Pelabelan KKB di Papua Teroris Rentan Timbulkan Pelanggaran HAM Serius

Jum'at, 30 April 2021 - 14:42 WIB
loading...
Pelabelan KKB di Papua Teroris Rentan Timbulkan Pelanggaran HAM Serius
SETARA Institute mengkritisi langkah pemerintah yang menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris. FOTO/KKB /Satgas Nemangkawi
A A A
JAKARTA - SETARA Institute mengkritisi langkah pemerintah yang menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris. Tindakan ini dianggap menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam meniti resolusi konflik di Bumi Cendrawasih.

"Kebijakan pelabelan pemerintah terhadap KKB sebagai teroris menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua dan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua," kata Ketua SETARA Institute, Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (30/4/2021).

Alih-alih membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan Papua. Menurut Hendardi, tindakan ini sangat kontraproduktif dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius.

Baca juga: Hikmahanto: Kekerasan di Papua Mesti Dihadapi dengan Kekerasan

"Sama seperti penamaan KKB yang merupakan produk negara, penamaan sebagai teroris juga dilakukan oleh negara untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif dan pembenaran operasi secara masif di Papua," tuturnya.

Hendardi berpendapat, pelabelan kelompok perlawanan di Papua tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan panjang. Kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat setempat.

"Selain kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan sebagai kendala utama. Pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua," kata Hendardi.

Hendardi memaparkan, pelabelan teroris pada KKB akan menimbulkan implikasi. Pertama, pelabelan ini menutup ruang dialog Jakarta-Papua yang direkomendasikan oleh banyak pihak sabagai jalan membangun perdamaian.

Baca juga: Membedah Pernyataan Gubernur Papua Terkait Label Teroris KKB oleh Pemerintah

Kedua, meningkatnya eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua seperti terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain.

Ketiga, pelabelan terorisme membuka terjadinya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum, mengingat tidak jelasnya definisi siapa yang dinyatakan teroris.

Hendardi menyatakan, pilihan Jokowi melabeli KKB di Papua sebagai teroris dan dampak lanjutan yang akan terjadi, akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis, sebagaimana yang dijanjikannya dalam berbagai kesempatan.

"Pilihan realistis bagi Papua adalah penyelesaian secara damai dimulai dengan kesepakatan penghentian permusuhan, membangun dialog dan susun skema-skema pembangunan yang disepakati. Revisi UU Otonomi Khusus Papua bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial Papua, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat," tutur Hendardi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menetapkan KKB di Papua sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT). "Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan massif dikategorikan sebagai teroris," kata Mahfud dalam jumpa persnya, Kamis (29/4/2021).

Pemerintah meminta TNI dan Polri menindak KKB di Papua yang semakin meresahkan. Hal itu mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme. "Pemerintah sudah meminta kepada Polri TNI, BIN dan aparat terkait segera melakukan tindakan secara cepat, tegas dan terukur," ujarnya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1694 seconds (0.1#10.140)