Duh, Anak Indonesia Sudah Kenal Medsos Sebelum Usia Enam Tahun

Senin, 03 Mei 2021 - 05:30 WIB
loading...
Duh, Anak Indonesia Sudah Kenal Medsos Sebelum Usia Enam Tahun
Rata-rata anak Indonesia sudah dikenalkan dengan media sosial (medsos) pada usia 7 tahun, padahal platform memberi batasan minimal 13 tahun. (Ilustrasi: KORAN SINDO/Win Cahyono)
A A A
SAFA NUR, 12, tengah santai menunggu waktu berbuka puasa sembari terus menatap layar ponsel pintarnya. Dia tidak sedang belajar atau mengerjakan tugas sekolah secara daring, melainkan tengah asyik melihat foto bintang pop Korea idolanya di Instagram.

Gadis kelas 6 sekolah dasar itu memang sudah memiliki akun Instagram sendiri sejak usia 9 tahun. Awalnya hanya untuk mengedit foto ataupun video dirinya dan teman-temannya agar terlihat lucu dengan beragam stiker, GIF, dan filter unik. Namun, lama kelamaan saat Safa mulai menyukai K-Pop dan drama Korea, Instagram menjadi sumber informasi terlengkap untuk mencari tahu semua hal mengenai idolanya tersebut.

(Baca Juga: Cegah Kejahatan di Dunia Maya, Orang Tua Harus Pantau Medsos Anak )

Platform media sosial raksasa seperti YouTube, Instagram, dan Facebook memang menerapkan batas minimum usia pengguna 13 tahun. Namun, di Indonesia aturan usia minimal pengguna media sosial ini banyak dilanggar. Seperti halnya Safa, di mengaku memalsukan tahun kelahirannya saat membuat akun Instagram. Hal tersebut diakuinya juga dilakukan oleh teman-teman sekelasnya di sekolah.

Dia juga mengakui bahwa di Instagram memang banyak konten dewasa yang sering dilihatnya tanpa sengaja. Kebanyakan berasal dari akun yang mereviu drama Korea.”Suka ada spoiler adegan ciuman, tapi saya lihat sepintas saja. Kalau sedang nonton aslinya juga dicepetin, saya tertarik lihat para aktornya saja yang ganteng-ganteng,” tuturnya berterus terang, Sabtu (1/5/2021).

Meski punya akun Instagram sendiri, Safa tetap diawasi oleh dua kakak perempuannya yang kini sudah kuliah. Password Safa pun diketahui sehingga akun Instagram yang diikutinya pun tidak luput dari pengawasan sang kakak. “DM (pesan pribadi) di Instagram selalu dicek. Postingan juga enggak boleh sering-sering. Jadi, Instagram hanya untuk melihat artis Korea saja,” ujarnya menirukan pesan sang kakak.

( )

Memiliki akun media sosial kendati belum mencapai umur yang dipersyaratkan platform media sosial juga terjadi pada banyak anak-anak Indonesia lainnya. Namun, mirisnya banyak orang tua yang tidak memberikan pengawasan ketat terhadap anak. Padahal. tanpa pengawasan ketat media sosial rawan membawa dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Salah satunya anak rawan terpapar konten negatif seperti hoaks, kekerasan, pornografi, cyberbullying, dan iklan yang tidak layak ditonton anak.

Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menyebut, hasil survei yang dilakukan lembaganya menunjukkan, 79% anak diizinkan orang tua menggunakan gawai selain untuk kepentingan belajar. Dan, mayoritas anak atau 79% tidak memiliki aturan soal penggunaan gawai dengan orang tua.

( )

Survei juga menemukan mayoritas atau 98% orang tua tahu ada dampak buruk bagi anak seperti kecanduan gawai, melihat tayangan atau iklan tidak sopan, dikirimi gambar foto maupun video tidak etis. “Sayangnya, sebagian orang tua cenderung tidak mendampingi saat anak bermain gawai. Jika pun ada pendampingan, itu lebih banyak dilakukan ibu ketimbang ayah,” ujarnya saat dihubungi Sabtu (1/5/2021).

Kenal Medsos Sebelum Usia 6 Tahun
Kasus seperti Safa Nur yang sudah bisa mengakses media sosial meski umur belum mencukupi terjadi pada banyak anak lain di Indonesia. Bahkan, hasil riset menunjukkan 87% anak-anak Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun.

Hal ini terungkap melalui riset NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids oleh perusahaan riset independen berbasis kecerdasan buatan (AI), NeuroSensum. Survei ini dilakukan pada Februari 2021. Respondennya adalah 500 orang tua di empat kota besar di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Riset ini mengungkap bahwa rata-rata anak Indonesia mengenal media sosial pada usia 7 tahun. Bahkan, 54% anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini lagi, yakni sebelum 6 tahun. Pada rumah tangga berpenghasilan tinggi, hanya 34% yang mengenalkan media sosial sebelum anak mencapai usia tersebut.

( )

CEO NeuroSensum & SurveySensum Rajiv Lamba mengatakan, rata-rata para orang tua bekerja sehingga tidak ada waktu untuk menemani anak bermain sehingga media sosial pun menjadi solusi untuk menemani dan membuat anak diam di rumah, merasa anak lebih aman, meskipun tanpa harus memberi pengawasan berlebih.

Kondisi sedikit berbeda terjadi pada rumah tangga kelas menengah ke atas. Anak-anak dari kalangan ini masih bisa dihindarkan dari pengaruh media sosial sebelum waktunya lantaran memiliki kemampuan untuk membayar jasa pengasuh.

“Sehingga anak-anak di bawah usia sekolah tetap aman ada yang mengawasi dan belum dikenalkan dengan media sosial terlalu awal,” ungkap Rajiv.

Dampak positif dari anak-anak yang bermedia sosial, menurut Rajiv, adalah kemampuan mereka memproduksi suatu karya di usia dini. Terlebih lagi semasa pandemi, anak-anak tidak hanya mengonsumsi konten digital, tetapi juga semakin mahir memanfaatkan media sosial untuk membuat konten.

( )

Namun, riset NeuroSensum juga mengungkap kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang bermain medsos. Konten yang bersifat kekerasan dan seksual menjadi kekhawatiran terbesar. Hal ini menjadi perhatian besar bagi 81% orang tua. Kekhawatiran berikutnya adalah anak mengalami perundungan (bullying) di dunia maya. Ada 56% orang tua di Indonesia yang khawatir tentang hal ini.

Rajiv menjelaskan, melalui media sosial lebih besar kemungkinan anak akan melihat dan membagikan hal yang berbau kekerasan, pornografi, hingga pelecehan seksual. “Selain itu, perundungan juga akan dekat dengan anak karena siapa saja bebas berkomentar mengenai mereka di media sosial. Tidak adanya ruang privasi bagi anak juga menjadi ancaman sehingga diperlukan edukasi soal privasi ini kepada anak,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (2/5/2021).

UU Akan Batasi hingga 17 Tahun
Akses anak di bawah umur terhadap media sosial juga menjadi kekhawatiran pemerintah. Karena itu, pemerintah bersama DPR sedang merumuskan batasan usia minimal pengguna medsos. Bukan lagi 13 tahun sebagaimana dipersyaratkan platform, melainkan 17 tahun. Aturan tersebut dimasukkan ke dalam draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang saat ini masih di bahas di DPR.

Psikolog Herly Novita Sari dari Biro Psikologi Rumah Cinta Bogor mengatakan, usia anak di perkenalkan media sosial dapat dilihat dari kesiapan masing-masing individu, tidak sebatas mematok usia kronologis, tetapi ada juga yang disebut dengan usia mental atau kematangan seseorang. “Jika berpatokan pada usia di mana seseorang sudah bisa membedakan mana hal yang baik dan buruk, sebaiknya memang saat usia di atas 17 tahun,” ujarnya saat dihubungi Minggu (2/5/2021).

( )

Hal lain yang kurang disadari orang tua ketika anak mulai memiliki akun media sosial ialah menjaga privasi diri mengenai profil diri, baik foto maupun data-data seperti tanggal lahir, alamat rumah, alamat sekolah, dan lainnya. Di media sosial bentuk kejahatan dapat hadir dalam berbagai hal dan dapat melalui data-data tersebut.

“Selalu ingatkan anak untuk hati-hati dalam menggunggah mengenai profil diri. Ajarkan juga untuk mengaktifkan mode privat dan memfilter penerimaan pertemanan atau undangan grup-grup di media sosial. Selalu bertanya dan diskusi dengan orang tua jika ada hal yang mencurigakan atau orang yang tidak dikenal meminta request pertemanan,” kata Herly mengingatkan.

Bagi anak yang sudah terlanjur kecanduan media sosial, orang tua harus berupaya sungguh-sungguh untuk “mendetoksifikasi” anak. Menurutnya, sangat penting membuat kesepakatan bahwa tidak boleh menggunakan media sosial tanpa pengawasan, dan menentukan ihwal yang boleh dan yang tidak. Kemudian, lanjutnya, berikan kegiatan fisik yang lain yang dapat menjadi alternatif kegiatan misalnya latihan memanah, taekwondo, berenang, atau les musik.

( )

Herly mengingatkan orang tua jangan malas mendampingi dan mengawasi penggunaan internet anak. Password akun media sosial juga sebaiknya diketahui orang tua untuk bisa menjalankan peran pengawasan itu. “Karena ancaman cybercrime itu nyata dan benar. Kebijaksanaan dan kesabaran tentu diperlukan dalam praktiknya,” tandasnya.

Internet Sehat
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Agustina Erni mengingatkan orang tua agar bijaksana tentang kapan waktu terbaik mulai mengenalkan perangkat komunikasi kepada anak dan tidak terlalu cepat memperkenalkan media sosial pada anak di usia yang masih sangat belia.

“Sebaliknya, orang tua harus lebih aktif mengasah kecerdasan intelektual dan emosional anak dengan mengajak anak bermain sambil belajar dan mengeksplorasi alam serta lingkungan sosial di sekitar anak,” ujarnya kemarin.

Dia juga mengingatkan, ketika anak mulai diperkenalkan telepon genggam pada usia yang tepat, orang tua sebaiknya memperkenalkan perangkat tersebut sesuai fungsi utamanya, yaitu alat komunikasi misalnya untuk menelepon, SMS, messager, dan video call.

Baru setelah itu diperkenalkan pada fungsi produktivitasnya misalnya untuk melihat lokasi atau peta, kalkulator, alarm, dan lain-lain. “Terakhir, baru fungsi hiburannya misalnya YouTube, aplikasi musik, dan lain-lain,” katanya.

Media sosial disebutnya dapat memberikan dampak buruk pada anak, mulai dari berita-berita yang belum diketahui kebenarannya, hingga konflik tentang isu politik dan permasalahan lain di media sosial.

“Apalagi menjelang pemilu atau pilkada tertentu, media sosial sering menjadi arena tarung orang dewasa antarkubu politik menggunakan kalimat-kalimat yang tidak layak dibaca oleh anak seperti perundungan, cacian, makian yang sering dikaitkan isu SARA,” katanya.

( )

Untuk mengedukasi orang tua, kata Agustina, Kemen PPPA melalui Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak diakui telah mengembangkan Pusat Pembelajaran Bagi Keluarga (Puspaga). Ini merupakan layanan informasi, edukasi, dan konsultasi bagi keluarga Indonesia yang dilakukan oleh tenaga ahli untuk mendukung orang tua dalam menjalankan tanggung jawab mengasuh dan melindungi anak.

Menurutnya, ada dua jenis layanan yang dimiliki oleh Puspaga yaitu Layanan Konseling/Konsultasi dan Layanan Informasi. Dalam setiap Puspaga minimal ada satu psikolog atau konselor keluarga.

Psikolog dan konselor Puspaga diberikan rangkaian bimbingan teknis tentang berbagai materi terkait pengasuhan berdasarkan hak anak. Salah satu materi penting yang disampaikan dalam bimbingan teknis tersebut, menurut dia, adalah tentang keamanan siber.

( )

“Dengan harapan konselor dapat membantu para orang tua agar tidak tertinggal dalam hal teknologi informasi sehingga dapat memberi pengasuhan kepada anak-anaknya sesuai era digital saat ini dan dapat lebih hati-hati dalam menggunakan internet atau media sosial, khususnya kepada anak di bawah umur,” paparnya.

Kemen PPPA juga telah melakukan upaya mewujudkan informasi layak anak, di mana salah satu aspeknya adalah internet sehat bagi anak, orang tua, dan keluarga.

Selain itu, Kemen PPPA juga telah mengembangkan program Internet Aman bagi Anak (Teman bagi Anak), sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital bagi anak, orang tua, guru, dan masyarakat umum.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3895 seconds (0.1#10.140)