Gara-gara TNI Dikepung Debt Collector, Ketua MPR Minta Polisi Juga Tindak Leasing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi langkah tegas Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran serta aparat gabungan TNI-Polri yang menangkap 11 orang debt collector yang melakukan aksi premanisme dengan mengepung mobil yang dikendarai anggota TNI Serda Nurhadi di Koja, Jakarta Utara.
Bamsoet juga meminta kepolisian menindak tegas oknum PT ACK dan meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sanksi berat kepada perusahaan leasing Clipan Finance sesuai kewenangan yang diberikan negara kepada OJK.
Hal tersebut harus menjadi pelajaran, tidak saja bagi para debt collector tapi juga bagi perusahaan leasing lainnya agar tidak seenaknya bertindak. Terlebih tindakan pengambilan paksa kendaraan bisa dijerat Pasal 362 dan/atau Pasal 365 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP).
"Debt collector tidak memiliki landasan hukum dan kewenangan untuk menarik kendaraan debitur secara paksa. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, menegaskan bahwa perusahaan pemberi kredit (leasing) atau kuasanya (debt collector) tidak bisa mengeksekusi objek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan atau rumah secara sepihak. Polisi harus menindak tegas aksi premanisme debt collector yang nekat mengambil paksa kendaraan debitur secara sepihak," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menjelaskan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, diatur kreditur atau kuasanya (debt collector) harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik objek jaminan fidusia. Mereka juga tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanpretasi.
"Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror yang disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur," jelasnya.
Mantan Ketua DPR ini menambahkan, debt collector yang menyita sepihak atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, dapat dilaporkan ke polisi. Perbuatannya bisa dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka juga bisa dijerat dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP.
"Kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap debt collector punya peran besar menegakan etika penagihan. Antara lain dilarang memaki, dilarang menggunakan ancaman/kekerasan/mempermalukan, tidak menagih kepada pihak yang tidak berhutang walaupun itu adalah keluarga debitur, serta tidak menagih di luar jam kerja yang bisa mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat," pungkas politikus Partai Golkar itu.
Bamsoet juga meminta kepolisian menindak tegas oknum PT ACK dan meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sanksi berat kepada perusahaan leasing Clipan Finance sesuai kewenangan yang diberikan negara kepada OJK.
Hal tersebut harus menjadi pelajaran, tidak saja bagi para debt collector tapi juga bagi perusahaan leasing lainnya agar tidak seenaknya bertindak. Terlebih tindakan pengambilan paksa kendaraan bisa dijerat Pasal 362 dan/atau Pasal 365 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP).
"Debt collector tidak memiliki landasan hukum dan kewenangan untuk menarik kendaraan debitur secara paksa. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, menegaskan bahwa perusahaan pemberi kredit (leasing) atau kuasanya (debt collector) tidak bisa mengeksekusi objek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan atau rumah secara sepihak. Polisi harus menindak tegas aksi premanisme debt collector yang nekat mengambil paksa kendaraan debitur secara sepihak," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menjelaskan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, diatur kreditur atau kuasanya (debt collector) harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik objek jaminan fidusia. Mereka juga tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanpretasi.
"Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror yang disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur," jelasnya.
Mantan Ketua DPR ini menambahkan, debt collector yang menyita sepihak atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, dapat dilaporkan ke polisi. Perbuatannya bisa dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka juga bisa dijerat dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP.
"Kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap debt collector punya peran besar menegakan etika penagihan. Antara lain dilarang memaki, dilarang menggunakan ancaman/kekerasan/mempermalukan, tidak menagih kepada pihak yang tidak berhutang walaupun itu adalah keluarga debitur, serta tidak menagih di luar jam kerja yang bisa mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat," pungkas politikus Partai Golkar itu.
(muh)