses dimana replikasi virus itu membutuhkan waktu. Bisa saja ada gejala tapi memang belum terdeteksi oleh alat diagnostic-nya,” paparnya.
“Nah ini memang yang harus betul kita perhatikan. Banyak hal yang bisa menyebabkan hasil diagnostic ini punya satu kekurangan. Jadi ada satu kekurangan bahwa mungkin saja tidak ditemukan pada saat itu tapi bisa ditemukan pada saat yang lain atau sebaliknya,” sambungnya.
Terkait hal ini Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) memberikan tanggapannya. Sekjen PERSI, Lia G Partakusuma bahwa kalaupun ada istilah mengcovidkan pasti tindakan oknum. Namun, dia menegaskan bahwa tidak pernah ada satupun RS untuk melakukan tindakan tersebut.
“Bahwa istilah mencovidkan pasien saya rasa kalaupun ada itu oknum. Kami tidak sama sekali pernah menginginkan satupun RS yang mencovidkan. Itu yang mudah-mudahan tidak ada satupun RS yang berkeinginan untuk mencovidkan karena itu tidak baik. Dan juga dampaknya sangat buruk untuk perumahsakitan seluruh Indonesia,” ujarnya dalam acara Temu Media Persi, Minggu (20/6/2021).
“Kalaupun ada (RS yang mengcovidkan) lalu menyamaratakan 3.000 RS seperti hal yang sama tentu rasanya tidak benar. Jadi kita berharap lebih baik kita dudukan bersama persoalannya. Kalau perlu kita tanya betul bagaimana. Mungkin kesalahpahaman dalam penyampaian. Itu yang lebih sering terjadi,” lanjutnya.
Lia menjelaskan bahwa dalam penetapan pasien positif COVID-19 harus sesuai dengan aturan yang ketat. Di mana RS harus melampirkan banyak sekali dokumen pendukung untuk menyampaikan bahwa pasien tersebut COVID-19.
“Jadi masyarakat jangan juga merasa bahwa oh kalau memang diagnosa COVID-19 itu pasti akan diklaim oleh RS sebagai pasien COVID-19. Itu juga belum tentu. Dan tentunya kami mengimbau sama-sama kita menaruh kepercayaan bahwa dokter akan mengobati sesuai kondisi pasien,” jelasnya.
Dia mengaku memang ada satu kendala pada saat awal diagnosa yang membutuhkan waktu yang lama. Utamanya untuk RS sakit dengan fasilitas yang tak lengkap. Sementara RS besar tentu hasilnya akan lebih cepat.
“Nah kemudian satu lagi saya sampaikan bahwa yang namanya pemeriksaan laboratorium akan tergantung dari individu. Jadi tidak misalnya satu orang diperiksa hari ini negatif, kemudian satu minggu kemudian dia negatif. Bahkan itu bisa ada satu proses dimana replikasi virus itu membutuhkan waktu. Bisa saja ada gejala tapi memang belum terdeteksi oleh alat diagnostic-nya,” paparnya.
“Nah ini memang yang harus betul kita perhatikan. Banyak hal yang bisa menyebabkan hasil diagnostic ini punya satu kekurangan. Jadi ada satu kekurangan bahwa mungkin saja tidak ditemukan pada saat itu tapi bisa ditemukan pada saat yang lain atau sebaliknya,” sambungnya.
(kri)