Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama di Masa Pandemi Meningkat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setara Institute meluncurkan laporan riset ke-14 mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia 2020. Dalam laporan ini menunjukkan, terjadi peningkatan tindakan pelanggaran KBB di tahun lalu.
"Sepanjang 2020, dari sisi tindakan terdapat 422 pelanggaran, melonjak tajam dibanding sebelumnya 2019 yang hanya 327 pelanggaran," ucap Direktur Riset SETARA Institute Halili dalam pemaparannya di Hotel Ashley, Jakarta, , Selasa (6/4/2021).
Sementara dari angka tersebut, pelanggaran dalam bentuk peristiwa mengalami penurunan dari 200 peristiwa pada 2019, menjadi 180 kasus. Meski begitu, Halili tetap menilai angka ini masih dalam kategori tinggi. Halili menyatakan, bentuk-bentuk pelanggaran di 2020 didominasi dengan diskriminatif dan intoleransi. Pandemi Covid-19, menurutnya, justru menjadi lahan subur bagi berkembangnya dua hal ini. "Dengan peralihan serba internet, sebagian besar (pelanggaran) didorong oleh aktivitas virtual. Tak hanya itu, banyak kasus yang menjadikan Covid-19 sebagai kedok," ujarnya.
Dari 422 tindak pelanggaran yang terjadi, sebanyak 238 dilakukan oleh aktor negara, seperti pemerintah daerah, Kepolisian, Kejaksaan, Satpol PP, Pengadilan Negeri, TNI, dan Pemerintah Desa. Sementara 184 tindakan dilakukan oleh aktor non negara, seperti warga, individu, pelajar, dan umat-umat beragama termasuk penganut kepercayaan. "Tindakan tertinggi yang dilakukan aktor negara adalah diskriminasi sebanyak 71 tindakan, sedangkan tertinggi oleh aktor non negara adalah intoleransi sebanyak 42 tindakan," ucapnya.
"Sepanjang 2020, dari sisi tindakan terdapat 422 pelanggaran, melonjak tajam dibanding sebelumnya 2019 yang hanya 327 pelanggaran," ucap Direktur Riset SETARA Institute Halili dalam pemaparannya di Hotel Ashley, Jakarta, , Selasa (6/4/2021).
Sementara dari angka tersebut, pelanggaran dalam bentuk peristiwa mengalami penurunan dari 200 peristiwa pada 2019, menjadi 180 kasus. Meski begitu, Halili tetap menilai angka ini masih dalam kategori tinggi. Halili menyatakan, bentuk-bentuk pelanggaran di 2020 didominasi dengan diskriminatif dan intoleransi. Pandemi Covid-19, menurutnya, justru menjadi lahan subur bagi berkembangnya dua hal ini. "Dengan peralihan serba internet, sebagian besar (pelanggaran) didorong oleh aktivitas virtual. Tak hanya itu, banyak kasus yang menjadikan Covid-19 sebagai kedok," ujarnya.
Dari 422 tindak pelanggaran yang terjadi, sebanyak 238 dilakukan oleh aktor negara, seperti pemerintah daerah, Kepolisian, Kejaksaan, Satpol PP, Pengadilan Negeri, TNI, dan Pemerintah Desa. Sementara 184 tindakan dilakukan oleh aktor non negara, seperti warga, individu, pelajar, dan umat-umat beragama termasuk penganut kepercayaan. "Tindakan tertinggi yang dilakukan aktor negara adalah diskriminasi sebanyak 71 tindakan, sedangkan tertinggi oleh aktor non negara adalah intoleransi sebanyak 42 tindakan," ucapnya.
(cip)