Setelah lama ditunggu akhirnya Presiden Jokowi buka suara tentang TWK alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN, termasuk ada penyidik senior Novel Baswedan. Foto/SINDOnews/Ilustrasi
AAA
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menyatakan, setelah lama ditunggu akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara tentang Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN, termasuk di dalamnya penyidik senior Novel Baswedan.
Menurutnya, sekalipun ada ketidakakuratan, tapi pernyataan presiden ini adalah rem bagi pimpinan KPK untuk tidak melakukan pemberhentian terhadap 75 pegawai dimaksud.
"Sebab, secara logika, kelanjutan penonaktifan itu adalah pemberhentian. Jadi pernyataan presiden ini merupakan rem atas kemungkinan lanjutan kehendak pimpinan KPK untuk memberhentikan mereka," tutur Ray.
Kedua lanjut dia, penonaktifan yang dilakukan oleh pimpinan KPK terhadap 75 pegawai tersebut memang ganjil. Selain sejak awal dasar dari tes yang merupakan dasar penonaktifan mereka tidak jelas, penonaktifan ini sendiri tidak memiliki dasar aturan.
Lazimnya penonaktifan staf dapat dilakukan karena tidak dapat melaksanakan tugas, melakukan kesalahan etik atau kekeliruan professional, atau melakukan pembangkangan.
Dia melihat, tak satupun dari tiga faktor di atas tidak ditemukan dalam kasus penonaktifan 75 pegawai dimaksud. Jika karena alasan mereka tidak lolos dalam uji wawasan kebangsaan, maka keputusannya hanya dua yakni, memberhentikan atau membina mereka. Maka pilihan penonaktifan itu merupakan kekeliruan lanjutan atas kekeliruan sebelumnya.
"Semestinya, uji wawasan kebangsaan dalam rangka memenuhi persyaratan ASN, dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kemen PAN RB. Institusi inilah yang semestinya pemegang hak untuk menguji apakah seseorang lolos jadi ASN atau tidak. Tes di KPK tidak didasarkan oleh aturan Kemen PAN RB tapi hanya didasarkan oleh SK KPK," ungkap Ray.
"Sesuai dengan UU, staf KPK itu berada di bawah pemerintah, dan KPK sendiri adalah lembaga eksekutif yang berada di bawah presiden, maka aneh status ASN nya ditentukan sendiri oleh KPK, bukan Men PAN RB. Dalam hal ini, pernyataan presiden agar Men PAN RB, tentu bersama KPK, segera mengambilalih status 75 pegawai KPK sudah tepat. Men PAN RB lah yang paling tepat memastikan peralihan status staf KPK jadi ASN," sambung mantan aktivis 98 itu.
Keempat kata Ray, dengan pernyataan Jokowi itu maka pimpinan KPK agar segera mencabut SK penonaktifan 75 staf KPK yang sebelumnya dan menyatakan bahwa hasil uji wawasan kebangsaan dinyatakan tidak dapat jadi sandaran menetapkan status staf KPK ingin jadi ASN atau tidak.
Selain itu, seluruh kasus yang mereka tangani sebelum dinonaktifkan, lalu diambilalih oleh pimpinan KPK, sudah seharusnya diserahkan kembali kepada mereka agar seluruh kasus itu dapat dilanjutkan sampai ada keputusan pemerintah atas status ASN mereka.
Kelima, tutur Ray, seluruh pimpinan KPK bersama satu anggota Dewan Pengawas agar meminta maaf atas kekeliruan yang terjadi. Tindakan mereka telah membuat keributan yang tidak perlu di tengah bangsa ini menghadapi persoalan serius berupa virus Corona dan korupsi yang merajalela.
Keriuhan ini juga berpotensi memperlambat penyelesaian kasus-kasus yang ditangani KPK, khususnya yang mendapat perhatian luas masyarakat seperti kasus Bansos, benur, dan suap penyidik KPK.
eenam, sambung dia, agar presiden benar-benar memastikan bahwa proses peralihan status ASN staf KPK tidak berlarut-larut. Sesuai arahan presiden yang didasarkan pada putusan MK bahwa peralihan status staf KPK tidak boleh merugikan staf KPK.
"Karena peralihan itu bukan kehendak mereka, tapi kehendak pembuat UU. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi disuguhkan dengan peristiwa seperti keinginan presiden untuk melakukan revisi UU ITE yang kenyataannya sampai sekarang kembali senyap. Mudah-mudahan pernyataan presiden ini tidak mengulang kasus revisi UU ITE," pungkasnya.