Semangat Kartini Jadi Dasar Perjuangan Wujudkan Bangsa Lebih Baik

Rabu, 21 April 2021 - 21:25 WIB
loading...
Semangat Kartini Jadi Dasar Perjuangan Wujudkan Bangsa Lebih Baik
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Semangat Kartini harus diletakkan sebagai pondasi perjuangan agar mampu mewujudkan kesetaraan perempuan, untuk menuju bangsa Indonesia yang lebih baik.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat menilai esensi perjuangan untuk mewujudkan Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT)
sebenarnya sudah ada dalam pemikiran Kartini saat memperjuangkan emansipasi dan anti diskriminasi di masa lalu.

Hal itu dikatakan Lestari saat membuka diskusi daring bertema UU Penghapusan Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Keberpihakan pada Hak Perempuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/4/2021).

Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah Arimbi Heroepoetri itu menghadirkan Ketua DPP Partai Nasdem Koordbid Kebijakan Publik dan Isu Strategis Suyoto, Wakil Ketua Komnas Perempuan Periode 2020-2024 Mariana Amiruddin, pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala dan Program Manager Inkrispena Ruth Indiah Rahayu sebagai narasumber.

Hadir pula politikus perempuan Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago, ahli hukum pidana dan Dosen Fak Hukum Universitas Brawijaya Lucky Endrawati serta Ketua Dewan Redaksi Media Group Usman Kansong sebagai penanggap.

Menurut Lestari, perjuangan tanpa henti mendorong RUU PKS dan RUU Perlindungan PRT untuk menjadi undang-undang juga terinspirasi dari perjuangan Kartini. Dalam salah satu kutipannya, kata dia, Kartini menyatakan "Kita hanya bisa mengubah diri kita apabila diri kita sendiri yang bergerak."

Perjuangan mewujudkan anti diskriminasi, kata perempuan yang biasa disapa Rerie itu, merupakan bagian dari perjuangan Kartini memerdekakan dirinya dari tekanan budaya di lingkungan masyarakat pada masa lalu.

Kendati demikian, sambung dia, pekerjaan rumah yang harus dihadapi perempuan hingga kini masih saja belum tuntas seperti isu kesetaraan gender, kekerasan seksual dan ancaman terhadap harkat martabat perempuan.

Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu berharap sejumlah masalah yang masih menjadi pekerjaan rumah dan dihadapi perempuan bisa segera dituntaskan lewat sebuah gerakan dan kepedulian dari semua pihak.

Tujuannya, kata dia, untuk mewujudkan kebebasan dan menciptakan rasa aman bagi setiap warga negara, termasuk perempuan, sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Koordinator bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Suyoto menegaskan memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual bukan hanya untuk mewujudkan hadirnya Undang-undang PKS.

"Perjuangan untuk menghapuskan kekerasan seksual adalah salah satu cara untuk mengingatkan bahwa perempuan bukan konco wingking, tetapi teman yang setara. Ini perjuangan perempuan untuk kemajuan bangsanya," ujar Suyoto.

Dia mengatakan, sikap Partai Nasdem mendesak segera disahkannya RUU PKS dan RUU PRT menjadi undang-undang. Sebab, KUHP yang ada saat ini dinilai hanya fokus kepada pelaku kekerasan seksual an mengabaikan nasib korbannya.
Menurut dia, substansi yang harus diperjuangkan dalam kasus kekerasan seksual adalah perlindungan korban. "Negara harus hadir dalam melindungi warganya dari ancaman kekerasan seksual," katanya.

Selain itu, jelas Suyoto, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan bagian penting dari aktualisasi semangat Kartini di era saat ini.

Untuk mendorong kesetaraan, sambung dia, Nasdem juga mendorong pemberian pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran perempuan di bidang politik.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengungkapkan, catatan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dalam kurun waktu 2015 hingga 2019, setidaknya terdapat 2.148 kasus yang dialami oleh PRT dengan beragam bentuk antara lain kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan ekonomi. Tak jarang, PRT mengalami kekerasan berlapis yang berujung kematian.

Sementara itu, pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala berpendapat, dalam kasus kekerasan seksual jumlah korban seharusnya tidak menjadi ukuran untuk bertindak.

Pengalaman korban kekerasan seksual, kata Valentina, seharusnya merupakan bagian yang penting dalam konteks penegakan hak azasi manusia (HAM).

Di akhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat mengungkapkan kekhawatirannya RUU PKS dan RUU PRT akan mangkrak lagi di DPR. Alasannya, dua RUU inisiatif DPR sudah mangkrak bertahun-tahun. "Bila mangkrak lagi tidakkah itu menghina anggota DPR sendiri yang terdiri atas orang-orang yang terdidik," katanya.
(wib)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1702 seconds (0.1#10.140)