PKS: Rencana Naikkan PPN Tidak Mencerminkan Keadilan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menyebutkan, pemerintah berwenang menetapkan defisit anggaran melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB) selama penanganan pandemi Covid-19.
Kini, pemerintah sedang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022. Tersirat bahwa penyusunan ini mengandung upaya pemerintah untuk menyikapi defisit anggaran negara yang akan kembali patuh pada aturan 2% pada akhir 2022 nanti.
Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan, Bidang Ekonomi & Keuangan (EKUIN) DPP Partai Keadilan Sejahtera Farouk Abdullah Alwyni menduga, di antara dua opsi besar yang ada, pemerintah agaknya sedang condong memilih peningkatan penerimaan daripada pemotongan belanja untuk mengatasi persoalan defisit anggaran negara.
“Dibanding memilih sikap hemat seperti dicontohkan misalnya oleh Bung Hatta, pemerintah agaknya lebih memilih menggali sumber-sumber dana dari masyarakat dengan cara menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 15 persen,” kata Farouk dalam keterangan tertulis, Kamis 27 Mei 2021 kepada SINDOnews.
Faoruk juga membantah pernyataan Kementerian Keuangan bahwa secara internasional PPN yang ada di Indonesia termasuk rendah.
“Tidak juga, beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Amerika Serikat mempunyai tarif PPn yang lebih rendah berkisar antara 5 persen dan 7 persen,” kata Farouk.
Selain itu, menyitir teori Ibn Khaldun, Farouk mengatakan pajak yang tinggi hanya akan menekan ekonomi yang akhirnya menurunkan penerimaan pajak itu sendiri. Ibn Khaldun menganalisa bahwa kemajuan ekonomi sebuah dinasti tidak terlepas dari penghasilan pajak tinggi yang disebabkan oleh "tingkat persentase pajak yang rendah".
Sebaliknya, lanjut dia, kesulitan ekonomi yang pada umumnya merupakan akhir dari sebuah dinasti disebabkan oleh "tingkat persentase pajak yang tinggi", yang berdampak terhadap mengecilnya pendapatan pemerintah melalui pajak.
Analisa Ibn Khaldun ini pernah dikutip oleh salah satu Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, ketika akan menerapkan kebijakan pemotongan pajak.
“Ibn Khaldun memahami bahwa tarif pajak dan pendapatan pajak adalah dua hal yang berbeda. Tarif pajak yang tinggi bukan jaminan bahwa pendapatan pajak akan maksimal. Salah-salah justru menghambat upaya kerja masyarakat,” kata alumnus Birmingham University UK ini.
Dengan demikian, kata Farouk, rencana pemerintah menaikkan PPN bisa jadi bumerang yang membuat kemampuan ekonomi masyarakat makin tergerus. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika rencana ini terealisasi.
“Ruang fikal memang terbatas, tetapi aparat Kemenkeu khususnya Menteri Keuangan jangan kehilangan akal sehat dan kreativitas untuk menggenjot penerimaan negara. Ada risiko ekonomi dan politik yang besar di balik rencana kenaikan PPn itu,” tutur Farouk.
Dia menjelaskan, masih ada cara lain dengan misalnya mengoptimalkan pajak orang super kaya seperti apa yang dilakukan Presiden AS Joe Biden. Dalam administrasi pemerintahannya, Biden melakukan distributive justice dengan merencanakan peningkatan pajak 39,6% terhadap kelompok super rich di Amerika yang jumlahnya hanya satu persen dari populasi penduduk.
Joe Biden, menurut Farouk, mengirimkan pesan yang kuat bahwa ia berpihak kepada kelompok miskin, para buruh, serta pekerja kelas menengah ke bawah yang bekerja untuk keluarga dan anak-anaknya.
“Lewat pajak itu Biden membantu pendidikan, kesehatan, dan child care masyarakat miskin. Biden juga berencana meningkatkan pajak untuk korporasi-korporasi besar dan multinasional di mana penerimaan tersebut digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kapasitas infrastruktur di Amerika. Langkah itu dapat menjadi inspirasi yang layak ditiru,” tutur mantan caleg DPR daerah pemilihan DKI II pada 2019 ini.
Menurut dia, pemerintah perlu menimbang progresivitas tarif pajak seperti di Amerika. Sebab sejauh ini pajak di Indonesia belum benar-benar menyisir kelompok super kaya. Memang baru-baru ini Sri Mulyani mulai mengangkat wacana pajak untuk orang-orang kaya, yakni diterapkan tarif baru sebesar 35% bagi orang yang penghasilannya diatas Rp5 miliar.
Tetapi Farouk melihat bahwa Sri Mulyani harusnya tidak sekadar meng-copy batasan yang dilakukan di Amerika Serikat, yakni USD400 ribu.
“Secara umum pendapatan per kapita kita jauh di bawah Amerika Serikat, harusnya tarif baru 35 persen itu bisa diterapkan bagi masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp1 miliar. Bahkan kalau perlu dibuat lagi tarif baru sebesar 40 persen bagi yang perpenghasilan di atas Rp2,5 miliar,” ujar Farouk.
Jika progresivitas pajak dapat dioptimalkan, PKS yakin hal itu dapat menjadikan pajak tampil sebagai instrumen pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Perlu dipertimbangkan untuk mendesain pajak progresif yang menyasar masyarakat super kaya yang ekonomi rumah tangganya tidak terganggu semasa pandemi Covid-19. Pemerintah bisa memanfaatkan instrumen PPnBM sebagai pengganti PPN,” tutur Farouk Alwyni.
PPnBM adalah pajak tambahan yang dikenakan setelah barang-barang mewah terlebih dulu dikenai PPN. Klasifikasi barang mewah dalam PPnBM, menurut Farouk, juga perlu disesuaikan dan mengoptimalkan kaidah progresivitas beban pajak.
“PPnBM juga harus diatur dengan hati-hati, dan mempertimbangkan perkembangan masyarakat menengah dewasa ini, mobil dengan harga sampai dengan Rp750 juta misalnya harus dikeluarkan dari kategori barang mewah, sebaliknya barang-barang bermerek seperti tas-tas mewah yang berharga puluhan bahkan ratusan juta justru harus dikenakan PPnBM,” ungkap Farouk.
Bahkan lebih dari itu, pemerintah dapat pula memakai metode ekstensifikasi dan intesifikasi pajak dengan menyasar para konglomerat kakap yang mengontrol sekitar 50% dari perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Oxfam, ada 4 biliuner Indonesia yang kekayaannya sama dengan the bottom 40% penduduk Indonesia.
“Perlu ada review menyeluruh terhadap rencana kenaikkan PPN. Jangan sampai keinginan untuk menyelamatkan pos pendapatan negara justru justru memperburuk situasi dan lebih jauh lagi menciderai rasa keadilan,” kata Farouk.
Kini, pemerintah sedang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022. Tersirat bahwa penyusunan ini mengandung upaya pemerintah untuk menyikapi defisit anggaran negara yang akan kembali patuh pada aturan 2% pada akhir 2022 nanti.
Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan, Bidang Ekonomi & Keuangan (EKUIN) DPP Partai Keadilan Sejahtera Farouk Abdullah Alwyni menduga, di antara dua opsi besar yang ada, pemerintah agaknya sedang condong memilih peningkatan penerimaan daripada pemotongan belanja untuk mengatasi persoalan defisit anggaran negara.
“Dibanding memilih sikap hemat seperti dicontohkan misalnya oleh Bung Hatta, pemerintah agaknya lebih memilih menggali sumber-sumber dana dari masyarakat dengan cara menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 15 persen,” kata Farouk dalam keterangan tertulis, Kamis 27 Mei 2021 kepada SINDOnews.
Faoruk juga membantah pernyataan Kementerian Keuangan bahwa secara internasional PPN yang ada di Indonesia termasuk rendah.
“Tidak juga, beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Amerika Serikat mempunyai tarif PPn yang lebih rendah berkisar antara 5 persen dan 7 persen,” kata Farouk.
Selain itu, menyitir teori Ibn Khaldun, Farouk mengatakan pajak yang tinggi hanya akan menekan ekonomi yang akhirnya menurunkan penerimaan pajak itu sendiri. Ibn Khaldun menganalisa bahwa kemajuan ekonomi sebuah dinasti tidak terlepas dari penghasilan pajak tinggi yang disebabkan oleh "tingkat persentase pajak yang rendah".
Sebaliknya, lanjut dia, kesulitan ekonomi yang pada umumnya merupakan akhir dari sebuah dinasti disebabkan oleh "tingkat persentase pajak yang tinggi", yang berdampak terhadap mengecilnya pendapatan pemerintah melalui pajak.
Analisa Ibn Khaldun ini pernah dikutip oleh salah satu Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, ketika akan menerapkan kebijakan pemotongan pajak.
“Ibn Khaldun memahami bahwa tarif pajak dan pendapatan pajak adalah dua hal yang berbeda. Tarif pajak yang tinggi bukan jaminan bahwa pendapatan pajak akan maksimal. Salah-salah justru menghambat upaya kerja masyarakat,” kata alumnus Birmingham University UK ini.
Dengan demikian, kata Farouk, rencana pemerintah menaikkan PPN bisa jadi bumerang yang membuat kemampuan ekonomi masyarakat makin tergerus. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika rencana ini terealisasi.
“Ruang fikal memang terbatas, tetapi aparat Kemenkeu khususnya Menteri Keuangan jangan kehilangan akal sehat dan kreativitas untuk menggenjot penerimaan negara. Ada risiko ekonomi dan politik yang besar di balik rencana kenaikan PPn itu,” tutur Farouk.
Dia menjelaskan, masih ada cara lain dengan misalnya mengoptimalkan pajak orang super kaya seperti apa yang dilakukan Presiden AS Joe Biden. Dalam administrasi pemerintahannya, Biden melakukan distributive justice dengan merencanakan peningkatan pajak 39,6% terhadap kelompok super rich di Amerika yang jumlahnya hanya satu persen dari populasi penduduk.
Joe Biden, menurut Farouk, mengirimkan pesan yang kuat bahwa ia berpihak kepada kelompok miskin, para buruh, serta pekerja kelas menengah ke bawah yang bekerja untuk keluarga dan anak-anaknya.
“Lewat pajak itu Biden membantu pendidikan, kesehatan, dan child care masyarakat miskin. Biden juga berencana meningkatkan pajak untuk korporasi-korporasi besar dan multinasional di mana penerimaan tersebut digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kapasitas infrastruktur di Amerika. Langkah itu dapat menjadi inspirasi yang layak ditiru,” tutur mantan caleg DPR daerah pemilihan DKI II pada 2019 ini.
Menurut dia, pemerintah perlu menimbang progresivitas tarif pajak seperti di Amerika. Sebab sejauh ini pajak di Indonesia belum benar-benar menyisir kelompok super kaya. Memang baru-baru ini Sri Mulyani mulai mengangkat wacana pajak untuk orang-orang kaya, yakni diterapkan tarif baru sebesar 35% bagi orang yang penghasilannya diatas Rp5 miliar.
Tetapi Farouk melihat bahwa Sri Mulyani harusnya tidak sekadar meng-copy batasan yang dilakukan di Amerika Serikat, yakni USD400 ribu.
“Secara umum pendapatan per kapita kita jauh di bawah Amerika Serikat, harusnya tarif baru 35 persen itu bisa diterapkan bagi masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp1 miliar. Bahkan kalau perlu dibuat lagi tarif baru sebesar 40 persen bagi yang perpenghasilan di atas Rp2,5 miliar,” ujar Farouk.
Jika progresivitas pajak dapat dioptimalkan, PKS yakin hal itu dapat menjadikan pajak tampil sebagai instrumen pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Perlu dipertimbangkan untuk mendesain pajak progresif yang menyasar masyarakat super kaya yang ekonomi rumah tangganya tidak terganggu semasa pandemi Covid-19. Pemerintah bisa memanfaatkan instrumen PPnBM sebagai pengganti PPN,” tutur Farouk Alwyni.
PPnBM adalah pajak tambahan yang dikenakan setelah barang-barang mewah terlebih dulu dikenai PPN. Klasifikasi barang mewah dalam PPnBM, menurut Farouk, juga perlu disesuaikan dan mengoptimalkan kaidah progresivitas beban pajak.
“PPnBM juga harus diatur dengan hati-hati, dan mempertimbangkan perkembangan masyarakat menengah dewasa ini, mobil dengan harga sampai dengan Rp750 juta misalnya harus dikeluarkan dari kategori barang mewah, sebaliknya barang-barang bermerek seperti tas-tas mewah yang berharga puluhan bahkan ratusan juta justru harus dikenakan PPnBM,” ungkap Farouk.
Bahkan lebih dari itu, pemerintah dapat pula memakai metode ekstensifikasi dan intesifikasi pajak dengan menyasar para konglomerat kakap yang mengontrol sekitar 50% dari perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Oxfam, ada 4 biliuner Indonesia yang kekayaannya sama dengan the bottom 40% penduduk Indonesia.
“Perlu ada review menyeluruh terhadap rencana kenaikkan PPN. Jangan sampai keinginan untuk menyelamatkan pos pendapatan negara justru justru memperburuk situasi dan lebih jauh lagi menciderai rasa keadilan,” kata Farouk.
(dam)