Sudirman Said: Penguatan Alutsista Dibutuhkan tapi Harus Transparan dan Prudent
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pegiat antikorupsi Sudirman Said angkat bicara terkait rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengalokasikan anggaran pertahanan lebih dari Rp1.700 triliun. Menurutnya, penguatan alat utama sistem persenjataan ( alutsista ) Indonesia memang dibutuhkan. Namun, rencana anggaran dengan nominal luar biasa besar itu harus transparan dan dilakukan secara bijaksana serta penuh kehati-hatian (prudent).
"Sangat wajar bila para pemerhati manajemen pertahanan memberi perhatian dan terus memantau kelanjutan dari rencana tersebut. Semua pasti sepakat bahwa tentara kita harus diperkuat, tetapi tetap harus melalui kajian dan prosedur pengadaan yang hati-hati," kata Sudirman dalam keterangannya, Selasa (1/6/2021).
Mantan Direktur Utama PT Pindad itu menilai rencana Kementerian Pertahanan tersebut pasti akan mendapat perhatian publik karena nilainya luar biasa besar. Dia juga berpendapat rancangan proses pengadaannya tergolong tidak konvensional lantaran uang sebesar itu belanjanya direncanakan sampai 2024.
Baca juga: Raperpres Pengadaan Alutsista TNI Picu Polemik, Ini Jawaban Tegas Kemhan
"Menarik untuk dikaji, bagaimana mungkin proses pengadaan berbasis rencana strategis 2020-2045 kok ditarik ke depan, seperti dipercepat harus selesai dalam empat tahun, menjadi 2024," ujarnya.
Sudirman menyatakan upaya memperkuat alutsista memang harus dilakukan terlebih setelah kejadian KRI Nanggala 402. Sebenarnya, imbuhnya, upaya penguatan alutsista terus-menerus dilakukan pada setiap periode pemerintahan. Namun, persoalan klasik yang sampai hari ini belum terpecahkan ialah keterbatasan anggaran dibandingkan kebutuhan yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan minimal yang pokok saja (Minimum Essential Force/MEF), kata dia, Kementerian Pertahanan masih kesulitan.
"Tentu musibah KRI Nanggala 402 memberi dorongan semangat untuk me-review keadaan alutsista kita. Yang tidak boleh adalah berbelanja secara besar-besaran, dalam waktu sesingkat-singkatnya, apalagi bila dananya utang. Belanja besar dalam waktu singkat akan memberi peluang berkurangnya prudent practice dalam manajemen pengadaan," ucap Ketua Institut Harkat Negeri itu.
Baca juga: Menhan Prabowo Dikabarkan Akan Borong Alutsista Rp1.760 Triliun
Sudirman meyampaikan anggaran sebesar itu harus mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Pasalnya, pengadaan alutsista berbeda dengan jenis pengadaan lain. Alutsista tidak memiliki patokan harga pasar yang bisa diawasi publik.
"Harga senjata dan alat-alat untuk pertahanan tidak seperti harga beras atau gula untuk bansos. Beras dan gula ada patokan harga pasar yang bisa dilihat oleh publik. Sementara harga alutsista tidak ada patokan dan spesifikasinya tidak dipahami masyarakat luas," ucapnya.
"Kalau beras dan gula bansos yang harga dan kualitasnya dimengerti publik saja dikorupsi, bagaimana dengan alat-alat pertahanan. Apalagi sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada akses memeriksa pengadaan alutsista," imbuhnya.
Menurut Sudirman, setiap ada uang dan kekuasaan maka risiko terjadinya penyimpangan dan korupsi selalu terbuka. Karena itu, rencana pengadaan besar-besaran itu harus diawasi dengan ketat dan terkontrol.
"Sangat wajar bila para pemerhati manajemen pertahanan memberi perhatian dan terus memantau kelanjutan dari rencana tersebut. Semua pasti sepakat bahwa tentara kita harus diperkuat, tetapi tetap harus melalui kajian dan prosedur pengadaan yang hati-hati," kata Sudirman dalam keterangannya, Selasa (1/6/2021).
Mantan Direktur Utama PT Pindad itu menilai rencana Kementerian Pertahanan tersebut pasti akan mendapat perhatian publik karena nilainya luar biasa besar. Dia juga berpendapat rancangan proses pengadaannya tergolong tidak konvensional lantaran uang sebesar itu belanjanya direncanakan sampai 2024.
Baca juga: Raperpres Pengadaan Alutsista TNI Picu Polemik, Ini Jawaban Tegas Kemhan
"Menarik untuk dikaji, bagaimana mungkin proses pengadaan berbasis rencana strategis 2020-2045 kok ditarik ke depan, seperti dipercepat harus selesai dalam empat tahun, menjadi 2024," ujarnya.
Sudirman menyatakan upaya memperkuat alutsista memang harus dilakukan terlebih setelah kejadian KRI Nanggala 402. Sebenarnya, imbuhnya, upaya penguatan alutsista terus-menerus dilakukan pada setiap periode pemerintahan. Namun, persoalan klasik yang sampai hari ini belum terpecahkan ialah keterbatasan anggaran dibandingkan kebutuhan yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan minimal yang pokok saja (Minimum Essential Force/MEF), kata dia, Kementerian Pertahanan masih kesulitan.
"Tentu musibah KRI Nanggala 402 memberi dorongan semangat untuk me-review keadaan alutsista kita. Yang tidak boleh adalah berbelanja secara besar-besaran, dalam waktu sesingkat-singkatnya, apalagi bila dananya utang. Belanja besar dalam waktu singkat akan memberi peluang berkurangnya prudent practice dalam manajemen pengadaan," ucap Ketua Institut Harkat Negeri itu.
Baca juga: Menhan Prabowo Dikabarkan Akan Borong Alutsista Rp1.760 Triliun
Sudirman meyampaikan anggaran sebesar itu harus mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Pasalnya, pengadaan alutsista berbeda dengan jenis pengadaan lain. Alutsista tidak memiliki patokan harga pasar yang bisa diawasi publik.
"Harga senjata dan alat-alat untuk pertahanan tidak seperti harga beras atau gula untuk bansos. Beras dan gula ada patokan harga pasar yang bisa dilihat oleh publik. Sementara harga alutsista tidak ada patokan dan spesifikasinya tidak dipahami masyarakat luas," ucapnya.
"Kalau beras dan gula bansos yang harga dan kualitasnya dimengerti publik saja dikorupsi, bagaimana dengan alat-alat pertahanan. Apalagi sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada akses memeriksa pengadaan alutsista," imbuhnya.
Menurut Sudirman, setiap ada uang dan kekuasaan maka risiko terjadinya penyimpangan dan korupsi selalu terbuka. Karena itu, rencana pengadaan besar-besaran itu harus diawasi dengan ketat dan terkontrol.