Setara Institute: Kota-Kota Berinisiatif Perbaiki Potret Buram Intoleransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama masih menjadi persoalan yang perlu mendapat penanganan yang komprehensif dan holistik. Sebab, persoalan tersebut memicu peningkatan ketegangan lintas identitas yang mengancam tata kehidupan bersama yang berbasis keberagaman.
Laporan riset Setara Institute tentang Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) ke-14/tahun 2020 yang dirilis awal bulan ini (6/4) menunjukkan bahwa aneka pelanggaran atas KBB, intoleransi dan diskriminasi masih terus memprihatinkan, bahkan di tengah pandemi Covid-19 sekalipun.
“Setara mencatat terdapat 180 peristiwa dan 422 tindakan pelanggaran KBB sepanjang pandemi tahun 2020. Bahkan, hari-hari ini kita juga menyaksikan beberapa aksi terorisme dan penangkapan terduga teroris, yang mengancam kedamaian kita dalam tata masyarakat bhineka,” terang Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (13/4/2021).
Kendati demikian, dalam webinar yang diselenggarakan Setara Institute pada Kamis (8/4/2021) dengan tajuk Promosi Toleransi dan Penghormatan terhadap Keberagaman di Tingkat Kota, mengemuka semangat pemerintah kota untuk memperbaiki potret buram intoleransi, melalui inisiatif dan arah kebijakannya yang kondusif bagi pemajuan toleransi.
Wali Kota Bogor Bima Arya, misalnya, menyebutkan secara eksplisit ingin mengembalikan Bogor sesuai sejarahnya, yakni Kota Toleran. Beberapa cara dilakukan untuk menggelorakan semangat kebersamaan dalam keberagaman tersebut, seperti mendorong dan menjamin pelaksanaan pelbagai kegiatan, mulai dari perayaan Cap Gomeh, Natal, dan perayaan-perayaan lainnya.
Dalam konteks kasus GKI Yasmin, Wali Kota Bogor menyatakan sudah memiliki titik terang dan ditargetkan selesai tahun 2021. Janji penyelesaian kasus GKI Yasmin ini perlu untuk terus dikawal. Sebagaimana dicatat publik, dalam Seminar Publik Setara Institute Bima Arya juga pernah menyampaikan janji penyelesaian kasus GKI Yasmin pada akhir 2019, kemudian menyampaikan janji yang sama paling lambat pada medio 2020.
Begitu pun dengan Walikota Malang, Sutiaji, yang melakukan penguatan program deradikalisasi agar bibit-bibit yang mengarah kepada radikalisme dan ekstremisme dapat dicegah dan diminimalisir. Sutiaji pun ingin mewujudkan kota yang rukun dan toleran berasaskan keberagaman dan keberpihakan masyarakat dan gender. Menariknya, inisiatif-inisiatif yang dilakukan Walikota Malang tersebut tetap dengan menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat dari masyarakatnya, sehingga tidak dilakukan dengan cara-cara yang represif.
Tekad yang sama juga disampaikan oleh Wali Kota Makassar, Ramdhan Pomanto, yang pasca kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, menggerakkan kewaspadaan dini masyarakat dengan memobilisasi organ-organ yang ada namun belum optimal, seperti FKDM (Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat).
Selain itu, Wali Kota Salatiga Yuliyanto juga menegaskan bahwa inisiatif dan agenda pemajuan toleransi oleh pemerintah pemerintah kota, memang perlu disebarluaskan dan ditularkan ke seluruh unit pemerintahan di Indonesia. Yang paling pokok tentu saja level kepemimpinan. Praktik dan pemajuan toleransi membutuhkan political will dan kepemimpinan yang kuat. Salatiga sudah membuktikan, paling tidak dengan pencapaian sebagai kota dengan skor toleransi tertinggi menurut Indeks Kota Toleran tahun 2020.
Berbagai inisiatif dan arah kebijakan tersebut, menurut Setara Institute, memperlihatkan gerak maju kepemimpinan toleransi. Hal ini dibarengi dengan penegasan Presiden dalam sambutan beliau pada Peresmian Pembukaan Mukernas dan Munas lim Ulama PKB (8/4) bahwa Pemerintah tegas dan tidak akan berkompromi dengan intoleransi dalam beragama.
“Tentu, dibutuhkan kerja bersama seluruh pihak untuk mengatasi persoalan yang muncul, baik pada ranah pemerintahan negara maupun pada sisi masyarakat. Dalam konteks itu, Setara memandang urgen kontribusi pemerintah daerah (khususnya kota dimana keanekaragaman di kota pada umumnya tinggi), organ masyarakat sipil, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat,” ujarnya lagi.
Dalam studi Indeks Kota Toleran, Setara berulang kali menegaskan bahwa toleransi adalah DNA kita bangsa Indonesia. Secara historis nenek moyang kita mewariskan toleransi, agar antar anak bangsa, berbeda-beda suku, etnis, dan daerah, antar agama serta kepercayaan, dan keragaman identitas lainnya, dapat saling berinteraksi, bergotong royong, dan bersama-sama membangun kerukunan dan harmoni.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
Laporan riset Setara Institute tentang Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) ke-14/tahun 2020 yang dirilis awal bulan ini (6/4) menunjukkan bahwa aneka pelanggaran atas KBB, intoleransi dan diskriminasi masih terus memprihatinkan, bahkan di tengah pandemi Covid-19 sekalipun.
“Setara mencatat terdapat 180 peristiwa dan 422 tindakan pelanggaran KBB sepanjang pandemi tahun 2020. Bahkan, hari-hari ini kita juga menyaksikan beberapa aksi terorisme dan penangkapan terduga teroris, yang mengancam kedamaian kita dalam tata masyarakat bhineka,” terang Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (13/4/2021).
Kendati demikian, dalam webinar yang diselenggarakan Setara Institute pada Kamis (8/4/2021) dengan tajuk Promosi Toleransi dan Penghormatan terhadap Keberagaman di Tingkat Kota, mengemuka semangat pemerintah kota untuk memperbaiki potret buram intoleransi, melalui inisiatif dan arah kebijakannya yang kondusif bagi pemajuan toleransi.
Wali Kota Bogor Bima Arya, misalnya, menyebutkan secara eksplisit ingin mengembalikan Bogor sesuai sejarahnya, yakni Kota Toleran. Beberapa cara dilakukan untuk menggelorakan semangat kebersamaan dalam keberagaman tersebut, seperti mendorong dan menjamin pelaksanaan pelbagai kegiatan, mulai dari perayaan Cap Gomeh, Natal, dan perayaan-perayaan lainnya.
Dalam konteks kasus GKI Yasmin, Wali Kota Bogor menyatakan sudah memiliki titik terang dan ditargetkan selesai tahun 2021. Janji penyelesaian kasus GKI Yasmin ini perlu untuk terus dikawal. Sebagaimana dicatat publik, dalam Seminar Publik Setara Institute Bima Arya juga pernah menyampaikan janji penyelesaian kasus GKI Yasmin pada akhir 2019, kemudian menyampaikan janji yang sama paling lambat pada medio 2020.
Begitu pun dengan Walikota Malang, Sutiaji, yang melakukan penguatan program deradikalisasi agar bibit-bibit yang mengarah kepada radikalisme dan ekstremisme dapat dicegah dan diminimalisir. Sutiaji pun ingin mewujudkan kota yang rukun dan toleran berasaskan keberagaman dan keberpihakan masyarakat dan gender. Menariknya, inisiatif-inisiatif yang dilakukan Walikota Malang tersebut tetap dengan menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat dari masyarakatnya, sehingga tidak dilakukan dengan cara-cara yang represif.
Tekad yang sama juga disampaikan oleh Wali Kota Makassar, Ramdhan Pomanto, yang pasca kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, menggerakkan kewaspadaan dini masyarakat dengan memobilisasi organ-organ yang ada namun belum optimal, seperti FKDM (Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat).
Selain itu, Wali Kota Salatiga Yuliyanto juga menegaskan bahwa inisiatif dan agenda pemajuan toleransi oleh pemerintah pemerintah kota, memang perlu disebarluaskan dan ditularkan ke seluruh unit pemerintahan di Indonesia. Yang paling pokok tentu saja level kepemimpinan. Praktik dan pemajuan toleransi membutuhkan political will dan kepemimpinan yang kuat. Salatiga sudah membuktikan, paling tidak dengan pencapaian sebagai kota dengan skor toleransi tertinggi menurut Indeks Kota Toleran tahun 2020.
Berbagai inisiatif dan arah kebijakan tersebut, menurut Setara Institute, memperlihatkan gerak maju kepemimpinan toleransi. Hal ini dibarengi dengan penegasan Presiden dalam sambutan beliau pada Peresmian Pembukaan Mukernas dan Munas lim Ulama PKB (8/4) bahwa Pemerintah tegas dan tidak akan berkompromi dengan intoleransi dalam beragama.
“Tentu, dibutuhkan kerja bersama seluruh pihak untuk mengatasi persoalan yang muncul, baik pada ranah pemerintahan negara maupun pada sisi masyarakat. Dalam konteks itu, Setara memandang urgen kontribusi pemerintah daerah (khususnya kota dimana keanekaragaman di kota pada umumnya tinggi), organ masyarakat sipil, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat,” ujarnya lagi.
Dalam studi Indeks Kota Toleran, Setara berulang kali menegaskan bahwa toleransi adalah DNA kita bangsa Indonesia. Secara historis nenek moyang kita mewariskan toleransi, agar antar anak bangsa, berbeda-beda suku, etnis, dan daerah, antar agama serta kepercayaan, dan keragaman identitas lainnya, dapat saling berinteraksi, bergotong royong, dan bersama-sama membangun kerukunan dan harmoni.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
(muh)