Sidang Jumhur Hidayat, Ahli ITE Beri Keterangan Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa M Jumhur Hidayat kembali menjalani sidang penyebaran berita hoaks di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (20/5/2021) ini dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli ITE dari kubu Jumhur.
Kubu Jumhur menghadirkan Koordinator Hukum dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia (Ditjen Aptika Kominfo RI) Josua Sitompul sebagai Ahli ITE.
Dalam persidangan, banyak poin yang disampaikan oleh Ahli ITE, Josua Sitompul itu. Misalnya saja, media sosial Twitter itu termasuk bagian dari saluran penyampaian ekspresi ataupun kritik seseorang dalam bentuk apa pun. Lalu, tak ada semacam penyaring konten di media sosial tersebut.
Namun, ada mekanisme untuk dilakukan takedown pada konten, khususnya konten negatif. "Di Indonesia ada Kominfo yang melakukan penilaian apakah konten itu sesuai dengan standarnya, tapi prosedurnya itu report dan dilaporkan ke Kominfo dan Twitter akan takedown," ujarnya di persidangan, Kamis (20/5/2021).
Josua juga membicarakan tentang unsur Pasal 28 UU ITE, yang terkait unsur kebencian itu sejatinya harus dibuktikan ada tidaknya niat untuk menyebarkan kebencian tersebut, khususnya terkait individu, agama, golongan, atau ras. Lalu, harus pula dilihat ada tidaknya masyarakat dimaksud.
Dia lantas ditanya pendapatnya tentang pimpinan buruh yang menyampaikan pendapat melalui medsos dikaitkan dengan Pasal 28 UU ITE. Dia menjawab, tentunya itu harus berkaitan dengan hak WNI. Setiap WNI memiliki hak dan kebebasan berekspresi dan berpendapat, hanya saja tak boleh sampai menimbulkan kebencian.
Josua lantas ditanya pendapatnya bila ada orang yang menyatakan undang-undang X untuk melindungi primitif investor dari RRC. Dia menilai, kata buruh, investor, negara, ataupun pemerintah bukanlah termasuk dalam suku, agama, dan golongan.
Sebabnya, buruh dan investor merupakan jenis pekerjaan, negara atau pemerintah merupakan penguasa dan itu bukanlah golongan, sedangkan golongan itu ada di dalam masyarakat umum. Adapun terkait golongan itu harus jelas dan detail, misal masyarakat RT 11 dan RW 07.
Dia lalu ditanya berkaitan Pasal 28 ayat 2 m, apakah rasa kebencian harus dibuktikan dahulu. Dia menilai, tujuan seseorang dalam menyebarkan kebencian dan rasa takut pada individu tertentu memang harus dibuktikan dahulu, misalnya saja di media sosial Twitter bisa dilihat dari komentar-komentar atas postingan tersebut.
"Apa latar belakang seseorang ini mengupload, misalnya bentuk ekspresi itu. Lalu, audiensnya itu orang per orang yang merespon konten dimaksud. Konten ini bertujuan membuat para pemirsa untuk membenci individu tertentu karena golongannya, maka respon dari komentar ini menjadi benci," katanya.
Kubu Jumhur menghadirkan Koordinator Hukum dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia (Ditjen Aptika Kominfo RI) Josua Sitompul sebagai Ahli ITE.
Dalam persidangan, banyak poin yang disampaikan oleh Ahli ITE, Josua Sitompul itu. Misalnya saja, media sosial Twitter itu termasuk bagian dari saluran penyampaian ekspresi ataupun kritik seseorang dalam bentuk apa pun. Lalu, tak ada semacam penyaring konten di media sosial tersebut.
Namun, ada mekanisme untuk dilakukan takedown pada konten, khususnya konten negatif. "Di Indonesia ada Kominfo yang melakukan penilaian apakah konten itu sesuai dengan standarnya, tapi prosedurnya itu report dan dilaporkan ke Kominfo dan Twitter akan takedown," ujarnya di persidangan, Kamis (20/5/2021).
Josua juga membicarakan tentang unsur Pasal 28 UU ITE, yang terkait unsur kebencian itu sejatinya harus dibuktikan ada tidaknya niat untuk menyebarkan kebencian tersebut, khususnya terkait individu, agama, golongan, atau ras. Lalu, harus pula dilihat ada tidaknya masyarakat dimaksud.
Dia lantas ditanya pendapatnya tentang pimpinan buruh yang menyampaikan pendapat melalui medsos dikaitkan dengan Pasal 28 UU ITE. Dia menjawab, tentunya itu harus berkaitan dengan hak WNI. Setiap WNI memiliki hak dan kebebasan berekspresi dan berpendapat, hanya saja tak boleh sampai menimbulkan kebencian.
Josua lantas ditanya pendapatnya bila ada orang yang menyatakan undang-undang X untuk melindungi primitif investor dari RRC. Dia menilai, kata buruh, investor, negara, ataupun pemerintah bukanlah termasuk dalam suku, agama, dan golongan.
Sebabnya, buruh dan investor merupakan jenis pekerjaan, negara atau pemerintah merupakan penguasa dan itu bukanlah golongan, sedangkan golongan itu ada di dalam masyarakat umum. Adapun terkait golongan itu harus jelas dan detail, misal masyarakat RT 11 dan RW 07.
Dia lalu ditanya berkaitan Pasal 28 ayat 2 m, apakah rasa kebencian harus dibuktikan dahulu. Dia menilai, tujuan seseorang dalam menyebarkan kebencian dan rasa takut pada individu tertentu memang harus dibuktikan dahulu, misalnya saja di media sosial Twitter bisa dilihat dari komentar-komentar atas postingan tersebut.
"Apa latar belakang seseorang ini mengupload, misalnya bentuk ekspresi itu. Lalu, audiensnya itu orang per orang yang merespon konten dimaksud. Konten ini bertujuan membuat para pemirsa untuk membenci individu tertentu karena golongannya, maka respon dari komentar ini menjadi benci," katanya.
(zik)