74 Guru Besar Minta Batalkan Pemberhentian 75 Pegawai KPK, Berikut Nama-namanya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 74 guru besar dari berbagai disiplin ilmu dan lintas universitas mendesak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membatalkan penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Menurut guru besar antikorupsi itu, TWK yang digelar untuk keperluan alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) memiliki problematika serius. Penonaktifan 75 pegawai KPK atas dasar tidak lolos TWK dinilai bertentangan dengan hukum dan etika publik.
Perwakilan Guru Besar Antikorupsi, Prof Sigit Riyanto mengatakan, penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK bertentangan dengan pemaknaan alih status. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi UU KPK menegaskan bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK.
"Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan begitu saja oleh pimpinan KPK dengan tetap memasukkan secara paksa konsep TWK ke dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021," kata Sigit melalui keterangan persnya, Minggu (16/5/2021).
Dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 disampaikan bahwa pegawai dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan. Keputusan ini dinilai bertolak belakang dengan pemaknaan alih status, melainkan sudah masuk pada ranah pemberhentian oleh pimpinan KPK. Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala.
Tidak hanya itu, lanjut Sigit, substansi TWK juga memunculkan kecurigaan, khususnya dalam konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara. Secara umum menurut pandangan guru besar apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi.
"Jadi, dapat disimpulkan bahwa TWK ini tidak tepat jika dijadikan syarat untuk mengangkat pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Semestinya proses alih status ini dapat berjalan langsung, tanpa ada seleksi tertentu sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan," terang Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini.
Terlebih lagi, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan telah memiliki rekam jejak panjang dalam upaya penindakan maupun pencegahan korupsi. Misalnya, dalam hal masa kerja, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan bahkan tercatat sudah bergabung sejak lembaga antirasuah itu berdiri atau sekitar tahun 2003 lalu.
Menurut guru besar antikorupsi itu, TWK yang digelar untuk keperluan alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) memiliki problematika serius. Penonaktifan 75 pegawai KPK atas dasar tidak lolos TWK dinilai bertentangan dengan hukum dan etika publik.
Perwakilan Guru Besar Antikorupsi, Prof Sigit Riyanto mengatakan, penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK bertentangan dengan pemaknaan alih status. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi UU KPK menegaskan bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK.
"Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan begitu saja oleh pimpinan KPK dengan tetap memasukkan secara paksa konsep TWK ke dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021," kata Sigit melalui keterangan persnya, Minggu (16/5/2021).
Dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 disampaikan bahwa pegawai dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan. Keputusan ini dinilai bertolak belakang dengan pemaknaan alih status, melainkan sudah masuk pada ranah pemberhentian oleh pimpinan KPK. Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala.
Tidak hanya itu, lanjut Sigit, substansi TWK juga memunculkan kecurigaan, khususnya dalam konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara. Secara umum menurut pandangan guru besar apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi.
"Jadi, dapat disimpulkan bahwa TWK ini tidak tepat jika dijadikan syarat untuk mengangkat pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Semestinya proses alih status ini dapat berjalan langsung, tanpa ada seleksi tertentu sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan," terang Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini.
Terlebih lagi, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan telah memiliki rekam jejak panjang dalam upaya penindakan maupun pencegahan korupsi. Misalnya, dalam hal masa kerja, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan bahkan tercatat sudah bergabung sejak lembaga antirasuah itu berdiri atau sekitar tahun 2003 lalu.