Pelat Khusus Kendaraan Kian Pertontonkan Jauhnya DPR dari Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti ikut menyoroti pembuatan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) khusus anggota DPR RI . Dia menganggap, TNKB memiliki kelemahan yakni kelemahan dasar aturan, etika, dan tujuan.
Menurut Ray, aturan pembuatan ini didasarkan pada putusan MKD DPR yang diltindaklanjuti sekjen yang disampaikan ke Polri. Dalam hal ini, MKD tidak membuat aturan apa pun yang dapat mengikat anggota DPR di luar tata cara bersidang di MKD.
Selain itu, Sekjen DPR tidak dapat membuat aturan yang mewajibkan anggota DPR melaksanakaannya kecuali atas dasar perintah UU atau keputusan anggota DPR sendiri. "Sekjen DPR hanya dapat membuat aturan sebagai penjabaran tekhnis pelaksanaan UU atau peraturan DPR. Jadi peraturan Sekjen DPR RI No 4 /2021 melampaui kewenangan," ujarnya, Minggu (23/5/2021).
Lebih lanjut Ray menganggap, telegram Kapolri No. STR/164/III/YAN/1.2./2021 tertanggal 15 Maret 2021 yang salah satu acuannya adalah Peraturan Kapolri No 5/2021. Sedangkan, aturan ini hanya berhubungan dengan Penerbitan dan Penandaan SIM, dan tidak ditemukan adanya aturan yang memungkinkan tanda kenderaan khusus bagi anggota DPR.
"Sebaliknya, dalam Peraturan Kapolri No 3/2021 dan Peraturan Kapolri No 5/2021 membatasi penggunaan tanda kenderaan khusus: presiden/wakil presiden, Pimpinan MPR/DPR, dan menteri negara. Oleh karena itu, pembuatan tanda kenderaan khusus bagi anggota DPR ini memiliki dasar yang lemah," beber dia.
Sementara itu, Ray mengatakan, kelemahan etika menjadi penanda ini membuat identitas DPR dalam kelas sosial tersendiri. Mereka seperti bukan wakil rakyat, yang karena itu penanda kenderaan merekapun harus berbeda dengan rakyat. Ini seperti kesombongan sosial. Di mana jabatan politik membuat mereka seperti bukan warga biasa. Kesombongna sosial ini mestinya dikikis dari kesadaran etik anggota DPR. Bukan sebaliknya dipupuk dan difasilitasi.
Adapun Kelemahan tujuan, dinilai mantan aktivis 98 ini agar anggota DPR dapat dipantau kendaraannya. Baginya tujuan ini terlalu mengada-ada. Sebab, kepemilikan mobil pribadi anggota DPR misalnya dapat dilacak dengan mudah melalui LHKPN yang mereka serahkan ke KPK. Lagi pula pelanggaran lalu lintas oleh anggota DPR bukanlah pelanggaran etika serius.
"Ada pelanggaran etika anggota DPR yang jauh lebih subtansial dan serius, malah tidak mendapat perhatian serius MKD. Yakni tindak pidana korupsi, tidak hadir dalam rapat-rapat di DPR, atau menggunakan fasilitas negara untuk melancarkan praktek ilegal seperti suap misalnya. Pelanggaran etik seperti ini jauh lebih Subtantif untuk dipantau oleh MKD," pungkasnya.
Menurut Ray, aturan pembuatan ini didasarkan pada putusan MKD DPR yang diltindaklanjuti sekjen yang disampaikan ke Polri. Dalam hal ini, MKD tidak membuat aturan apa pun yang dapat mengikat anggota DPR di luar tata cara bersidang di MKD.
Selain itu, Sekjen DPR tidak dapat membuat aturan yang mewajibkan anggota DPR melaksanakaannya kecuali atas dasar perintah UU atau keputusan anggota DPR sendiri. "Sekjen DPR hanya dapat membuat aturan sebagai penjabaran tekhnis pelaksanaan UU atau peraturan DPR. Jadi peraturan Sekjen DPR RI No 4 /2021 melampaui kewenangan," ujarnya, Minggu (23/5/2021).
Lebih lanjut Ray menganggap, telegram Kapolri No. STR/164/III/YAN/1.2./2021 tertanggal 15 Maret 2021 yang salah satu acuannya adalah Peraturan Kapolri No 5/2021. Sedangkan, aturan ini hanya berhubungan dengan Penerbitan dan Penandaan SIM, dan tidak ditemukan adanya aturan yang memungkinkan tanda kenderaan khusus bagi anggota DPR.
"Sebaliknya, dalam Peraturan Kapolri No 3/2021 dan Peraturan Kapolri No 5/2021 membatasi penggunaan tanda kenderaan khusus: presiden/wakil presiden, Pimpinan MPR/DPR, dan menteri negara. Oleh karena itu, pembuatan tanda kenderaan khusus bagi anggota DPR ini memiliki dasar yang lemah," beber dia.
Sementara itu, Ray mengatakan, kelemahan etika menjadi penanda ini membuat identitas DPR dalam kelas sosial tersendiri. Mereka seperti bukan wakil rakyat, yang karena itu penanda kenderaan merekapun harus berbeda dengan rakyat. Ini seperti kesombongan sosial. Di mana jabatan politik membuat mereka seperti bukan warga biasa. Kesombongna sosial ini mestinya dikikis dari kesadaran etik anggota DPR. Bukan sebaliknya dipupuk dan difasilitasi.
Adapun Kelemahan tujuan, dinilai mantan aktivis 98 ini agar anggota DPR dapat dipantau kendaraannya. Baginya tujuan ini terlalu mengada-ada. Sebab, kepemilikan mobil pribadi anggota DPR misalnya dapat dilacak dengan mudah melalui LHKPN yang mereka serahkan ke KPK. Lagi pula pelanggaran lalu lintas oleh anggota DPR bukanlah pelanggaran etika serius.
"Ada pelanggaran etika anggota DPR yang jauh lebih subtansial dan serius, malah tidak mendapat perhatian serius MKD. Yakni tindak pidana korupsi, tidak hadir dalam rapat-rapat di DPR, atau menggunakan fasilitas negara untuk melancarkan praktek ilegal seperti suap misalnya. Pelanggaran etik seperti ini jauh lebih Subtantif untuk dipantau oleh MKD," pungkasnya.
(muh)