Mengenal Fransisca Fanggidaej, Perempuan Pejuang asal NTT yang Terlupakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setiap 21 April, Hari Kartini dirayakan Bangsa Indonesia. Kartini atau nama lengkap Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan nasional yang berjuang membela hak-hak kaum perempuan. Ada banyak pahlawan di Indonesia dari kalangan perempuan, tidak hanya Kartini.
Ada juga yang tidak masuk buku sejarah anak sekolah di Indonesia. Francisca Fanggidaej salah satunya. Nenek dari aktor ternama Reza Rahadian itu pernah ikut menentang kolonialisme sejak muda dan berjuang pascakemerdekaan.
Dikutip dari channel Youtune Anna Marsiana, jejak wanita kelahiran Noel Mina, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Agustus 1925 itu hilang sejak peristiwa 65 atau disebut Gestok atau G30S/PKI. “Jejaknya hilang sejak peristiwa 65 karena kedekatannya dengan Soekarno yang membuatnya riskan, berisiko untuk mendapatkan stigma kiri, atau berasosiasi dengan komunis."
Seringnya berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku pada masa pendudukan Jepang di Surabaya membuat kesadaran antikolonialismenya terus terasah. Semangat anak dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej itu mengantarkannya pada perjuangan kemerdekaan saat revolusi pecah pada 1945.
Dia juga aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Anak “Belanda Hitam”, julukan bagi orang pribumi yang statusnya disamakan dengan orang Belanda itu juga ikut dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta pada November 1945.
Francisca bersama para pemuda dari Surabaya meninggalkan kongres saat pertempuran Surabaya pecah, untuk berangkat ke medan pertempuran. Dia aktif di berbagai organisasi, diantaranya di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Dia kemudian aktif di Radio Gelora Pemoeda Indonesia setelah pindah ke Madiun. Di Radio yang di bawah Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) itu, dia bertugas siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda. Belanda pun mencap Radio Gelora Pemoeda Indonesia sebagai pemberontak dan ekstremis.
“Kalaupun kata ‘memberontak’ kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar desa masuk desa membunuhi rakyat, demikian kata Francisca,” lanjut Anna Marsiana mengutip dari historia.id.
Pesindo pada tahun 1950 berubah menjadi Pemuda Rakyat. Dirinya menjadi salah satu pemimpinnya. Namun, karena merasa tidak lagi muda, Francisca mengundurkan diri dan kemudian aktif di kewartawanan dan bekerja paruh waktu untuk kantor berita Antara.
Karirnya cukup cemerlang. Dia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1957. Jika Bambang Soesatyo merupakan wakil rakyat yang pernah menjadi wartawan, Francisca pun demikian, menjadi wakil wartawan dalam Golongan Karya di DPR-GR.
Selanjutnya, Francisca diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno pada 1964. Alhasil, dia sering mendampingi Presiden Sorkarno dalam perjalanan ke luar negeri. Dirinya sedang berada di Chile saat peristiwa G30S/PKI meletus. Di Chile, dia mewakili Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional.
Kedekatan Francisca dengan Soekarno dan Pemuda Rakyat membuat dirinya tidak bisa pulang ke tanah air. Selama 20 tahun dirinya terpaksa menyembunyikan identitasnya dan tinggal di Tiongkok. Agar keluarganya tak ikut diburu aparat Orde Baru, dia juga terpaksa tidak mengirim sepucuk surat pun.
“Toh pun demikian, dia tetap memberikan pesan kepada cucunya, yaitu Reza Rahadian untuk tidak berhenti mencintai negerinya, meskipun kutipan pahit yang diberikan kepada Reza adalah jauh di dalam hatinya Merdeka berarti Pulang, dan dia tidak bisa pulang sampai akhir hayatnya, sempat pulang tapi hanya pulang menengok sebentar, tetapi tidak menyurutkan sedikitpun rasa cinta pada tanah airnya,” kata Anna Marsiana.
Ada juga yang tidak masuk buku sejarah anak sekolah di Indonesia. Francisca Fanggidaej salah satunya. Nenek dari aktor ternama Reza Rahadian itu pernah ikut menentang kolonialisme sejak muda dan berjuang pascakemerdekaan.
Dikutip dari channel Youtune Anna Marsiana, jejak wanita kelahiran Noel Mina, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Agustus 1925 itu hilang sejak peristiwa 65 atau disebut Gestok atau G30S/PKI. “Jejaknya hilang sejak peristiwa 65 karena kedekatannya dengan Soekarno yang membuatnya riskan, berisiko untuk mendapatkan stigma kiri, atau berasosiasi dengan komunis."
Seringnya berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku pada masa pendudukan Jepang di Surabaya membuat kesadaran antikolonialismenya terus terasah. Semangat anak dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej itu mengantarkannya pada perjuangan kemerdekaan saat revolusi pecah pada 1945.
Dia juga aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Anak “Belanda Hitam”, julukan bagi orang pribumi yang statusnya disamakan dengan orang Belanda itu juga ikut dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta pada November 1945.
Francisca bersama para pemuda dari Surabaya meninggalkan kongres saat pertempuran Surabaya pecah, untuk berangkat ke medan pertempuran. Dia aktif di berbagai organisasi, diantaranya di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Dia kemudian aktif di Radio Gelora Pemoeda Indonesia setelah pindah ke Madiun. Di Radio yang di bawah Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) itu, dia bertugas siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda. Belanda pun mencap Radio Gelora Pemoeda Indonesia sebagai pemberontak dan ekstremis.
“Kalaupun kata ‘memberontak’ kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar desa masuk desa membunuhi rakyat, demikian kata Francisca,” lanjut Anna Marsiana mengutip dari historia.id.
Pesindo pada tahun 1950 berubah menjadi Pemuda Rakyat. Dirinya menjadi salah satu pemimpinnya. Namun, karena merasa tidak lagi muda, Francisca mengundurkan diri dan kemudian aktif di kewartawanan dan bekerja paruh waktu untuk kantor berita Antara.
Karirnya cukup cemerlang. Dia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1957. Jika Bambang Soesatyo merupakan wakil rakyat yang pernah menjadi wartawan, Francisca pun demikian, menjadi wakil wartawan dalam Golongan Karya di DPR-GR.
Selanjutnya, Francisca diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno pada 1964. Alhasil, dia sering mendampingi Presiden Sorkarno dalam perjalanan ke luar negeri. Dirinya sedang berada di Chile saat peristiwa G30S/PKI meletus. Di Chile, dia mewakili Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional.
Kedekatan Francisca dengan Soekarno dan Pemuda Rakyat membuat dirinya tidak bisa pulang ke tanah air. Selama 20 tahun dirinya terpaksa menyembunyikan identitasnya dan tinggal di Tiongkok. Agar keluarganya tak ikut diburu aparat Orde Baru, dia juga terpaksa tidak mengirim sepucuk surat pun.
“Toh pun demikian, dia tetap memberikan pesan kepada cucunya, yaitu Reza Rahadian untuk tidak berhenti mencintai negerinya, meskipun kutipan pahit yang diberikan kepada Reza adalah jauh di dalam hatinya Merdeka berarti Pulang, dan dia tidak bisa pulang sampai akhir hayatnya, sempat pulang tapi hanya pulang menengok sebentar, tetapi tidak menyurutkan sedikitpun rasa cinta pada tanah airnya,” kata Anna Marsiana.
(poe)