BPIP Dorong Pancasila Masuk Kurikulum Pendidikan Dasar hingga Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Rikard Bagun berharap Pancasila bisa masuk kurikulum pendidikan dasar sampai tinggi. Selain penting untuk membangun karakter bangsa, Pancasila ampuh membentengi milenial dari efek buruk digitalisasi.
Hal itu disampaikan Rikard saat menjadi pembicara kunci diskusi virtual 'Pancasila dalam Kurikulum' yang digelar Gen Indonesia, Senin (3/5/2021). Hadir pula Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, Kepala Balitbang Kemendikbudristek Anindito Aditomo, Anggota Komisi II DPR Anwar Hafid, dan Direktur Pengkajian Materi BPIP Muhammad Sabri.
Rikard mengatakan, pendidikan diyakini selama berabad-abad sebagai sistem terbaik untuk mendorong internalisasi nilai. Sementara Pancasila menumbuhkan kepribadian warga Indonesia yang khas, yakni semangat gotong royong, kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan ketuhanan.
"Apalagi Pancasila sebagai dasar atau filsafat negara. Kalau digeser, ini akan mengguncang hebat hingga eksistensi bangsa akan dipertaruhkan," ujarnya.
Mantan wartawan ini yakin Pancasila diperlukan generasi milenial dalam menghadapi benturan digital. Di satu sisi teknologi digital bermanfaat bagi kemajuan,di sisi lain juga menghasilkan hoaks, fake news, dan ujaran kebencian yang masif.
"Jika tidak dibekali dengan wawasan kebangsaan, efek buruk digital itu menghasilkan disorientasi dan perpecahan," katanya.
Lantas bagaimana Pancasila diajarkan? Rikard menilai sebelumnya ada kesan Pancasila hanya hafalan. Kalau tak hafal, tak bisa lulus. "Dialog bukan monolog. Dengan dialog akan merangsang pemikiran melahirkan sintesa. Sehingga ilmu pengetahuan akan berkembang," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, hampir semua fraksi mendukung Pancasila masuk kurikulum. Apakagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuat visi 'Merdeka Belajar' yang menghasilkan Pelajar Pancasila.
Peserta didik diharapkan tak hanya berprilaku sesuai nilai Pancasila, tapi juga berkompetisi global. Sayangnya, kata dia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 yang menjadi turunan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional justru tidak memperkuat niat untuk menegaskan Pancasila di satuan-satuan pendidikan.
"Karena itu kami minta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera mengajukan draft revisi atas PP ini," kata Hetifah.
Politisi Partai Golkar ini menekankan PP turunan dari UU Sisdiknas itu harus memasukkan secara eksplisit pendidikan Pancasila. "Rabu ini kami akan rapat dengan mas Menteri (Nadiem Makariem), dan akan menanyakan soal ini," ujarnya.
Langkah Komisi X DPR itu diapresiasi Direktur Pengkajian Materi BPIP M Sabri. Memang perlu penguatan institusional terkait pendidikan Pancasila. BPIP sendiri, saat ini tengah melakukan penyusunan bahan ajar pendidikan Pancasila dari PAUD sampai pendidikan tinggi.
"Insya Allah per 1 Juni nanti bahan ajar ini akan kami luncurkan dan diskusikan," katanya.
Dia memastikan bahan ajar versi BPIP itu tidak menggunakan pendekatan hafalan atau monolog. Melainkan dialog dan variatif yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan. "Nilai Pancasila itu sangat dekat dengan kehidupan. Jadi tidak perlu berpikir besar soal nilai Pancasila. Karena nilai-nilai itu bisa tumbuh dari tokoh lokal atau tokoh agama di sekitar kita," ucapnya. (CM)
Hal itu disampaikan Rikard saat menjadi pembicara kunci diskusi virtual 'Pancasila dalam Kurikulum' yang digelar Gen Indonesia, Senin (3/5/2021). Hadir pula Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, Kepala Balitbang Kemendikbudristek Anindito Aditomo, Anggota Komisi II DPR Anwar Hafid, dan Direktur Pengkajian Materi BPIP Muhammad Sabri.
Rikard mengatakan, pendidikan diyakini selama berabad-abad sebagai sistem terbaik untuk mendorong internalisasi nilai. Sementara Pancasila menumbuhkan kepribadian warga Indonesia yang khas, yakni semangat gotong royong, kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan ketuhanan.
"Apalagi Pancasila sebagai dasar atau filsafat negara. Kalau digeser, ini akan mengguncang hebat hingga eksistensi bangsa akan dipertaruhkan," ujarnya.
Mantan wartawan ini yakin Pancasila diperlukan generasi milenial dalam menghadapi benturan digital. Di satu sisi teknologi digital bermanfaat bagi kemajuan,di sisi lain juga menghasilkan hoaks, fake news, dan ujaran kebencian yang masif.
"Jika tidak dibekali dengan wawasan kebangsaan, efek buruk digital itu menghasilkan disorientasi dan perpecahan," katanya.
Lantas bagaimana Pancasila diajarkan? Rikard menilai sebelumnya ada kesan Pancasila hanya hafalan. Kalau tak hafal, tak bisa lulus. "Dialog bukan monolog. Dengan dialog akan merangsang pemikiran melahirkan sintesa. Sehingga ilmu pengetahuan akan berkembang," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, hampir semua fraksi mendukung Pancasila masuk kurikulum. Apakagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuat visi 'Merdeka Belajar' yang menghasilkan Pelajar Pancasila.
Peserta didik diharapkan tak hanya berprilaku sesuai nilai Pancasila, tapi juga berkompetisi global. Sayangnya, kata dia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 yang menjadi turunan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional justru tidak memperkuat niat untuk menegaskan Pancasila di satuan-satuan pendidikan.
"Karena itu kami minta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera mengajukan draft revisi atas PP ini," kata Hetifah.
Politisi Partai Golkar ini menekankan PP turunan dari UU Sisdiknas itu harus memasukkan secara eksplisit pendidikan Pancasila. "Rabu ini kami akan rapat dengan mas Menteri (Nadiem Makariem), dan akan menanyakan soal ini," ujarnya.
Langkah Komisi X DPR itu diapresiasi Direktur Pengkajian Materi BPIP M Sabri. Memang perlu penguatan institusional terkait pendidikan Pancasila. BPIP sendiri, saat ini tengah melakukan penyusunan bahan ajar pendidikan Pancasila dari PAUD sampai pendidikan tinggi.
"Insya Allah per 1 Juni nanti bahan ajar ini akan kami luncurkan dan diskusikan," katanya.
Dia memastikan bahan ajar versi BPIP itu tidak menggunakan pendekatan hafalan atau monolog. Melainkan dialog dan variatif yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan. "Nilai Pancasila itu sangat dekat dengan kehidupan. Jadi tidak perlu berpikir besar soal nilai Pancasila. Karena nilai-nilai itu bisa tumbuh dari tokoh lokal atau tokoh agama di sekitar kita," ucapnya. (CM)
(ars)