Kebangkitan Raksasa Tidur 'Sport Tourism'
loading...
A
A
A
Agus Kristiyanto
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga dari FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pengurus Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (APKORI), dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI)
TEMA relevan yang layak diulik bersama dalam momentum refleksi Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2021 adalah tentang pariwisata olahraga (sport tourism). Pasalnya, pariwisata olahraga sejak zaman dahulu kala telah diyakini banyak pihak sebagai “raksasa yang (masih) sedang tidur”. Sebuah potensi superbesar yang belum terbangun sebagaimana mestinya sebagai keunggulan yang bernilai kemasyarakatan dan kebangsaan. Terdapat berbagai kendala, kekurangberanian, dan cara pandang yang belum kompak untuk membangunkannya.
Energi keberanian untuk membangunkannya dihadirkan tatkala dalam peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2020 pemerintah mencanangkan tema sport science, sport tourism, dan sport industry. Tema tersebut menjadi sebuah pemantik energi nasional yang harapannya akan mengakselerasi ikhtiar untuk membangunkan “raksasa tidur”, bahkan untuk membangkitkannya.
Terdapat setidaknya tiga aksi yang telah dimulai setelah itu, yakni: pertama, nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perihal quick wins sport tourism untuk tiga tahun ke depan. Kedua, penyusunan grand design olahraga nasional (desain besar olahraga nasional) yang secara tersurat juga mendesain ranah pengembangan sport tourism melalui blue print keolahragaan secara simultan dan progresif. Ketiga, penuangan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Perubahan RUU tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang bergulir pada Prolegnas 2020 dan masih berlanjut pada 2021.
Kendala dan Tantangan Mendasar
Seluruh komponen bangsa berekspektasi besar melihat keberhasilan aneka upaya dan formula yang sedang diracik untuk membangkitkan sport tourism tersebut. Meski demikian, perwujudan keberhasilannya tentu juga harus dibarengi dengan “kekompakan”. Kesatupadanan seluruh komponen bangsa yang direpresentasikan oleh pentahelix keolahragaan untuk membangun mindset positif secara kolektif. Pentahelix meliputi unsur lengkap, yakni birokrasi, akademisi, pengusaha, komunitas olahraga, dan media. Mindset positif harus dikampanyekan sebagai bentuk kampanye literasi publik dan kampanye eliminasi kendala dasar di masyarakat tentang sport tourism.
Kampanye untuk eliminasi kendala dasar perlu dilakukan karena selama ini terdapat berbagai mindset yang “kurang lurus” yang masih subur bersemayam di masyarakat. Pertama, olahraga merupakan ranah yang sangat berbeda dengan pariwisata dan industri. Olahraga secara pure diposisikan dalam ranah sosial, sementara pariwisata dan industri lebih sebagai sesuatu yang berada di zona bisnis. Terdapat pertimbangan prinsip yang “kurang sreg” ketika keduanya harus dikawinkan dalam bentuk sport tourism.
Kedua, olahraga dipahami sebagai bentuk perhelatan perlombaan dan pertandingan cabang olahraga maupun nomor-nomor olympic games yang sebaiknya lebih fokus saja pada latihan-latihan keras untuk mencapai prestasi, pemecahan rekor, mendulang medali, dan perbaikan peringkat. Sport tourism dianggap sebagai aktivitas sampingan yang tidak boleh secara serta-merta menjadi perencanaan inti dari sebuah penyelenggaraan event olahraga, baik single event maupun multievent.
Ketiga, para pelaku pariwisata olahraga existingfaktanya tidak banyak yang memiliki magnet cerita dan citra sukses karena mereka belum dipersiapkan secara sistematis dan sistemik. Pada umumnya mereka adalah para “pekerja dadakan” sektor nonformal yang memanfaatkan event untuk sekadar mengais rezeki, bukan mendulang rezeki. Artinya, ada aksi gagah dari pemerintah yang perlu segera dihadirkan untuk memberikan layanan dalam bentuk; pemberdayaan, pendampingan, dan advokasi pada sektor riil sport tourism.
Keempat, sebagaimana jenis pariwisata yang lainnya, sport tourism berhubungan dengan mobilitas orang secara fisik yang pada saat sekarang ini terkendala keleluasaannya. Protokol kesehatan yang masih ketat wajib diberlakukan seiring dengan pandemi Covid-19 yang belum bisa dikendalikan secara maksimal. Kendati demikian, sepaket dengan program umum pariwisata nasional telah berhasil disusun panduan CHSE, yakni: Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan). Pertanyaan kritisnya, persoalan disiplin dan taat asas biasanya menjadi tantangan tersendiri di lapangan.
Peluang Emas “Sport Tourism”
Di balik kendala dan tantangan pengembangan yang dimaksud di atas, terdapat peluang emas dalam menyukseskan kebangkitan “raksasa tidur” sport tourism. Pertama, tekanan pandemi Covid-19 melahirkan sikap positif kolektif masyarakat tentang arti pentingnya nilai sehat secara jasmaniah, mental, dan sosial. Sport tourism menjadi sebuah orientasi karena memiliki nilai untuk perbaikan imunitas secara multidimensional. Mengintegrasikan secara dinamis opsi untuk perbaikan kesehatan secara fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Pembebasan dari kemungkinan parah karena “terpapar” dalam dimensi kesehatan, sekaligus menjauhkan dari kondisi buruk “terkapar” secara ekonomi.
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga dari FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pengurus Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (APKORI), dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI)
TEMA relevan yang layak diulik bersama dalam momentum refleksi Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2021 adalah tentang pariwisata olahraga (sport tourism). Pasalnya, pariwisata olahraga sejak zaman dahulu kala telah diyakini banyak pihak sebagai “raksasa yang (masih) sedang tidur”. Sebuah potensi superbesar yang belum terbangun sebagaimana mestinya sebagai keunggulan yang bernilai kemasyarakatan dan kebangsaan. Terdapat berbagai kendala, kekurangberanian, dan cara pandang yang belum kompak untuk membangunkannya.
Energi keberanian untuk membangunkannya dihadirkan tatkala dalam peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2020 pemerintah mencanangkan tema sport science, sport tourism, dan sport industry. Tema tersebut menjadi sebuah pemantik energi nasional yang harapannya akan mengakselerasi ikhtiar untuk membangunkan “raksasa tidur”, bahkan untuk membangkitkannya.
Terdapat setidaknya tiga aksi yang telah dimulai setelah itu, yakni: pertama, nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perihal quick wins sport tourism untuk tiga tahun ke depan. Kedua, penyusunan grand design olahraga nasional (desain besar olahraga nasional) yang secara tersurat juga mendesain ranah pengembangan sport tourism melalui blue print keolahragaan secara simultan dan progresif. Ketiga, penuangan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Perubahan RUU tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang bergulir pada Prolegnas 2020 dan masih berlanjut pada 2021.
Kendala dan Tantangan Mendasar
Seluruh komponen bangsa berekspektasi besar melihat keberhasilan aneka upaya dan formula yang sedang diracik untuk membangkitkan sport tourism tersebut. Meski demikian, perwujudan keberhasilannya tentu juga harus dibarengi dengan “kekompakan”. Kesatupadanan seluruh komponen bangsa yang direpresentasikan oleh pentahelix keolahragaan untuk membangun mindset positif secara kolektif. Pentahelix meliputi unsur lengkap, yakni birokrasi, akademisi, pengusaha, komunitas olahraga, dan media. Mindset positif harus dikampanyekan sebagai bentuk kampanye literasi publik dan kampanye eliminasi kendala dasar di masyarakat tentang sport tourism.
Kampanye untuk eliminasi kendala dasar perlu dilakukan karena selama ini terdapat berbagai mindset yang “kurang lurus” yang masih subur bersemayam di masyarakat. Pertama, olahraga merupakan ranah yang sangat berbeda dengan pariwisata dan industri. Olahraga secara pure diposisikan dalam ranah sosial, sementara pariwisata dan industri lebih sebagai sesuatu yang berada di zona bisnis. Terdapat pertimbangan prinsip yang “kurang sreg” ketika keduanya harus dikawinkan dalam bentuk sport tourism.
Kedua, olahraga dipahami sebagai bentuk perhelatan perlombaan dan pertandingan cabang olahraga maupun nomor-nomor olympic games yang sebaiknya lebih fokus saja pada latihan-latihan keras untuk mencapai prestasi, pemecahan rekor, mendulang medali, dan perbaikan peringkat. Sport tourism dianggap sebagai aktivitas sampingan yang tidak boleh secara serta-merta menjadi perencanaan inti dari sebuah penyelenggaraan event olahraga, baik single event maupun multievent.
Ketiga, para pelaku pariwisata olahraga existingfaktanya tidak banyak yang memiliki magnet cerita dan citra sukses karena mereka belum dipersiapkan secara sistematis dan sistemik. Pada umumnya mereka adalah para “pekerja dadakan” sektor nonformal yang memanfaatkan event untuk sekadar mengais rezeki, bukan mendulang rezeki. Artinya, ada aksi gagah dari pemerintah yang perlu segera dihadirkan untuk memberikan layanan dalam bentuk; pemberdayaan, pendampingan, dan advokasi pada sektor riil sport tourism.
Keempat, sebagaimana jenis pariwisata yang lainnya, sport tourism berhubungan dengan mobilitas orang secara fisik yang pada saat sekarang ini terkendala keleluasaannya. Protokol kesehatan yang masih ketat wajib diberlakukan seiring dengan pandemi Covid-19 yang belum bisa dikendalikan secara maksimal. Kendati demikian, sepaket dengan program umum pariwisata nasional telah berhasil disusun panduan CHSE, yakni: Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan). Pertanyaan kritisnya, persoalan disiplin dan taat asas biasanya menjadi tantangan tersendiri di lapangan.
Peluang Emas “Sport Tourism”
Di balik kendala dan tantangan pengembangan yang dimaksud di atas, terdapat peluang emas dalam menyukseskan kebangkitan “raksasa tidur” sport tourism. Pertama, tekanan pandemi Covid-19 melahirkan sikap positif kolektif masyarakat tentang arti pentingnya nilai sehat secara jasmaniah, mental, dan sosial. Sport tourism menjadi sebuah orientasi karena memiliki nilai untuk perbaikan imunitas secara multidimensional. Mengintegrasikan secara dinamis opsi untuk perbaikan kesehatan secara fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Pembebasan dari kemungkinan parah karena “terpapar” dalam dimensi kesehatan, sekaligus menjauhkan dari kondisi buruk “terkapar” secara ekonomi.