Pantau Gambut Soroti Rendahnya Komitmen Restorasi oleh Swasta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Restorasi di wilayah konsesi lahan gambut masih menghadapi tantangan berupa komitmen pengusaha dan penegakan hukum yang belum optimal. Sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam mengawal restorasi gambut, Pantau Gambut mendorong pemegang konsesi agar lebih serius merestorasi lahan gambut sesuai kewajibannya.
Pantau Gambut bersama masyarakat telah melakukan analisis spasial dan observasi lapangan. Observasi dilakukan pada 1.222 titik sampel area gambut di 43 wilayah konsesi yang terbakar di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, dan Papua Barat.
Berdasarkan analisis tersebut, terungkap hilangnya tutupan pohon di area gambut dengan fungsi lindung seluas 421.221 hektare di area konsesi selama periode 2015-2019. Sedangkan lewat verifikasi lapangan di 405 titik sampel area gambut lindung, sekitar 64,4% di antaranya telah ditemukan penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau akasia. Sisanya ditelantarkan tanpa adanya upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan.
Baca juga: Lantik Kapokja dan Kasubpokja, Kepala BRGM: Percepat Restorasi Gambut dan Mangrove
"Hasil analisis menunjukkan adanya penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau akasia di 64,4% titik sampel. Sisa titik sampel menunjukkan lahan yang ditelantarkan tanpa ada upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan pemerintah," kata Romes Irawan Putra dari Simpul Jaringan Pantau Gambut dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Sabtu (29/5/2021).
Lebih lanjut, Pantau Gambut juga menemukan 91,5% titik sampel ternyata tidak terdapat infrastruktur restorasi sama sekali. Hanya 1,8% yang terdapat infrastruktur restorasi, baik sekat kanal atau sumur bor yang kondisinya baik.
Periode pengamatan titik sampel lapangan dilihat menggunakan penginderaan jauh dan analisa spasial dalam kurun waktu 2015-2019. Sedangkan verifikasi lapangan dilakukan dalam periode November 2019 hingga April 2021, bervariasi pada masing-masing provinsi yang melakukan pemantauan.
Baca juga: Pejabat BRGM Diminta Lebih Kreatif dalam Percepatan Restorasi Gambut
"Melalui kajian ini, Pantau Gambut berharap publik dapat mengetahui perkembangan terkini pemulihan gambut yang ada di area konsesi. Kajian ini juga diharapkan dapat digunakan pemerintah dan perusahaan terkait untuk melakukan tindakan dan penilaian kinerja restorasi dalam rangka perlindungan ekosistem gambut di Indonesia," kata Romes.
Penegakan Hukum untuk Efek Jera
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 16 tahun 2017, kegiatan pemulihan wajib dilakukan pemegang usaha dan/atau kegiatan di atas lahan gambut. Sedangkan pemerintah berperan menetapkan perintah, melakukan supervisi dan menilai kegiatan pemulihan yang dilakukan.
Sepanjang periode 2015-2020, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) dan KLHK telah melaporkan pencapaian kegiatan restorasi. BRG menyebutkan telah tercapai restorasi seluas 645.000 hektare dari total target seluas 1,7 juta hektare di area konsesi.
Sementara pada laporan terpisah, KLHK mengklaim sebanyak 294 perusahaan atau sekitar 3,6 juta hektare area konsesi HTI telah berhasil direstorasi.
Pantau Gambut bersama masyarakat telah melakukan analisis spasial dan observasi lapangan. Observasi dilakukan pada 1.222 titik sampel area gambut di 43 wilayah konsesi yang terbakar di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, dan Papua Barat.
Berdasarkan analisis tersebut, terungkap hilangnya tutupan pohon di area gambut dengan fungsi lindung seluas 421.221 hektare di area konsesi selama periode 2015-2019. Sedangkan lewat verifikasi lapangan di 405 titik sampel area gambut lindung, sekitar 64,4% di antaranya telah ditemukan penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau akasia. Sisanya ditelantarkan tanpa adanya upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan.
Baca juga: Lantik Kapokja dan Kasubpokja, Kepala BRGM: Percepat Restorasi Gambut dan Mangrove
"Hasil analisis menunjukkan adanya penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau akasia di 64,4% titik sampel. Sisa titik sampel menunjukkan lahan yang ditelantarkan tanpa ada upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan pemerintah," kata Romes Irawan Putra dari Simpul Jaringan Pantau Gambut dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Sabtu (29/5/2021).
Lebih lanjut, Pantau Gambut juga menemukan 91,5% titik sampel ternyata tidak terdapat infrastruktur restorasi sama sekali. Hanya 1,8% yang terdapat infrastruktur restorasi, baik sekat kanal atau sumur bor yang kondisinya baik.
Periode pengamatan titik sampel lapangan dilihat menggunakan penginderaan jauh dan analisa spasial dalam kurun waktu 2015-2019. Sedangkan verifikasi lapangan dilakukan dalam periode November 2019 hingga April 2021, bervariasi pada masing-masing provinsi yang melakukan pemantauan.
Baca juga: Pejabat BRGM Diminta Lebih Kreatif dalam Percepatan Restorasi Gambut
"Melalui kajian ini, Pantau Gambut berharap publik dapat mengetahui perkembangan terkini pemulihan gambut yang ada di area konsesi. Kajian ini juga diharapkan dapat digunakan pemerintah dan perusahaan terkait untuk melakukan tindakan dan penilaian kinerja restorasi dalam rangka perlindungan ekosistem gambut di Indonesia," kata Romes.
Penegakan Hukum untuk Efek Jera
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 16 tahun 2017, kegiatan pemulihan wajib dilakukan pemegang usaha dan/atau kegiatan di atas lahan gambut. Sedangkan pemerintah berperan menetapkan perintah, melakukan supervisi dan menilai kegiatan pemulihan yang dilakukan.
Sepanjang periode 2015-2020, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) dan KLHK telah melaporkan pencapaian kegiatan restorasi. BRG menyebutkan telah tercapai restorasi seluas 645.000 hektare dari total target seluas 1,7 juta hektare di area konsesi.
Sementara pada laporan terpisah, KLHK mengklaim sebanyak 294 perusahaan atau sekitar 3,6 juta hektare area konsesi HTI telah berhasil direstorasi.