Kebangkitan Raksasa Tidur 'Sport Tourism'

Selasa, 18 Mei 2021 - 05:30 WIB
loading...
Kebangkitan Raksasa Tidur Sport Tourism
Agus Kristiyanto (Foto: Istimewa)
A A A
Agus Kristiyanto
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga dari FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pengurus Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (APKORI), dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI)

TEMA relevan yang layak diulik bersama dalam momentum refleksi Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2021 adalah tentang pariwisata olahraga (sport tourism). Pasalnya, pariwisata olahraga sejak zaman dahulu kala telah diyakini banyak pihak sebagai “raksasa yang (masih) sedang tidur”. Sebuah potensi superbesar yang belum terbangun sebagaimana mestinya sebagai keunggulan yang bernilai kemasyarakatan dan kebangsaan. Terdapat berbagai kendala, kekurangberanian, dan cara pandang yang belum kompak untuk membangunkannya.

Energi keberanian untuk membangunkannya dihadirkan tatkala dalam peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2020 pemerintah mencanangkan tema sport science, sport tourism, dan sport industry. Tema tersebut menjadi sebuah pemantik energi nasional yang harapannya akan mengakselerasi ikhtiar untuk membangunkan “raksasa tidur”, bahkan untuk membangkitkannya.

Terdapat setidaknya tiga aksi yang telah dimulai setelah itu, yakni: pertama, nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perihal quick wins sport tourism untuk tiga tahun ke depan. Kedua, penyusunan grand design olahraga nasional (desain besar olahraga nasional) yang secara tersurat juga mendesain ranah pengembangan sport tourism melalui blue print keolahragaan secara simultan dan progresif. Ketiga, penuangan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Perubahan RUU tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang bergulir pada Prolegnas 2020 dan masih berlanjut pada 2021.

Kendala dan Tantangan Mendasar
Seluruh komponen bangsa berekspektasi besar melihat keberhasilan aneka upaya dan formula yang sedang diracik untuk membangkitkan sport tourism tersebut. Meski demikian, perwujudan keberhasilannya tentu juga harus dibarengi dengan “kekompakan”. Kesatupadanan seluruh komponen bangsa yang direpresentasikan oleh pentahelix keolahragaan untuk membangun mindset positif secara kolektif. Pentahelix meliputi unsur lengkap, yakni birokrasi, akademisi, pengusaha, komunitas olahraga, dan media. Mindset positif harus dikampanyekan sebagai bentuk kampanye literasi publik dan kampanye eliminasi kendala dasar di masyarakat tentang sport tourism.

Kampanye untuk eliminasi kendala dasar perlu dilakukan karena selama ini terdapat berbagai mindset yang “kurang lurus” yang masih subur bersemayam di masyarakat. Pertama, olahraga merupakan ranah yang sangat berbeda dengan pariwisata dan industri. Olahraga secara pure diposisikan dalam ranah sosial, sementara pariwisata dan industri lebih sebagai sesuatu yang berada di zona bisnis. Terdapat pertimbangan prinsip yang “kurang sreg” ketika keduanya harus dikawinkan dalam bentuk sport tourism.

Kedua, olahraga dipahami sebagai bentuk perhelatan perlombaan dan pertandingan cabang olahraga maupun nomor-nomor olympic games yang sebaiknya lebih fokus saja pada latihan-latihan keras untuk mencapai prestasi, pemecahan rekor, mendulang medali, dan perbaikan peringkat. Sport tourism dianggap sebagai aktivitas sampingan yang tidak boleh secara serta-merta menjadi perencanaan inti dari sebuah penyelenggaraan event olahraga, baik single event maupun multievent.

Ketiga, para pelaku pariwisata olahraga existingfaktanya tidak banyak yang memiliki magnet cerita dan citra sukses karena mereka belum dipersiapkan secara sistematis dan sistemik. Pada umumnya mereka adalah para “pekerja dadakan” sektor nonformal yang memanfaatkan event untuk sekadar mengais rezeki, bukan mendulang rezeki. Artinya, ada aksi gagah dari pemerintah yang perlu segera dihadirkan untuk memberikan layanan dalam bentuk; pemberdayaan, pendampingan, dan advokasi pada sektor riil sport tourism.

Keempat, sebagaimana jenis pariwisata yang lainnya, sport tourism berhubungan dengan mobilitas orang secara fisik yang pada saat sekarang ini terkendala keleluasaannya. Protokol kesehatan yang masih ketat wajib diberlakukan seiring dengan pandemi Covid-19 yang belum bisa dikendalikan secara maksimal. Kendati demikian, sepaket dengan program umum pariwisata nasional telah berhasil disusun panduan CHSE, yakni: Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan). Pertanyaan kritisnya, persoalan disiplin dan taat asas biasanya menjadi tantangan tersendiri di lapangan.

Peluang Emas “Sport Tourism”
Di balik kendala dan tantangan pengembangan yang dimaksud di atas, terdapat peluang emas dalam menyukseskan kebangkitan “raksasa tidur” sport tourism. Pertama, tekanan pandemi Covid-19 melahirkan sikap positif kolektif masyarakat tentang arti pentingnya nilai sehat secara jasmaniah, mental, dan sosial. Sport tourism menjadi sebuah orientasi karena memiliki nilai untuk perbaikan imunitas secara multidimensional. Mengintegrasikan secara dinamis opsi untuk perbaikan kesehatan secara fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Pembebasan dari kemungkinan parah karena “terpapar” dalam dimensi kesehatan, sekaligus menjauhkan dari kondisi buruk “terkapar” secara ekonomi.

Kedua, dari sisi payung yuridis. Olahraga telah tertuang dalam Undang-Undang Kepariwisataan. Pariwisata pun tertuang dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan (apalagi dalam perubahan RUU yang sedang dalam proses). Proses legal drafting telah mengakomodasi dari berbagai dimensi telaah bahwa sport tourism adalah penting dan dibutuhkan bangsa ini sebagai sebuah keniscayaan. Dalam konsep sport tourism, yang dikedepankan adalah prinsip simbiosis mutualisme antara olahraga dan pariwisata. Sebuah simbiosis agar saling membesarkan dan saling menguntungkan.Sport tourism memiliki fungsi hereditas yang tentu saja mewarisi sifat keolahragaan (terutama olahraga rekreasi) dan sifat kepariwisataan (terutama wisata minat khusus).
Ketiga, membangkitkan “raksasa tidur” sport tourism terkait dengan ikhtiar sistematis meramu potensinya, memformulasikan nilai keberlanjutannya, serta meningkatkan daya saingnya. Wilayah sport tourism merupakan “wilayah kerja” lintas-sektoral yang setiap pihak pada zona keolahragaan maupun zona kepariwisataan dipersilakan untuk menjadi leading sector melalui kepeloporan ide-ide kreatif dan inovatifnya. Keberhasilan event berskala dunia seperti: “Borobudur Marathon”, “Tour de Singkarak”, atau “Sail of Banda”, dan lainnya merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki banyak kekayaan luar biasa yang masih tersimpan untuk pengembangan daya saing sport tourism ke depan.

Keempat, terdapat benang merah penghubung yang menjadikan olahraga sangat mudah dikawinkan dengan pariwisata., yakni dari sisi fungsi rekreatifnya. Tanpa bermaksud meniadakan keterkaitan pilar olahraga prestasi dan pilar olahraga pendidikan dengan pariwisata, maka pilar olahraga rekreasi ibarat sebuah “USB port” yang memberikan efek konektivitas sangat kuat dengan pariwisata. Esensi olahraga rekreasi menjadi sesuatu yang telah mapan untuk menjadi titik tumpu yang kukuh, bukan sekadar demi untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Lebih dari itu, olahraga rekreasi dalam konstelasi sport tourism menjadi mesin pembangkit nilai kesejahteraan olahraga, yakni nilai kesehatan, nilai perdamaian, dan nilai kemakmuran.
Kelima, meramu potensi olahraga rekreasi secara lintas sektoral menjadi peluang tersendiri di waktu kini dan mendatang. Awalnya bertumpu pada prinsip massal, mudah, murah, dan meriah untuk menimbulkan kesenangan rekreatif secara positif melalui aktivitas fisik dan bermain. Kemudian secara kreatif dimodifikasi dengan memadukan pesona destinasi budaya maupun alam. Transformasi progresif dilakukan untuk memetamorfosiskan kebutuhan rekreasi mikroperorangan menuju skala makrokebangsaan. Komodifikasi olahraga pun perlu dilakukan dengan cermat, tetapi harus dengan “berani” karena keberanian selalu perlu dihadirkan untuk membuat perubahan yang lebih baik.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam beberapa kesempatan pun menyampaikan informasi optimistis tentang sport tourism. Dia menyebutkan pertumbuhan pasar wisata olahraga mencapai USD1,3 triliun atau sekitar Rp18.790 triliun hingga 2024 (angka diolah dari berbagai sumber). Artinya, di samping memfasilitasi pencapaian tujuan pembangunan olahraga, sport tourism berkontribusi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

Bangkit dan bangunnya “raksasa tidur” tidak selalu berarti berkonotasi monster menakutkan sebagaimana gambaran Godzila, Kingkong, atau T-Rex dalam film. Tapi, kebangkitan “raksasa tidur” sport tourism justru adalah bangkitnya energi besar kebangsaan untuk realisasi langkah eksis Negara Kesejahteraan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1292 seconds (0.1#10.140)