Menemukan Keseimbangan Antara Kerja dan Keluarga
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital Management
Ketidakpastian atas masa depan adalah keniscayaan. Sebuah film memuat pesan bijaksana: Yesterday is history. Tomorrow is mistery, and today is a gift. Memang begitulah hukumnya. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Jangankan esok hari, menit atau bahkan detik berikutnya atas apa yang ada di depan kita, tidaklah bisa dipastikan seratus persen. Maka, terdapat pepatah Latin yang dapat menjadi pegangan: Carpe Diem. Raihlah hari ini!
Meski demikian, arah yang akan kita lalui masa depan dapat kita rancang dan susun sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi ketidakpastian, dan lintasan yang sudah kita jejakkan di belakang dapat menjadi sejarah sekaligus pencapaian yang bermanfaat.
Pandemi telah membuat dan memaksa setiap individu harus mengubah dirinya. Pandemi telah menjadikan organisasi dan komunitas menata kembali prioritas-prioritasnya. Pandemi telah membuat masyarakat dalam skala yang lebih besar berubah drastis. Di dalam pekerjaan, sebelumnya kita menjalankan aktivitas secara fisik di tempat kerja formal yang disebut kantor. Kita juga menjalankan aktivitas tersebut di dalam suatu waktu tertentu yang disebut jam kerja.
Yang kita rasakan hari ini, tiba-tiba batas itu hilang. Ruang dan waktu bekerja menjadi relatif. Gawai cerdas–laptop, ponsel, komputer—adalah ruang kita bekerja yang sesungguhnya. Seluruh aktivitas kita lakukan di dalamnya, mulai dari mengerjakan proses bisnis, mengeksekusi tugas, melakukan rapat-rapat, sampai dengan melakukan aktivitas transaksi finansial. Demikian juga dengan jam kerja. Sebelumnya kita mengenal waktu kerja nine to five atau eight to five. Delapan sampai sembilan jam kerja setiap hari, lima hari dalam sepekan.
Apa yang terjadi pada hari ini?
Cobalah amati dan telusuri teman, kolega, saudara di sekeliling kita. Pukul enam pagi kadang-kadang sudah rapat. Jam sepuluh atau sebelas malam, kadang-kadang juga masih memelototi gawai untuk mengikuti pertemuan. Sambil makan siang atau malam, ada juga yang sibuk di depan laptop untuk mengerjakan sesuatu.
Mereka yang sudah terlampau jenuh, mengeluh bahwa kerja mereka sekarang 24 jam sehari. Mereka yang sudah hampir frustrasi, bilang hari libur atau akhir pekan masih harus diperas keringat, otak, dan tenaganya untuk bekerja. Nyaris tidak ada ruang untuk keperluan pribadi atau keluarga.
Keseimbangan Optimum
Gelombang kedua pandemi sedang di depan mata. India yang paling parah. Singapura dan Malaysia sedang kembali menutup diri menghindari kemungkinan menjadi seperti India. Sementara pandemi yang sudah melewati batas psikologis satu tahun telah membuat perekonomian dan kehidupan sosial berantakan. Kita sedang berjuang memulihkannya.
Setelah melewati perjalanan sulit, ekonomi kita menunjukkan tanda-tanda menggeliat, meskipun belum berhasil melewati angka pertumbuhan positif. Tetapi trennya meningkat. Beberapa kantor dan usaha mulai mengupayakan kembalinya para pekerja di kantor-kantor, meskipun belum menuju ke angka normal sebagaimana sebelum pandemi.
Menyeimbangkan urusan pekerjaan dan keluarga bagi kaum pekerja atau pegawai tidaklah mudah. Selalu ada upaya gagal-coba gagal-coba sampai terbentuk suatu pola yang relatif dapat diakomodasi oleh pemberi kerja dan diterima oleh pegawai. Saya mengamati dari kejauhan, dari pemberitaan-pemberitaan, dari cerita-cerita orang-orang di kanan kiri, dan menyimpulkan satu hal: tidak ada satu pola baku yang sama untuk setiap kantor atau jenis pekerjaan atau jenis usaha yang dapat diperlakukan secara sama untuk kantor atau jenis pekerjaan lain yang berbeda.
Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi organisasi atau korporasi hari ini adalah bagaimana unit pengelola SDM atau HRD memetakan secara presisi dan cepat mekanisme keseimbangan antara work from home dan work from office yang memberikan hasil optimum bagi organisasi atau korporasi dalam situasi yang serba tidak pasti seperti sekarang ini. Demografi setiap pegawai harus dipetakan secara mendalam dan mendetail, termasuk perubahan-perubahan perilaku yang mengiringi perubahan pola kerja WFH-WFO ini. Kinerja dari setiap unit juga harus dimonitor dan dikendalikan untuk menghindari ancaman penurunan kinerja organisasi atau korporasi secara keseluruhan.
Pengelola SDM dalam organisasi dituntut untuk mampu mencari terobosan dari hasil pemetaan tersebut, sehingga akan dihasilkan suatu pola yang dapat diterapkan secara lebih efektif dan efisien. Tekanan psikologis pegawai atau pekerja harus dapat dikanalisasi atau dikompensasi sehingga tidak mengganggu sistem yang sedang diterapkan, sedangkan tuntutan pencapaian/kinerja harus dikendalikan oleh para manajer dan pemimpin unit.
Membangun dan mencari keseimbangan, sebagaimana hukum alam, selalu memerlukan waktu. Tetapi prinsip pokoknya sama seperti ketika kita belajar naik sepeda ketika kanak-kanak dulu: untuk mendapatkan keseimbangan terbaik, tetaplah kayuhlah pedalmu dan jangan berhenti mengayuh. Itu artinya, kita tidak bisa berhenti berusaha dan bersiasat menghadapi pandemi ini.
Pemerhati Human Capital Management
Ketidakpastian atas masa depan adalah keniscayaan. Sebuah film memuat pesan bijaksana: Yesterday is history. Tomorrow is mistery, and today is a gift. Memang begitulah hukumnya. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Jangankan esok hari, menit atau bahkan detik berikutnya atas apa yang ada di depan kita, tidaklah bisa dipastikan seratus persen. Maka, terdapat pepatah Latin yang dapat menjadi pegangan: Carpe Diem. Raihlah hari ini!
Meski demikian, arah yang akan kita lalui masa depan dapat kita rancang dan susun sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi ketidakpastian, dan lintasan yang sudah kita jejakkan di belakang dapat menjadi sejarah sekaligus pencapaian yang bermanfaat.
Pandemi telah membuat dan memaksa setiap individu harus mengubah dirinya. Pandemi telah menjadikan organisasi dan komunitas menata kembali prioritas-prioritasnya. Pandemi telah membuat masyarakat dalam skala yang lebih besar berubah drastis. Di dalam pekerjaan, sebelumnya kita menjalankan aktivitas secara fisik di tempat kerja formal yang disebut kantor. Kita juga menjalankan aktivitas tersebut di dalam suatu waktu tertentu yang disebut jam kerja.
Yang kita rasakan hari ini, tiba-tiba batas itu hilang. Ruang dan waktu bekerja menjadi relatif. Gawai cerdas–laptop, ponsel, komputer—adalah ruang kita bekerja yang sesungguhnya. Seluruh aktivitas kita lakukan di dalamnya, mulai dari mengerjakan proses bisnis, mengeksekusi tugas, melakukan rapat-rapat, sampai dengan melakukan aktivitas transaksi finansial. Demikian juga dengan jam kerja. Sebelumnya kita mengenal waktu kerja nine to five atau eight to five. Delapan sampai sembilan jam kerja setiap hari, lima hari dalam sepekan.
Apa yang terjadi pada hari ini?
Cobalah amati dan telusuri teman, kolega, saudara di sekeliling kita. Pukul enam pagi kadang-kadang sudah rapat. Jam sepuluh atau sebelas malam, kadang-kadang juga masih memelototi gawai untuk mengikuti pertemuan. Sambil makan siang atau malam, ada juga yang sibuk di depan laptop untuk mengerjakan sesuatu.
Mereka yang sudah terlampau jenuh, mengeluh bahwa kerja mereka sekarang 24 jam sehari. Mereka yang sudah hampir frustrasi, bilang hari libur atau akhir pekan masih harus diperas keringat, otak, dan tenaganya untuk bekerja. Nyaris tidak ada ruang untuk keperluan pribadi atau keluarga.
Keseimbangan Optimum
Gelombang kedua pandemi sedang di depan mata. India yang paling parah. Singapura dan Malaysia sedang kembali menutup diri menghindari kemungkinan menjadi seperti India. Sementara pandemi yang sudah melewati batas psikologis satu tahun telah membuat perekonomian dan kehidupan sosial berantakan. Kita sedang berjuang memulihkannya.
Setelah melewati perjalanan sulit, ekonomi kita menunjukkan tanda-tanda menggeliat, meskipun belum berhasil melewati angka pertumbuhan positif. Tetapi trennya meningkat. Beberapa kantor dan usaha mulai mengupayakan kembalinya para pekerja di kantor-kantor, meskipun belum menuju ke angka normal sebagaimana sebelum pandemi.
Menyeimbangkan urusan pekerjaan dan keluarga bagi kaum pekerja atau pegawai tidaklah mudah. Selalu ada upaya gagal-coba gagal-coba sampai terbentuk suatu pola yang relatif dapat diakomodasi oleh pemberi kerja dan diterima oleh pegawai. Saya mengamati dari kejauhan, dari pemberitaan-pemberitaan, dari cerita-cerita orang-orang di kanan kiri, dan menyimpulkan satu hal: tidak ada satu pola baku yang sama untuk setiap kantor atau jenis pekerjaan atau jenis usaha yang dapat diperlakukan secara sama untuk kantor atau jenis pekerjaan lain yang berbeda.
Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi organisasi atau korporasi hari ini adalah bagaimana unit pengelola SDM atau HRD memetakan secara presisi dan cepat mekanisme keseimbangan antara work from home dan work from office yang memberikan hasil optimum bagi organisasi atau korporasi dalam situasi yang serba tidak pasti seperti sekarang ini. Demografi setiap pegawai harus dipetakan secara mendalam dan mendetail, termasuk perubahan-perubahan perilaku yang mengiringi perubahan pola kerja WFH-WFO ini. Kinerja dari setiap unit juga harus dimonitor dan dikendalikan untuk menghindari ancaman penurunan kinerja organisasi atau korporasi secara keseluruhan.
Pengelola SDM dalam organisasi dituntut untuk mampu mencari terobosan dari hasil pemetaan tersebut, sehingga akan dihasilkan suatu pola yang dapat diterapkan secara lebih efektif dan efisien. Tekanan psikologis pegawai atau pekerja harus dapat dikanalisasi atau dikompensasi sehingga tidak mengganggu sistem yang sedang diterapkan, sedangkan tuntutan pencapaian/kinerja harus dikendalikan oleh para manajer dan pemimpin unit.
Membangun dan mencari keseimbangan, sebagaimana hukum alam, selalu memerlukan waktu. Tetapi prinsip pokoknya sama seperti ketika kita belajar naik sepeda ketika kanak-kanak dulu: untuk mendapatkan keseimbangan terbaik, tetaplah kayuhlah pedalmu dan jangan berhenti mengayuh. Itu artinya, kita tidak bisa berhenti berusaha dan bersiasat menghadapi pandemi ini.
(zik)