Serap Gabah, Negara Hadir untuk Petani
loading...
A
A
A
Apakah gabah petani memiliki kadar air mendekati angka 14 %. Ataukah karena sang mentari tidak muncul karena tertutup awan, maka gabah petani itu terkategorikan ke dalam gabah basah? Inilah sebetul nya yang menarik untuk kita diskusikan. Artinya, kalau kualitas gabah petani basah, kemudian dibeli oleh Pemerintah, boleh jadi di kemudian hari bisa melahirkan masalah baru.
Kita jadi ingat terhadap program Raskin. Saat itu Perum Bulog membeli beras dengan kualitas rendah. Pada saat disimpan di gudang ternyata setelah sekian lama beras tersebut rusak dan sering di komplain oleh penerima manfaat. Jika hal ini kita lakukan lagi, maka sesungguh nya kita hanya "menggeser" masalah saja.
Namun begitu, kalau pun dipaksakan untuk dibeli, tentu kata kunci nya ada pada pengelolaan pergudangan. Kita butuh penanganan yang profesional dengan dukungan teknologi yang canggih. Untuk itu, tentu saja diperlukan dukungan anggaran yang cukup besar. Kita tahu, sekarang ini Perum Bulog sedang menghadapi likuiditas anggaran yang cukup pelik juga.
Serap gabah, di satu sisi merupakan bentuk kehadiran negara di tengah-tengah kehidupan petani, yang tampak sedang kesusahan menjual gabah di saat cuaca ekstrem. Pemerintah tentu harus mampu meringankan kesulitan petani. Pemerintah tidak boleh duduk manis menyaksikan kegundahan petani. Di sinilah kecerdasan Pemerintah untuk melahirkan solusi sangat dibutuhkan.
Kalau kalangan swasta tidak mau membeli kualitas gabah basah sesuai patokan Harga Pembelian Pemerintah, sepatut nya Pemerintah tidak ikut-ikutan bersikap seperti kalangan swasta. Pemerintah harus tampil beda. Bagaimana pun petani banyak berharap kepada Pemerintah. Petani ingin agar harga jual gabahnya, paling tidak berada pada harga diatas ongkos produksinya.
Yang pasti, mereka akan kecewa berat jika harga jual di tingkat petani anjlok dan jauh dibawah angka HPP. Petani pasti menuntut Pemerintah, agar jerih payah nya bercocok-tanam padi sekitar 100 hari itu, betul-betul dihargai oleh Pemerintah. Apalagi jika kita paham bahwa beras yang diproduksi petani ini, ujung-ujung nya akan dikonsumsi oleh orang perkotaan, yang nota bene mereka itu bukan petani.
Tinggal sekarang, bagaimana Pemerintah menentukan langkah agar kebijakan serap gabah ini, bukan cuma sekedar membeli gabah untuk kepentingan cadangan atau pun kebutuhan ketahanan pangan lain, namun juga perlu dicari solusi agar gabah yang kurang berkualitas dapat dibeli dengan harga yang tidak menyakitkan petani.
Kita jadi ingat terhadap program Raskin. Saat itu Perum Bulog membeli beras dengan kualitas rendah. Pada saat disimpan di gudang ternyata setelah sekian lama beras tersebut rusak dan sering di komplain oleh penerima manfaat. Jika hal ini kita lakukan lagi, maka sesungguh nya kita hanya "menggeser" masalah saja.
Namun begitu, kalau pun dipaksakan untuk dibeli, tentu kata kunci nya ada pada pengelolaan pergudangan. Kita butuh penanganan yang profesional dengan dukungan teknologi yang canggih. Untuk itu, tentu saja diperlukan dukungan anggaran yang cukup besar. Kita tahu, sekarang ini Perum Bulog sedang menghadapi likuiditas anggaran yang cukup pelik juga.
Serap gabah, di satu sisi merupakan bentuk kehadiran negara di tengah-tengah kehidupan petani, yang tampak sedang kesusahan menjual gabah di saat cuaca ekstrem. Pemerintah tentu harus mampu meringankan kesulitan petani. Pemerintah tidak boleh duduk manis menyaksikan kegundahan petani. Di sinilah kecerdasan Pemerintah untuk melahirkan solusi sangat dibutuhkan.
Kalau kalangan swasta tidak mau membeli kualitas gabah basah sesuai patokan Harga Pembelian Pemerintah, sepatut nya Pemerintah tidak ikut-ikutan bersikap seperti kalangan swasta. Pemerintah harus tampil beda. Bagaimana pun petani banyak berharap kepada Pemerintah. Petani ingin agar harga jual gabahnya, paling tidak berada pada harga diatas ongkos produksinya.
Yang pasti, mereka akan kecewa berat jika harga jual di tingkat petani anjlok dan jauh dibawah angka HPP. Petani pasti menuntut Pemerintah, agar jerih payah nya bercocok-tanam padi sekitar 100 hari itu, betul-betul dihargai oleh Pemerintah. Apalagi jika kita paham bahwa beras yang diproduksi petani ini, ujung-ujung nya akan dikonsumsi oleh orang perkotaan, yang nota bene mereka itu bukan petani.
Tinggal sekarang, bagaimana Pemerintah menentukan langkah agar kebijakan serap gabah ini, bukan cuma sekedar membeli gabah untuk kepentingan cadangan atau pun kebutuhan ketahanan pangan lain, namun juga perlu dicari solusi agar gabah yang kurang berkualitas dapat dibeli dengan harga yang tidak menyakitkan petani.
(dam)